Kamis, Februari 26, 2009

Ponari...oh...Ponari


Ponari: Punya ‘Kuasa’ tapi tak berkuasa

Nama Ponari sudah terlanjur menggema, seisi nusantara ini pun telah mengenalnya. Bahkan ribuan orang telah memberi label ‘dukun cilik’ atasnya, mereka rela berjubel, berdesak-desakan, himpit-himpitan sampai pingsan dalam antrian guna mendapatkan kesembuhan. Tak urung para pejabat dibuat kewalahan, sampai perlu dibuatkan fatwa baru untuk mencegah jatuhnya korban baru lagi, atau sekedar menahan popularitas Ponari, si bocah SD, yang telah mengisi semua media informasi dan teknologi Indonesia.
Ponari awalnya adalah bocah biasa yang lugu tetapi penuh keceriaan masa kecil, memiliki orang tua sederhana yang juga tinggal di ‘gubuk’ sederhana. Ia menjalani hari-hari sebagaimana biasanya, bermain, bersekolah dan berlaku sebagai anak-anak, namanya juga anak-anak. Namun dilema datang ketika ia ‘dianugerahkan’ batu ajaib, batu petir, kata orang. Konon batu tersebut memiliki kekuata menyembuhkan segala macam penyakit. Apapun jenis penyakit yang dialami, silahkan antri, membayar sejumlah uang, minum air yang sudah dicelup oleh tangan bertuahnya Ponari, maka anda sembuh. Alhasil sudah beberapa orang yang sekarat dan akhirnya meninggal, lalu bagaimana dengan iming-iming sembuh? Ah, itu urusan Tuhan, kan Ponari hanya media, kesembuhan datang atas ridho Allah, itu juga kata orang.
Konon Ponari memperoleh batu ajaib tersebut secara tidak sengaja, tidak sengaja juga batu itu konon mampu menyembuhkan sakit salah seorang kerabat dekatnya, dan tidak sengaja juga kabar itu meledak dan ribuan orang sudah antri mendapatkan celupan tangan dari Ponari. Semua serba tidak sengaja; tetapi Ponari yang lugu tidak sadar bahwa ia telah diperlakukan dengan sengaja oleh keluarga, masyarakat sekampung, para pemburu mujizat dan mereka yang turut diuntungkan atas setiap celupan tangan Ponari yang menghasilkan ± Rp. 1 milyar/hari.
Ponari menjadi tak kuasa untuk tumbuh secara wajar dengan aktifitas kanak-kanaknya, hak-haknya sebagai anak-anak tercabut karena ‘takdir’ sebagai dukun, masa depan yang seharusnya layak ia pilih dan tentukan sendiri sudah terganggu oleh mereka yang mengatas namakan ‘pelayanan kesehatan’. Bersekolah pun ia harus dikawal oleh panitia dengan bayaran Rp. 50.000,-/hari, apalagi bermain, jangan harap ada waktu. Dikalangan para ulama pun prakteknya di cap musyrik. Masih belum lagi popularitasnya mulai tergerus akibat munculnya para dukun batu sejenis didekatnya. Demikianlah ia menjadi tak kuasa atas kepentingan-kepentingan sesaat dan sesat yang muncul akibat kepolosannya.
Dimanakah letak permasalahannya? Kita sebagai masyarakat pembelajar, hanya menempatkan proses belajar pada hal-hal yang bersifat akaliah, dapat diukur dengan standar indikator yang dibuat sebelumnya, memenuhi unsur-unsur akademik, serta dapat dijabarkan dalam bentuk rumusan atau dalil. Kita lalai menempatkan aspek spiritual, magis, mujizat, dan supranatural sebagai bagian dari pembelaran. Namanya pembelajaran iman. Bukankah iman memiliki akalnya sendiri dalam memahami semua hal yang tidak masuk diakal, bukankah iman juga yang menjadi jembatan atas nyatanya pertolongan ‘unvisible hand’. Kita lalai dalam membangun kepekaan dengan Sang Empunya Kuasa, Dia yang Maha Kuasa, yang pertolongannya adalah garansi bagi kita, apalagi Dia tidak pernah melalaikan setiap perbuatan tangan-Nya.
Bukankah tidak melulu Ia menyembuhkan hanya dengan minyak urapan. Ia malah pernah menyembuhkan dengan ludah-Nya yang dicampur dengan debu tanah, acapkali Ia menyembuhkan hanya dengan berkata saja. Kalau begitu, mari kita percaya saja kepada-Nya. Jangan lagi kita mengorbankan hak-hak orang lain hanya untuk kepentingan sesaat dan sesat kita, sebab Ponari toh tidak punya kuasa menyembuhkan. Mari belajar…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar