Kamis, April 30, 2009

Perjanjian Baru


Perjanjian dalam arti Ibrani adalah makan bersama-sama sebagaimana rasa setia kawan. Perjanjian yang Allah buat dengan orang-orang pilihan Allah, berupa sebuah kesepakatan bersama yang telah ditetapkan dalam alam pikiran dan perasaan yang telah disamakan. Beberapa kata yang menunjuk kemasa depan. Isi seakan-akan menunjuk kebelakang dengan memaklumkan bahwa Mesias yang akan datang, dan kata perjanjian baru menunjukan berita dan kesaksian yang hendak disampaikan kepada orang Israel dan bangsa-bangsa lain.
Bangsa Israel adalah suatu bangsa yang tegar tengkuk, melakukan apa yang jahat dimata Tuhan, itulah sebabnya bangsa Israel dihukum oleh Tuhan melalui bangsa-bangsa lain dan mereka dibuang kenegeri-negeri asing. Namun demikian Allah mengasihi mereka, kasih karunia Allah tetap berlaku, melalui pemulihan dan keselamatan. Pemulihan tersebut adalah perjanjian baru bagi bangsa Israel mengenai hukum Taurat. Hukum Taurat disitu adalah bahwa Allah akan menaruh tauratnya ke dalam bathin bangsa Israel dan menuliskan Taurat tersebut kedalam hati bangsa Israel, sehingga Allah akan menjadi Allah bangsa Israel dan bangsa Israel menjadi umatNya.
Yeremia adalah salah satu nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa Israel, yang menutup telinga dan mata, sehingga menjadi buta dan tuli terhadap amanatNya. Dosa-dosa mereka telah membelenggu hati mereka, sehingga buta dan tuli.
Dosa yang sangat fatal yang mereka buat adalah menyembah berhala, korupsi. Itulah sebabnya maka berita yang disampaikan oleh nabi Yeremia, sebagian besar berupa berita penghukuman. Bangsa Isarel telah mengecewakan hati Allah karena telah melanggar dan mengingkari perjanjian denganNya. Walaupun tertutup tirai kegelapan penghukuman-penghukuman, namun senantiasa bercahaya dan berulang-ulang memancarkan cahaya sinarnya yang gilang gemilang dalam janji-janjiNya yang menakjubkan, melalui kasih yang kekal.
Kasih yang kekal dinyatakan lewat perjanjian baru yang terdapat dalam Yeremia 31:1-40, yang merupakan kelanjutan dari perjanjianNya dengan leluhur-leluhur Israel (Yer. 31:3), karena perjanjianNya yang diberikan telah diingkari oleh bangsa Israel (Yer. 31:3). Perjanjian baru yang diberikan bukan mau merombak atau menghapus perjanjian yang telah diberikan kepada leluhur-leluhur Israel, tetapi perjanjian ini lebih bersifat pribadi, yaitu dengan menyimpannya dalam hati masing-masing umatNya.
Perjanjian yang berdasarkan anugerah dan bukan Taurat.
Disinilah pertama kalinya pengumuman akan pengikatan suatu perjanjian baru yang dibuat Tuhan dengan bangsa Yehuda dan Israel (Yer. 31:31). Pasal ini adalah salah satu pasal yang menarik dalam nubuat perjanjian lama, Yeremia berkata melalui firmanNya: keselamatan tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan berbalik pada tata lama yang berdasakan perjanjian Musa. Tuhan memperlihatkan kepadanya bahwa, Dia akan menyediakan suatu perjanjian baru yang berdasarkan anugerah bukan Taurat.
Pemberontakan yang tidak berterima kasih disebabkan oleh dosa, yang telah melekat kedalam kehidupan manusia, seperti macam tutul atau warna kulit orang Etiopia (Yer. 12:23). Tidak ada pemecahan dangkal yang dapat membersihkan pemujaan berhala dan korupsi yang terang-terangan, bahkan reformasi Yosia yang ckup luas jangkauannya belum mencapai tujuannya dengan sempurna. Bangsa Israel terkungkung dalam kegelapan yang tidak mungkin akan keluar dari kegelapan tanpa pertolongan Allah.
Berita yang membawa pengharapan muncul pada waktu bangsa Israel menghadapi masa-masa yang paling gelap. Pada saat segalanya tampak menuju kemusnahan mutlak, Allah menjanjikan suatu masa depan yang penuh pengharapan bagi umatNya. Mereka akan diselamatkan (30:10, dst), dan dipulihkan (ay. 18). Orang-orang akan kembali dari pembuangan ketanah air mereka dengan sukacita (Yer. 31:7, dst). Perjanjian baru akan menggantikan perjanjian lama yang telah mereka langgar.
Adapun berita kelepasan dan pengharapan yang diberikan Allah kepada bangsa Israel adalah:

Restorasi Perjanjian
Bangsa Israel melakukan apa yang jahat dimata Tuhan, meninggalkan Tuhan Allah dan menyembah allah-allah lain, mempersembahkan korban bakaran kepada berhala-berhala. Dengan perkataan lain, kekrobrokan moral dan spiritual mereka sangat nyata, mulai dari pemimpin sampai kepada rakyat jelata sekalipun. Bangsa ini perlu pertolongan agar mereka dapat keluar dari lingkaran dosa yang seakan-akan tidak ada jalan keluarnya lagi. Perjanjian di Sinai telah mereka langgar, namun demikian karena kasihNya yang kekal, Allah menyatakan restorasi perjanjian. (ay. 31-33).
Perjanjian baru muncul dalam Perjanjian Lama khususnya Yeremia 31:31-33, untuk membuktikan bahwa pola dan peraturan agama yang ditetapkan Allah melalui Musa tidak lagi berlaku, dalam arti dosa idak ditanggung secara bersama-sama, seperti dengan Yeremia 30-31 dan Yehezkiel 18:1-4, yang mengungkapan: Buah anggur masam membuat gigi anak-anak ngilu; melainkan dosa ditanggung secara individual. Perjanjian baru menekankan kepada bangsa Israel bahwa hukum Taurat sendiri tidak berkuasa menguatkan orang sehingga menaatinya.
Seperti perjanjian yang lama, perjanjian yang baru juga diprakarsai oleh Tuhan (ay. 31), suatu ungkapan dari kekuasaanNya. Restorasi perjanjian baru dirancang untuk memenuhi kebutuhan khusus, yang mengharuskan adanya perjanjian itu. Dalam pemulihan perjanjian yang merupakan kelanjutan dari perjanjianNya kepada nenek moyang Israel (Yer. 31:31), Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkn kasih setiaKu kepadamu. Kasih setia yang telah melepaskan bangsa Israel dari dosa-dosa mereka dan mendapat suatu anugerah. Anugerah Tuhan yang melepaskan bangsa Israel dari pedang Firaun (Kel. 14:6-14), dan memberikan kasih kasrunia pada hari-hari mereka dipadang gurun.

Isi Perjanjian
Perjanjian baru yang Allah buat kepada Yeremia untuk bangsa Israel dan semua bangsa, Yeremia 31:31-34. Sastro Soediredjo dalam buku yang berjudul menggali isi Alkitab mengatakan bahwa: kasih yang kekal, walaupun tertutup oleh tirai kegelapan dan penghukuman-penghukuman, namun senantiasa bercahaya dan berulang-ulang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang dan janji-janji yang menakjubkan.
Dan isi perjanjian baru tersebut adalah:
Perjanjian itu bersifat pribadi dari pada janji perkawinan yang dengan terang-terangan telah dilanggar oleh Israel, perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka (Yer. 31:32).
Perjanjian itu ditulis dalam hati mereka yang menjadi sumber kejahatan, bukan lempengan batu (ay. 33).
Perjanjian itu menghasilkan pengenalan yang benar akan Allah, Taurat baru mencakup kepatuhan penuh dan persekutuan yang kaya tidak membutuhkan pengajaran manusia (ay. 34).
Perjanjian itu menjamin pengampunan sepenuhnya terhadap dosa-dosa yang mendatangkan penghukuman (ay. 34).

Pengampunan dosa (ay. 34)
Perjanjian baru telah diberikan kepada umat Israel bahkan isi dari perjanjian telah ditulis yaitu untuk memperbaharui kehidupan mereka. J Wesley Brill berkata sebagai berikut: Maksud Allah dengan perjanjian yang lama, yaitu hal mereka tidak setia kepada perjanjianKu. Tuhan berkehendak agar perjanjianNya itu diterapkan dan diletakkan dalam hati dengan pimpinanan RohNya, telah dikatakan sebelumnya bahwa bangsa Israel dihukum oleh Allah karena dosa dan pelanggaran yang mereka lakukan baik dibidang moral maupun dibidang spiritual. Namun dibalik hukuman itu, kasih Allah tetap berlaku bagi bangsa Israel. Kasih setia Allah kepada bapa-bapa leluhur, dinyatakan melalui bangsa Israel.
Salah satu contoh yang diberikan kepada bapa-bapa leluhur adalah Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel (Kel. 19:4-6).
Allah bukan saja hanya memberikan perjanjian baru, tetapi juga menyediakan pengampunan (Yer. 31:34). Dalam perjanjian itu menjamin pengampunan sepenuhnya terhadap dosa-dosa yang mendatangkan hukuman. Janji sudah digenapi, perjanjian baru akan diikat dengan darah penebusan. Tapi segala kasih karunia yang tersedia dalamnya barulah akan diberikan kepada bangsa Israel, apabila mereka memandang kepada Dia yang telah mereka tikam (Zak. 12:10), dan mengakuinya sebagai Juruselamat dan Raja mereka.
Perjanjian yang Allah berikan tidak saja hanya berlaku bagi bangsa Israel dan Yehuda, namun perjanjian itu juga berlaku kepada semua bangsa. Orang Israel pada masa itu tidak mengerti akan perjanjian yang telah mereka buat, sehingga Allah mengadakan perjanjian baru dengan bangsa-bansa lain. Perjanjian lama telah berlalu menurut kehendak Allah.
Warren W. Wiersbe dalam bukunya mengatakan bahwa: Allah menjanjikan sebuah perjanjian baru bagi umatNya, tetapi berkat-berkat dari perjanjian itu terdapat dalam Anak Allah. Yesus Kristus adalah pengantara dari perjanjian yang baru. Pada zaman sekarang orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi sudah dilahirkan kembali yang merupakan anggota tubuh Kristus, ikut ambil bagian dalam perjanjian baru yang sudah dibayar melalui kayu salib. Sekarang berkat-berkat perjanjian dapat dialami oleh setiap orang secara pribadi. Apabila TuhanYesus datang didalam kemuliaan untuk menebus bangsa Israel, maka berkat-berkat perjanjian baru akan dapat dialami bangsa yang selalu dikepung dan dikelilingi oleh bangsa-bangsa lain.
Berdasarkan sifat dasar dari perjanjian baru itu, maka dapat disimpulkan bahwa penggenapannya adalah pada waktu yang menunjuk pada masa yang akan datang pada zaman Yeremia dan sifatnya adalah didalam bathin manusia dan posisinya diperoleh dari Tuhan sendiri. Yeremia 31, akan digenapi pada kedatangan Kristus yang kedua kali. Darah Yesus Kristus disebut sebagai fondasi dalam perjanjian itu.

Selasa, April 28, 2009

Yesus, Wajah Allah yang sesungguhnya















Dalam dunia religi, umat manusia setidaknya memiliki tokoh sebagai figur yang dibanggakan dari masa ke masa, seseorang yang bukan saja diterima, disegani tetapi juga terkadang menjadi sentral percakapan. Tokoh seperti ini terkadang merupakan pendiri suatu aliran religi, tetapi juga terkadang dikenang karena sepak terjang yang revolusioner serta kontraversional terhadap sistem nilai dalam konteks tataran tertentu. Membicarakan tokoh seperti ini mengandung resiko tertentu, apalagi apabila harus berhadapan dengan tuntutan objektifitas tetapi juga fanatisme yang konstruktif.
Dalam bagian makalah ini, penulis akan mempelajari, menguraikan serta mengekspouse seorang tokoh yang bukan hanya dikenal oleh umatNya, tetapi juga dikalangan mereka yang secara politis membencinya. Tokoh sejarah sepanjang masa tersebut dilahirkan kedunia bukan dalam frame anak normal sebagai buah sebuah perkawinan, tetapi merupakan jawaban Allah bagi masalah dunia. Dari sisi kelahiranNya saja sudah cukup layak untuk dapat memberi predikat realis praesentia (kehadiran nyata) dalam sejarah.
Keunikan pribadi Yesus akan diawali ketika melihat eksistensiNya secara aktif dalam kekekalan masa lampau, apalagi dalam pemahaman Yesus sebagai pribadi kedua dalam ke Esaan Allah. Kesatuan konsep tentang Allah telah memberikan warna secara khusus dalam teologi proper surat Ibrani. Penulis surat Ibrani memproklamasikan eksistensi Yesus dalam kekekalan masa lampau dengan berkata :
Pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan.

Dengan mengutip ekspresi teologi proper pemazmur, penulis surat Ibrani semakin memberi keyakinan terhadap proklamasi awalnya diatas, ketika ia berkata :
Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu. Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian; seperti jubah akan Engkau gulungkan mereka, dan seperti persalinan mereka akan diubah, tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan.

Dalam bahasa teologi, kehadiran Yesus dalam kekekalan masa lampau sebelum Ia dilahirkan ke dunia melalui perawan Maria, disebut dengan istilah pre-existence (pra-eksistensi). Uraian surat Ibrani diatas memberikan pengertian penting tentang peletakan keTuhanan Yesus, dibuktikan dengan uraian pra-eksistensiNya. Seperti yang dijelaskan oleh Ryrie, ketika ia berkata:
Doktrin pra-eksistensi memiliki hubungan dengan keTuhanan Kristus, dalam mengarahkan pada hubungan penting dengan doktrin ke Imaman Besar Yesus, semuanya itu menjadi sangat penting dalam surat Ibrani. Pembuktian terhadap pra-eksistensi Yesus memiliki tempat utama dalam teologi penulis surat Ibrani.
Lebih lanjut ia memberi penjelasan terhadap pengertian pra-eksistensi, sebagai :
Praeksistensi Kristus berarti bahwa Ia telah ada sebelum dilahirkan …. Ia telah ada sebelum Penciptaan dan sebeblum adanya waktu. Akan tetapi dalam arti sempit praeksistensi tidaklah sama dengan kekalan. Dalam arti luas, konsep keduanya hampir sama, karena suatu penolakan terhadap praeksistensi selalu mengandung penolakan tentang kekekalan, dan demikan pula sebaliknya.
Sebagai pembuktian faktual tentang pra-eksistensi Yesus, penulis akan memberi perhatian khusus terhadap beberapa ungkapan yang digunakan oleh penulis surat Ibrani. Pembuktian data teks ini akan menjadi argumentasi yang ampuh untuk tetap mempertahankan otentisitas maksud, teologi serta tujuan penulis surat Ibrani.
Dalam frase “Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (ay, 2), penulis surat Ibrani menegaskan bahwa Yesus telah ditetapkan, artinya dalam hubungan dengan semua ciptaan yang luar biasa ini kedudukannya adalah ahli waris. Bagian tersebut menjelaskan tentang kepemilikan Yesus secara yuridis atas seluruh dunia yang telah diberikan Allah kepadaNya, sehingga otoritas atas dunia ini sudah menjadi milikNya sejak kekekalan masa lampau. Walaupun secara de facto Ia belum nenerima “segala yang ada”. Kepemilikan Yesus juga dikuatkan dengan kata pewaris (kleronomos), yang berarti seorang yang berhak menerima.
Selanjutnya terdapat frase yang berkata : “Oleh Dia Allah telah menjadikan
alam semesta” (ay. 2). Frase telah menjadikan, menunjuk pada peranan Yesus, yang dipakai Allah untuk menciptakan segala sesuatu yang ada. Ia telah menciptakan (tous aioonas), “dunia-dunia” (KJV, the worlds) atau “alam semesta”, sebagaimana dalam kebanyakan terjemahan modern. Istilah ini biasanya berarti “zaman”, maka ada sementara ahli tafsir berpendapat bahwa disini kata itu berarti “zaman-zaman”, alam semesta lebih masuk akal.
Semua uraian tersebut terjalin dalam sebuah simpul seperti yang diungkapkan oleh Walvoord, ketika ia berkata :
karyaNya dalam menciptakan segala sesuatu sebelum Ia berinkarnasi ke bumi, tindakanNya yang bersifat mahakuasa, pemeliharaanNya atas segala sesuatu, janji-janjiNya dikekekalan masa lampau, penampakan diriNya dalam Perjanjian Lama, dan banyak isyarat lainnya tentang pra-eksistensiNya, digabung bersama membentuk suatu bukti yang padat bahwa Kristus sudah ada sebelum Ia dilahirkan di Betlehem.
Selanjutnya penulis surat Ibrani memberikan deskripsi tentang kemuliaan dan kekuasaan Yesus, yang terkait dengan pra-eksistensiNya, ketika ia berkata : Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (ay. 3). Hal ini dijelaskan oleh Morris sebagai :
Ia tidak hanya aktif dalam penciptaan, tetapi juga senantiasa menopang alam semesta. Kata kerja “menopang” adalah pheroo, yang mengandung arti membawa serta ciptaan, mungkin menuju tujuannya; jadi merupakan suatu konsepsi yang dinamis (bukan statis, seperti paham Yunani tentang dewa Atlas yang membawa segala sesuatu diatas bahunya).
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa Yesus adalah wujud yang hidup dari sifat-sifat dan keagungan Allah. Dua aspek yang sedang diungkapkan oleh penulis Ibrani terhadap karya Yesus adalah, sebagai cahaya yang menyatakan/memperkenalkan Allah kepada manusia, juga sebagai pribadi yang berkuasa atas semua ciptaan. Maksudnya adalah Yesus sedang menyajikan Allah kepada manusia ciptaanNya, sebagai bagian dari otoritas yang ada ditanganNya.
Sebuah fakta yang telah disajikan oleh penulis surat Ibrani, sebagai penjelasan tentang kehadiran Yesus secara aktif, dinamis dan penuh kuasa. Pribadi yang eksis bukan karena diciptakan, tetapi kehadiranNya bahkan jauh dari pikiran manusia tentang dimensi waktu. KaryaNya yang spektakuler membawa Ia menjadi pribadi yang superior bukan hanya dalam frame kekekalan masa lampau tetapi masih terus berlanjut dalam konteks masa kini sampai pada kekekalan masa depan.
Kepada Yesus dikaruniakan nama yang lebih istimewa dan jauh lebih tinggi dari para malaikat sekalipun. KodratNya jauh berbeda dengan nilai kodrat para malaikat, yang oleh Morris diidentifikasikan dengan ungkapan :
Penulis menerangkan hal ini lebih lanjut dengan serangkaian kutipan dari kitab suci yang berbicara tentang Anak, suatu bentuk sapaan yang tidak dipakai untuk para malaikat…. Selanjutnya penulis berbicara tentang martabat rajawiNya (1:8), tentang karyaNya dalam penciptaan dan keabadiannya (1:10-12)…. Sungguh suatu penjelasan yang mengesankan bahwa sekalipun para malaikat begitu penting, mereka berada jauh di bawah Anak Allah.
Dalam pengamatan terhadap surat Ibrani, penulis akan menggunakan dua garis utama untuk memberikan serta menyajikan argumentasi penulis surat tentang superioritas yang dimiliki oleh Yesus, terkait dengan point utama diatas. Ide superioritas Yesus ini tidak dapat dipisahkan dengan karya penyelamatan yang telah Ia kerjakan, seperti yang dijelaskan oleh Morris berikut :
Yesus datang ke dunia sebagai seorang manusia, yang lebih rendah daripada malaikat, tetapi hal ini dilakukan hanya untuk menjamin keselamatan orang-orang berdosa (2:9), namun hal ini dilakukan tanpa mengubah apa yang telah dia katakan tentang keagunganNya. Sebaliknya, yang ia lakukan adalah bahwa Kristus itu cukup agung untuk merendahkan diri demi menjamin keselamatan.
Pemaparan berikut ini akan memberi penjelasan terhadap aspek superioritas Yesus. Dalam memaparkan superioritas Yesus, penulis surat Ibrani memberikan beberapa indikasi superioritas atas malaikat (1:4-14), Musa (psl. 3), hari perhentian/sabat (psl. 4), Melkisedek dan keimaman Harun (psl. 7), tempat Kudus (psl. 9), serta dalam hal penderitaan.
Pada bagian sebelumnya telah diberikan pemaparan tentang superioritas Yesus atas malaikat. Oleh karena itu pada bagian berikut, penulis akan memberikan secara terperinci superioritas Yesus atas beberapa tokoh/hal selanjutnya dalam uraian-uraian berikut ini.
Mengatasi kemuliaan Musa
Alasan argumentasi penulis berdasar pada ungkapan “Sebab Ia dipandang layak mendapat kemuliaan lebih besar dari pada Musa” (psl. 3:3). Ungkapan superioritas Yesus yang melebihi Musa memiliki nilai kontraversional dalam konsep Yehudi, sebab Musa dipandang lebih agung dari malaikat. Melalui Musa Allah telah memberikan hukum Taurat dan hukum Taurat memiliki nilai keagungan tersendiri dalam upaya bangsa Yahudi untuk mendekatkan diri pada Yahweh, tidak bisa dibayangkan ada orang lain yang dapat melebihi keagungan Musa. Fakta yang dimunculkan oleh penulis surat Ibrani adalah Musa setia sebagai pelayan di rumah Allah, sedangkan Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah tersebut (3:5-6).
Hari Perhentian atau Sabat
Hari sabat atau perhentian, menurut pola pikir tokoh-tokoh Yahudi pada zaman Perjanjian Baru, menggambarkan dunia yang akan datang. Jadi, berdasarkan latar belakang ini, dapat dikatakan bahwa memasuki perhentianNya berarti mendapatkan warisan, memperoleh bagian, semuanya memiliki satu arti, yaitu mengikuti Anak Manusia dalam kemenanganNya di dunia yang akan datang.
Istilah perhentian diangkat dari teks Mazmur pasal 95. Istilah perhentian yang digunakan pemazmur berasal dari kata manuha yang berarti resting-place, yang dalam konteks ini menunjuk ke tanah Kanaan sebagai tujuan akhir dari perjalanan panjang mereka selama 40 tahun di padang gurun. Maksud dari pengungkapan penulis surat Ibrani adalah pengharapan mereka di masa depan masih jauh bila dibandingkan dengan superioritas Yesus.
Melkisedek, keimaman Harun dan tempat Kudus
Hagelberg dalam diskusinya memberikan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang imam, yaitu :
Seorang imam dipilih dari antara manusia, dan ia ditetapkan untuk mewakili manusia dihadapan Allah untuk mempersembahkan “persembahan dan korban” karena dosa (5:1). Kedua disebut dalam pasal 5:2, “Ia harus dapat mengerti orang-orang yang jahil ….” Kata “mengerti” ini berarti bahwa ia dapat “mengukur perasaannya sendiri”. Ini berarti bahwa seorang imam harus dapat melayani dengan perasaan yang telah dikendalikan dan seimbang, tidak masa bodoh. Ia seharusnya dapat menguasai dirinya terhadap orang-orang “yang jahil” dan “yang sesat” karena ia sendiri tidak sempurna, tetapi “penuh dengan kelemahan”. Yang ketiga disebut dalam pasal 5:3, yaitu bahwa imam-imam juga harus “mempersembahkan korban …. bagi dirinya sendiri”…. Yang keempat disebut dalam pasal 5:4, yaitu seorang imam harus “dipanggil untuk itu oleh Allah” sendiri.
Penekanan keimaman yang menjadikan nilai superioritas dalam pelayanan Yesus adalah Ia mempersembahkan satu korban yang sempurna, yaitu diriNya sendiri. Penulis surat Ibrani menggunakan aktifitas dan karya Melkisedek sebagai batu loncatan, yang dibandingkan keunggulannya dengan keimamam Harun, untuk membawa pemahaman pembaca secara benar terhadap konsep superioritas Yesus.keimamam orang Lewi yang diwakili oleh Harun, harus diulang-ulang yang hanya membuktikan betapa tidak efektifnya korban-korban tersebut.
Bukan hanya itu saja, ia menjelaskan dengan tuntas bahwa Yesus memang layak untuk menjadi imam besar. Pelayanan keimamam Yesus tidak menghampiri perabot-perabot di dalam bait Allah, tetapi Ia menghampiri Allah sendiri di surga. Jadi Yesus memiliki superior termasuk dalam nilai dan bobot segala lambang ritual yang ada di Yerusalem.
Penderitaan dan Kesesakan
Nilai superioritas Yesus bukan hanya sampai dalam frame kemuliaan, seakan-akan tidak berarti apabila diperhadapkan dengan kemnyataan penderitaan yang dialami oleh umat. Penulis surat Ibrani secara jelas berkata : “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”. (psl 4:15).
Kemanusiaan Yesus berbeda dengan kemanusiaan umat manusia, kemanusiaan Yesus telah memiliki nilai sempurna, saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga (psl 7:26). Penulis surat Ibrani menyertakan juga fakta tentang kemanusiaan Yesus sebagai pribadi yang mengambil sifat lemah ke atas diriNya yang berkuasa, tetapi juga mengalami penderitaan, dukacita, pencobaan dan kematian.
Penulis surat Ibrani telah memberikan begitu banyak bukti tentang fakta superioritas Yesus. Ia menjadi Pribadi sentral perhatian dan fokus hidup umat, tetapi juga fakta tentang eksistensi sebagai sang superior dalam kekekalan masa depan, akan mengharuskan seluruh manusia memperhatikan dan menjadikan Yesus sebagai sentral kehidupan. Pada pembahasan bagian bab berikut penulis akan memberikan pemaparan terhadap kemutlakan tersebut.
Pemaparan penulis surat Ibrani secara tegas terhadap bagian ini memang tidak nampak dengan nyata, tetapi ia memberikan argumen bahwa :
Ia tetap selama-lamanya, imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang lain. Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.
Juga dinyatakan dalam hubungannya dengan pemulihan umat Yahudi pada masa depan, yang nyata ketika ia mengutip isi kitab suci yang berkata :
Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan mereka tidak akan mengajar lagi sesama warganya, atau sesama saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku. Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka.
Penulis mengamati bahwa pembahasan bagian ini memiliki keterkaitan inti surat, yang kesemuanya berbicara tentang superioritas Yesus diatas keimaman yang telah ada atau pernah terjadi menurut hukum Taurat. Ayat 1-5 menceritakan tentang perabot serta perlengkapan ritual yang ada, ayat 6-10 merupakan bantahan terhadap semua ritual yang pernah dilaksanakan oleh para imam, yang nilainya tidak mencapai kesempurnaan.
Ayat 15-22 merupakan akibat khusus dari korban Yesus dalam diriNYa, sehingga Ia layak menjadi pengantara dari suatu perjanjian yang baru, menjadi pelaksana korban tebusan bagi banyak orang. Ayat 23-28 merupakan kesimpulan sekaligus dampak pengorbanan Yesus terhadap keselamatan manusia yang kini memiliki nilai kekal.
Hubungan dengan nubuat perjanjian baru (Yer. 31:31-34), Allah akan menuliskan hukumNya pada hati umatNya dan Ia tidak akan mengingat dosa-dosa mereka lagi. Jalan menuju Allah yang telah dibuka oleh Yesus, tidak lagi bergantung pada ketaatan formalitas legalitas hukum taurat, tetapi lebih bernilai batiniah.
Dalam kaitannya dengan kekekalan masa depan, penulis surat Ibrani menyatakannya dengan ungkapan selama-lamanya. Frase pantote, berasal dari gabungan dua akar kata yaitu pas diterjemahkan dengan each, every, any, all, the whole, everyone, all things, serta everything, dan kata hote, yang diterjemahkan sebagai when whenever, while, as long as. Frase ini terkait dengan kata zon yang memiliki pengertian to live, breathe, be among the living (not lifeless, not dead).
Makna yang dapat diambil adalah superioritas Yesus sebagai imam besar yang telah ia kerjakan melalui penebusan dosa manusia melalui koban diriNya, akan tetap ia pertahankan sampai kekekalan masa depan. Ia akan tetap menjadi pribadi pengantara antara Allah dan umat, sampai pada kekekalan masa depan. Perjanjian baru yang di mulai oleh Yesus akan bersifat kekal, sebab tidak akan pernah muncul pribadi lain yang layak untuk menjadi pengantara kepada Allah selain Yesus saja.
Diakhir dari pembahasan tentang pembuktian data teks terhadap konsep superioritas Kristus, dapat ditemukan titik mufakat bahwa Yesus adalah pribadi yang unik. KeunikanNya sudah dimulai dari kekekalan masa lampau, karena dari kekekalan masa lampau (sudah ada sebelum semuanya ada) Ia sudah menjadi sentral (segala sesuatu diciptakan didalam Dia), materi pokok (tanpa Dia, tidak ada segala sesuatu yang jadi), keunikanNya terus dipelihara melewati rentang sejarah (Ia memelihara/menopang segala sesuatu yang telah dijadikan), masuk dalam dimensi waktu dan ruang (Allah yang berinkarnasi, berkenosis) untuk hadir dalam keterbatasan dengan hukum alam.
Hadir kedalam dunia melalui perantaraan perawan maria, mengalami masa pertumbuhan secara nomal sampai Ia siap melaksanakan karya penyelamatan Allah kepada manusia melalui pelayanan P.I.Nya, mengalami segala bentuk kesusahan dan penderitaan bahkan kematian, tetapi dibangkitkan. Kematian yang Ia kerjakan menjadikan Dia layak menjadi imam besar agung, bahkan sampai kekekalan pun tidak seorang pun yang dapat merampas atau membatalkan keimamanNya, apalagi hakekatNya sebagai pengantara suatu perjanjian baru antara Allah dan uma manusia.
Pemaparan diatas hanya merupakan sebuah benang biru yang membawa pada sebuah kebenaran mutlak bahwa, Yesus adalah pribadi yang superioritasnya mengatasi segala sesuatu, tokoh spektakuler manapun dan paham yang paling ideal sekalipun. Kebenaran terhadap makna Kristologi, seharusnya membawa umat hidup dalam kebergantungan mutlak, serta penyerahan diri secara total tetapi juga dengan penuh kesadaran ambil bagian dalam ketaatan bagi kemuliaanNya.

Senin, April 27, 2009

Salib,Wajah Solider Allah















Tujuan utama Yesus dengan rela mengerjakan semua penderitaan-Nya adalah menyelesaikan karya penebusan, hutang dosa manusia telah dilunasi dan rencana keselamatan kekal sudah dianugerahkan. Secara teologis semua hal diatas tidak dapat diragukan, tetapi apabila diperhatikan dari sudut pandang yang lain, Yesus telah memberikan penggambaran yang jelas bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia …”
Tentu saja Allah hadir dan menyertai umat-Nya dalam segala keadaan. Turut bekerja bukan saja berarti bahwa Allah pernah mengalami penderitaan tetapi juga turut merasakan setiap pergumulan yang dihadapi umat. Begitu dekatnya ungkapan ini, sampai-sampai nuansa yang timbul disana adalah berada dalam keadaan sukcaita. Bahkan Paulus dengan tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa oleh karena Allah, ia ikut ambil bagian dari apa yang kurang dalam penderitaan Kristus.
Bagaimana mungkin memberikan penggambaran yang tepat bahwa Allah solider atas pergumulan manusia? Solider dalam bentuk yang paling dalam berarti bahwa Allah hadir dan ikut mengalami penderitaan bersama-sama dengan pelaku utama yaitu manusia. Dengan demikian pemahaman tentang Allah akan sama dengan pandangan agama suku tentang allah yang tidak mampu bahkan untuk membela dirinya sendiri, sehingga harus ada sekelompok orang yang menjadi pembelanya. Tetapi dengan melepaskan Allah dari realitas tersebut akan sama saja dengan pengakuan filsafat bahwa Allah sudah terlalu menikmati “dunianya” sampai-sampai tidak punya waktu lagi untuk memperhatikan ciptaan-Nya.
Epikuros salah satunya yang memberikan pemaparan tentang perihal 4 jenis Allah. Pertama, Ia mampu dan mau melaksanakan kehendak-Nya. Kedua, Ia mampu tetapi tidak mau melaksanakan kehendak-Nya. Ketiga, Ia tidak mampu tetapi mau melaksanakan kehendak-Nya, serta keempat, Ia tidak mampu sekaligus tidak mau melaksanakan kehendak-Nya. Konsep Allah yang dimiliki dalam ke-Kristenan tentu saja berbeda dengan semua bentukan di atas.
Allah yang dipahami adalah Allah yang secara teologis, etis dan estetik hadir dalam realita hidup umat-Nya, tetapi bukan juga Ia terlalu lemah sehingga harus “mengalami”, atau terlalu kuat dan jauh sehingga “pura-pura” mengalami penderitaan. Sehingga solidaritas Allah disini harus dipahami dengan bijaksana dimana Allah dalam Yesus Kristus secara real pernah mengalami tekanan yang paling berat dan paling buruk dalam sepanjang sejarah. Tetapi juga Ia adalah Allah yang tak terbatas oleh apapun, sehingga Allah dalam Yesus adalah Allah yang menang.
Dengan demikian solidaritas Allah harus dipahami bahwa Allah tetap ada dalam posisi yang kuat dan tak terjangkau oleh penderitaan tetapi Ia secara aktif merangkul manusia menderita dan memberikan penghiburan dan kemenangan. Inilah yang mengakibatkan manusia penderita bisa bertekun dalam penderitaan, karena penderitaan yang dialaminya adalah penderitaan biasa yang tidak melampaui kekuatannya. Penderitaan Kristus di atas kayu salib, sudah terlalu cukup menjadi alasan sehingga Allah membenarkan manusia berdosa demi kasih karunia-Nya.
Lukas menceritakan bahwa suatu ketika seorang ahli Taurat datang untuk mencobai Yesus. Pertanyaan pamungkas yang coba ditanyakan ahli Taurat tersebut adalah: “Siapakah sesamaku manusia?” Pertanyaan ini mungkin pernah terjadi dalam realita hidup manusia normal, tetapi penekanan yang ingin ditunjukan disini adalah untuk menjadi sesamaku, maka orang tersebut harus ada dalam posisi sejajar dengan aku. Sejajar dalam segala aspek, misalnya: politik, status, budaya, nilai-nilai etis, ekonomi, kepercayaan, dan lain sebagainya.
Kondisi bangsa Indonesia saat ini yang tak kunjung keluar dari penderitaan, akan menjadi pemicu terhadap dampak sosio-ekonomi yang semakin memperparah hubungan horisontal Indonesia. Dimana pertanyaan “siapakah sesamaku?” tidak patut untuk dipertahankan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dalam semangat persatuan menuju keadilan sosial. Untunglah Yesus telah memberikan solusi yang tepat lewat perumpamaan orang Samaria yang baik hati. Teladan ini, harus menjadi terapan praktis dalam hidup dalam semangat “bersama kita bisa.”
Jawaban atas pertanyaan yang diajukan sendiri oleh ahli Taurat tadi adalah: “Orang yang telah menunjukan belas kasihan kepadanya.” Artinya persepsi siapakah sesamaku harus diubah; bukan lagi dari sudut pandang aku, tetapi diubah dari sudut pandang ia/dia. Dengan demikian semua pihak akan berusaha menjadi “orang yang menunjukan belas kasihan.” Sikap seperti ini merupakan pengejawantahan semangat solidaritas Allah atas penderitaan yang dialami oleh umat-Nya.
Seharusnya pertanyaan seperti ini tidak perlu diajukan lagi, sebab Yesus telah terlebih dahulu menjadi sesama bagi manusia. Rangkaian peristiwa di kayu salib, mempertemukan Yesus dengan seorang terhukum yang secara sadar bahwa ia layak untuk dihukum. Kesadaran ini membuat Yesus menjadi sesama yang baik baginya dan berkata kepadanya: “…sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan aku di dalam Firdaus.” Penderitaan yang dialami oleh Yesus tidak serta merta mewajibkan-Nya untuk tutup mata dan memikirkan penderitaan sendiri. Dengan demikian teladan yang diberikan oleh Yesus, seharusnya membuat orang percaya bersama-sama dengan Allah turut ambil bagian dan solider terhadap penderitaan, serta menjadi sesama yang baik dari sesamanya yang sedang menderita; walaupun orang percaya itu sendiri sedang menderita.
Usulan teologis di atas dapat dijadikan wacana untuk mengembangkan metode berteologi dalam penderitaan. Bukan pula untuk melupakan kondisi bahwa Allah senantiasa mencurahkan berkat bagi umat-Nya, sehingga dekat dengan Allah membawa konsekuensi diberkati. Tetapi juga tidak melupakan realita yang lain dimana Allah juga “menghajar” orang-orang yang dikasihi-Nya. Metode berteologi seperti ini kena-mengena dengan upaya memberdayakan masyarakat teologi dalam semangat in loco (konteks kebudayaaan lokal), dengan tidak melupakan keberadaannya yang in globo (konteks universal).
Setelah melalui riset terhadap pembahasan tematis terhadap perihal pemeliharaan Allah yang mencakup seluruh umat manusia, maka beberapa hal yang dapat digumuli berkaitan dengan upaya berteologi dalam konteks Indonesia, yaitu: Pertama: jelas bahwa Allah yang dipahami dalam konsep iman Kristen berbeda dengan konsep Allah dari agama suku maupun desain filsafat. Allah dalam Yesus Kristus adalah pribadi yang solider dengan pergumulan dan penderitaan yang dialami oleh umat-Nya.
Sikap solider Allah merupakan kondisi yang real dan aktif, dimana Allah mengambil inisiatif untuk memberikan penghiburan dan pertolongan yang tanggap serta tepat waktu. Selain itu, Allah sendiri dalam Yesus Kristus, telah menunjukan teladan kemenangan atas penderitaan, sehingga dapat menjadi jaminan bagi orang percaya untuk turut serta bersama-sama dengan kemenangan Allah itu.
Kedua, kehadiran orang percaya dimanapun konteks hidupnya (in loco maupun in globo) harus menjadi sesama yang baik bagi sesamanya, seperti wajah Allah yang nyata dalam pergumulan Yesus Kristus di atas kayu salib. Dengan demikian, Yesus sebagai wajah Tuhan yang menderita merupakan semangat hidup solider dan menjadi sesama bagi sesamanya, entah dalam konteks penderitaan maupun tidak dalam penderitaan.

Minggu, April 26, 2009

The Passion of the Christ


Penyaliban merupakan hukuman mati perlahan-lahan yang biasa dilakukan pemerintah Romawi bagi mereka yang dianggap penjahat besar. Penyaliban ini dirancang agar terhukum mengalami penderitaan yang luar biasa sambil menantikan kematiannya. Melalui pengetahuan secara anatomi maupun dari penelitian terhadap praktek-praktek kuno mengenai penyaliban, maka sangat mungkin untuk menemukan data akurat terhadap proses penyaliban di masa Romawi. Hasil survei menjelaskan bahwa setiap luka-luka yang terjadi sudah dirancang sedemikian rupa untuk menghasilkan rasa sakit yang luar biasa sehingga menyebabkan kematian. Penderaan hukuman cambuk sebelum penyaliban, dilakukan dengan tujuan untuk melemahkan fisik terhukum. Pengeluaran darah yang sangat banyak bisa menyebabkan orthostatic hypotension (penurunan tekanan darah akibat berbagai gerakan perubahan posisi tubuh), bahkan menyebabkan pula hypovolemic shock (kejang akibat kekurangan cairan tubuh). Ketika korban direbahkan di tanah dalam persiapan memaku kedua tangannya, luka-luka bekas cambukan dipunggungnya akan terkoyak kembali dan tercemar oleh debu tanah.
Hal ini bisa menyebabkan infeksi dan demam tinggi, sehingga terhukum bisa saja mengigau di atas kayu salib. Dengan tangan terentang tetapi tidak tegang, pergelangan tangan dipaku ke palang salib. Terbukti bahwa persendian dan tulang pergelangan tangan dapat menahan berat seluruh tubuh yang tergantung disalib. Karena itu, paku-paku besi sangat mungkin ditancapkan di antara kedua jajaran tulang pergelangan tangan. Walaupun paku yang menembus pergelangan tangan bisa lewat di antara unsur-unsur tulang tanpa mengakibatkan keretakan, namun paku yang tertancap akan memutuskan syaraf motorik (penggerak) bagian tengah. Sedangkan bagian-bagian syaraf lain yang terangsang akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa di kedua tangan. Pengaruh parthophysiologic (penjalaran rasa sakit) yang terutama sebagai akibat penyaliban, selain kesakitan yang mengerikan, adalah gangguan nyata pada pernapasan normal, khususnya pernapasan keluar.
Berat badan yang tertarik ke bawah dan tergantung pada kedua lengan yang terpaku, akan menyulitkan otot-otot di antara tulang iga untuk berkontraksi dalam posisi menarik nafas. Proses ini akan mengakibatkan proses pernapasan yang pasif dan sangat lemah. Pernapasan menjadi pendek dan sesak. Cara pernapasan menjadi sangat tidak memadai dan akan mengakibatkan hypercarbia (napas cepat, banyak gas CO² keluar). Untuk mencapai pernapasan yang memadai memerlukan upaya mengangkat tubuh dengan mendorong kaki dan melenturkan siku dan bahu. Gerakan ini akan membuat seluruh berat badan tertumpu pada tulang mata kaki dan akan menimbulkan kesakitan yang amat sangat pada kaki yang terpaku. Melenturkan siku juga dapat mengakibatkan pula pergeseran luka dipergelangan tangan yang terpaku dan mengakibatkan rasa sakit yang hebat di sekitar syaraf tangan yang rusak. Mengangkat tubuh juga akan memarut bilur-bilur luka dipunggung. Kejang pada otot-otot dan kesemutan disekujur tangan yang terentang akan menambah penderitaan. Jadi setiap gerakan yang dibuat akan justru memperhebat sengsara jiwa dan raga.
Kitab Injil Matius memberikan deskripsi yang unik sekaligus sempurna terhadap tahapan-tahapan pergumulan Yesus dalam prosesi penderitaan-Nya. Pada bagian-bagian ini akan mengikuti sistem kronologis yang dibuat oleh penulis injil Matius. Dengan demikian pembaca akan menemukan setiap lekuk demi lekuk penderitaan yang dialami oleh Yesus. Bukan hanya sekedar penderitaan rohani sebagai konsekuensi teologis terhadap dosa yang dipikulnya, tetapi realnya hukuman yang harus Ia pikul bagi kita.
Tahap Pertama (Matius 26:37)
Semua penderitaan rohani dan jasmani yang dialami oleh Kristus bermula di taman Getsemani. “Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Luk. 22:44). Di bawah tekanan yang hebat, pembuluh darah halus dalam kelenjar-kelenjar keringat dapat pecah sehingga keringat bercampur dengan darah.

Tahap Kedua (Matius 26:67)
Setelah ditangkap diwaktu malam dan ditinggalkan oleh murid-murid-Nya, Yesus dibawa kepada Kayafas dan Majelis Yahudi. Ketika itu mereka menutup matanya dan berulang-ulang memperolokkan Dia, meludahi dan manampar Dia.
Tahap Ketiga (Matius 27:2)
Pada pagi hari Yesus sudah dipukul berulang-ulang dan penat, dibawa ke bagian lain kota Yerusalem untuk diperiksa oleh Pilatus. Barabas dilepaskan dan Yesus disesah dan kemudian diserahkan untuk disalibkan.
Tahap Keempat (Matius 27:26)
Penyesahan cara Romawi dilakukan dengan melucuti pakaian korban serta merentangkan tubuhnya pada sebuah tiang atau membungkukkan tubuhnya pada sebuah tiang yang pendek dengan tangan diikat. Alat penyesahnya adalah sebuah kayu pendek dengan beberapa tali kulit di ujungnya. Pada ujung tali kulit itu telah diikatkan potongan-potongan kecil besi atau tulang. Dua orang yang berdiri sebelah-menyebelah korban itu akan memukuli punggungnya – sebagai akibatnya – daging punggung korban akan tersayat-sayat sedemikian rupa sehingga pembuluh-pembuluh darah dan urat nadi, bahkan tidak jarang organ-organ di dalam tubuh dapat dilihat dari luar. Sering korban sudah mati sementara penyesahan dijalankan. Penyesahan merupakan penyiksaan yang sangat mengerikan, ketidakmampuan Yesus untuk berdiri sendiri sambil memikul salibnya merupakan akibat dari peyesahan yang mengerikan ini.
Tahap Kelima (Matius 27:28-29)
Tali yang mengikat Yesus dilepaskan dan Ia ditempatkan di tengah-tengah sekelompk tentara Romawi, mereka mengenakan kepada-Nya jubah berwarna ungu dengan sebatang tongkat ditangan-Nya. Mereka kemudian memasangkan mahkota dari ranting-ranting yang berduri di kepala-Nya. Para prajurit kemudian mengejek, menampar dan memukul kepalanya sehingga duri-suri makin terbenam di tengkorak kepala-Nya.
Tahap Keenam (Matius 27:31)
Balok salib yang berat itu diikatkan pada pundak Yesus. Mulailah Ia berjalan dengan perlahan-lahan menuju bukit Golgota. Beratnya balok salib tersebut ditambah lagi kepenatan jasmani yang hebat, membuat Dia terjatuh. Yesus mencoba untuk berdiri, namun tidak sanggup lagi. Simon orang Kirene kemudian dipaksa untuk memanggul salib tersebut.
Tahap Ketujuh (Matius 27:35)
Di bukit Golgota balok salib yang melintang diletakkan di tanah dan Yesus dibaringkan di atasnya. Kedua tangannya direntangkan di atas balok salib dan paku besi persegi dipakukan melalui pergelangan tangan sampai tembus ke kayu. Setelah itu Yesus diikat dengan bantuan tali balok salib yang melintang diikatkan dan dipakukan pada tiang salib. Dan sebuah penyangga untuk tubuh-Nya dipasang pada salib itu. Akhirnya kakinya direntangkan dan dipakukan pada salib itu dengan paku yang lebih besar.
Tahap Kedelapan (Matius 27:39)
Kini Yesus tergantung dalam keadaan yang menyedihkan berlumuran darah, penuh dengan luka-luka dan ditonton banyak orang. Berjam-jam lamanya seluruh tubuh-Nya terasa sakit luar biasa, lengan-Nya terasa lelah, otot-otot-Nya kejang dan kulit-Nya tercabik-cabik dari pungung yang nyeri. Kemudian muncul penderitaan baru yaitu rasa sakit yang hebat terasa dalam dada-Nya ketika cairan mulai menekan jantung-Nya. Ia merasa sangat haus dan sadar akan perkataan makian dan cemoohan orang-orang di bawah salib.
Tahap Kesembilan (Matius 27:46)
“Mengapa Engkau meninggalkan Aku.” Kata-kata ini merupakan puncak dari segala penderitaan-Nya bagi dunia yang terhilang. Seruan-Nya dalam bahasa Aram “Allahku-Allahku mengapa Kau tinggalkan Aku,” menunjukan bahwa Yesus sedang mengalami pemisahan dari Allah, sebagai pengganti orang berdosa. Pada tahap ini semua kesedihan, penderitaan dan rasa sakit mencapai puncaknya. Ia tertikam oleh karena pemberontakan kita (Yes. 53:5) dan Ia telah memberikan diri-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (II Tim. 2:6). Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita (2 Kor. 5:1). Dia mati sebagai yang ditinggalkan Bapa, agar kita tidak akan pernah ditinggalkan oleh-Nya.
Tahap Kesepuluh (Matius 27:50)
Dengan nyaring ia mengucapkan kata-kata-Nya yang terakhir, “sudah selesai” (Yoh. 19:30). Seruan ini menandakan akhir dari segala penderitaan-Nya serta penyelesaian karya penebusan, hutang dosa manusia telah dilunasi dan rencana keselamatan kekal sudah dianugerahkan

Selasa, April 21, 2009

Iman dan Opo-opo


Dalam dunia ketimuran, praktek okultisme, mitos, perbintangan, nujum, jimat dan lainnya masih mendapat tanggapan secara antusias, yang secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai budaya yang masih terpelihara dan terserap dalam dunia modernisasi. Hal-hal seperti ini, bukan menjadi bahan asing tetapi seakan-akan sudah memasyarakat, sehingga gereja (terutama gereja tradisional) acapkali menganggap ini bukan sebagai masalah serius yang harus diselesaikan. Lain halnya dengan gereja yang bernafaskan pantekosta dan kharismatik, mereka menganggap hal seperti ini sebagai musuh gereja dan harus ditengking.
Dilema ini bukan tidak berdasar, tetapi akan menjadi masalah yang besar apabila harus dikonfontir dengan kenyataan yang ada. Pemimpin gereja seharusnya mengambil sikap yang tegas, tetapi disisi lain diperhadapkan dengan budaya, keadaan sosial, nilai tradisi serta suara mayoritas umat. Pada akhirnya pemimpin gereja mencoba bersikap netral dengan membahasakan okultisme dengan istilah kuasa putih dan kuasa hitam, yang pada akhirnya mereka ikut ambil bagian dalam melegalkan hal tersebut.
Dalam terminologi progresifitas identitas umat pilihan Allah yang telah dibenarkan, okultisme selalu mendapat kecaman yang bernilai mutlak. Rasul Petrus dengan mengutip bagian Perjanjian Lama, berkata:

Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

Hal ini berarti segala bentuk pelanggaran, temasuk legalitas terhadap okultisme akan dianggap sebagai suatu sikap kudeta terhadap kekudusan Allah. Sappington memberikan pengertian terhadap praktek okultisme sebagai :

Iblis membentuk dunia melalui orang-orang kepercayaannya yang mudah dipengaruhi olehnya, sehingga sistem nilai dan cara hidup dunia semakin bertentangan dengan kehendak Allah. karena kita hidup dalam dunia ini, maka kita dapat terpengaruh oleh sistem nilai atau cara hidup dunia, dan pengaruhnya menjadi lebih kuat karena adanya keinginan daging.

Dalam agama Fenisia kuno beberapa praktek okultisme yang terkenal antara lain, pejabat kultis, imam agung, imam juru tenung, penjaga bait, kadeshoth (pelacur sakral, pelacur bakti), dan peratap-peratap. Melalui penggalian arkeologi terhadap kuil Kanaani di Nahariya daerah pantai utara Israel modern ditemukan bukit pengorbanan, yang digambarkan sebagai suatu tempat terbuka yang biasanya hanya dipagari disekelilingnya, terletak didekat perigi atau pohon keramat, dan dilengkapi sebuah kamar sederhana.
Praktek-praktek ritual seperti ini kemudian diadopsi oleh sebagian masyarakat Israel, misalnya praktek pertenungan yang terjadi dalam zaman raja Saul. Menurut 1 Samuel 23, Saul telah menghapus ilmu tenung dari Israel, serta mengancam dengan hukuman mati bagi mereka yang masih melakukannya. Sikap itu sesuai dengan hukum Israel kuno, walaupun ilmu tenung masih bertahan di Israel. praktek pertenungan terjadi di masa Yesaya dan Yosia (2 Raj. 21:6; 23:24). Jadi dapat disimpulkan bahwa praktek-praktek yang demikian itu terus-menerus berlaku di Israel, walaupun ditentang dengan keras.
Dalam hubungannya dengan jimat, biasanya dikaitkan dengan asumsi bahwa pemakainya akan terlindung dari kejahatan. Isu tentang pemakaian jimat sudah dimulai di seluruh Asia Barat pada zaman kuno. Jimat biasanya dipakai di kepala atau leher, umumnya adalah perhiasan atau permata kecil, batu, meterai, manik-manik, porselen atau lencana dengan kemungkinan dapat ditulisi sebait doa atau mantera. Bukti arkeologi menunjukan bahwa jimat yang umumnya adalah perhiasan berbentuk bulan sabit terbalik, simbol dewi Astarte-Isytar. Demikian pula penggunaan patung kecil dan lambang-lambang binatang dan buah dari Mesir.
Praktek okultisme yang masih dikenal dalam periode masa kini adalah possession (kerasukan setan). Possession adalah keadaan orang yang dikuasai oleh kekuatan setan. Tradisi Kristiani menerima adanya kemungkinan orang kerasukan setan. Sementara itu, ada banyak orang yang berpendapat bahwa keadaan orang yang seolah-olah dikuasai oleh setan itu sebenarnya disebabkan oleh gangguan psikologis, bukan karena benar-benar secara harafiah diperbudak oleh setan.
Beberapa kasus dalam Perjanjian Baru seakan-akan memberikan hubungan antara possession dan kegilaan. Sinergis dengan asumsi ini, kegilaan dikatakan sebagai awal dari terjadinya distorsi terhadap relasi antara manusia dan kebenaran. Meskipun demikian identifikasi seperti itu memberikan pada kegilaan sebuah makna baru kesalahan, sanksi moral dan penghukuman, yang kesemuanya bukan merupakan bagian dari pengalaman klasik. Manifestasi kegilaan tetap dianggap sebagai efek psikologis dari sebuah kesalahan moral.
Istlah okultisme berasal dari kata dasar occultus, dalam bahsa Latin, yang berarti tersembunyi, rahasia, sial, celaka, gelap, gaib dan misterius. Stanley Heath melengkapkan pengertian tersebut dengan ungkapan tidak terselidiki melalui pengamatan indrawi. Jadi okultisme berarti paham tentang kuasa atau kegiatan gelap dan gaib yang berkepentingan dalam dan bai kehidupan manusia. Orang yang okultis berarti orang yang melibatkan diri dengan dan percaya kepada roh-roh gelap, agar dirinya mengalami pertolongan dan mendapatkan manfaat darinya untuk menghadapi pergumulan hidup, melalui praktek-praktek yang bersifat rahasia, aneh dan misterius. Dalang dan sumber okult adalah iblis beserta antek-anteknya.
Ada banyak bentuk, substansi kepentingan dan istilah-istilah bagi praktek-praktek okultisme. Hal demikian tidak perlu mengejutkan, oleh karena iblis dan kerabatnya cukup pintar dan variatif dalam memikat calon-calon pengikutnya diwikayah-wilayah tertentu.
Bagian-bagian yang telah dipaparkan diatas sebagian besar masih ada dalam kehidupan beberapa golongan masyarakat Indonesia. Baik itu dikenal sebagai pesugihan, santet, azimat, susuk, opo-opo, upacara tabur agung, selametan, sesajen dan lainnya. Hal ini berarti bahwa, praktek okultisme masih erat hubungannya dengan masyarakat luas.
Sejarah menjelaskan bahwa animisme menjadi bagian dari kebudayaan Sangihe, walaupun mereka menyebutnya dengan “mana”. Mana adalah satu kata dari bahasa malenesia yang pertama-tama digunakan oleh zending Inggris Codrington, untuk menyatakan suatu “tenaga sakti penuh rahasia”. Dalam pemahaman masyarakat primitif, kuasa ini ada dalam manusia dan binatang, dalam pepohonan dan tetumbuhan, dalam segala sesuatu dan bisa mengerjakan baik kebahagiaan maupun pemusnahan.
Dalam konteks kekinian kuasa-kuasa tersebut bisa didentifikasikan sebagai kuasa hitam dan kuasa putih (dukun hitam atau dukun putih). Selain kepercayaan mana, ada juga beberapa bentuk kepercayaan lain, seperti: penyembahan orang mati, kepercayaan kepada roh-roh dan dewa-dewa, ketakuan terhadap penyihir, amulet atau jimat. Kepercayaan ini sempat tertutupi oleh karena pengaruh penyiaran agama Kristen yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Zending, tetapi kemudian muncul kembali penggunaannya, yang walaupun telah diganti dengan istilah-istilah yang lebih “injili” atau dengan yang lebih ilmiah.
Pembauran antara kepercayaan primitif dengan iman Kristen, menciptakan suasana iman yang abu-abu, yang selanjutnya akan menjadi bahaya besar terhadap teologi dan doktrin-doktrin yang terkait didalamnya. Umat akan memandang kebenaran dan ketidak benaran sebagai sesuatu yang relatif, seperti yang didefinisikan oleh Holmes, sebagai:

Relativisme mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Berkenaan dengan itu, filsuf Yunani, yaituProtagoras menegaskan bahwa relativisme telah menguasai hampir semua bidang kehidupan dan penelitian, diantaranya dibidang etika dengan etika situasional dan dibidang agama dengan mencanangkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak atau universal.

Dibeberapa tempat tertentu iman yang abu-abu masih terasa, bahkan ada beberapa majelis gereja yang masih menggunakan dukun sebagai pengobatan alternatif, dengan alasan teologis bahwa: Tuhan juga sanggup menggunakan segala macam sarana untuk kepentingan umat-Nya. Tak ayal lagi kebenaran sudah semakin menjadi tidak mutlak, yang pada akhirnya membawa pada sikap-sikap terhadap fenomena tertentu yang masih terasa bentuk animismenya dalam gereja.
Beberapa contohnya antara lain, dalam persiapan persalinan dukun bersalin hanya memperhatikan kebiasaan-kebiasaan adat dan dengan mudah melalaikan syarat-syarat ilmu kesehatan dan pencegahan. Persalinan yang sulit menandakan pelanggaran yang telah dilakukan entah oleh pria, wanita ataupun oleh kerabat keluarga lainnya. Dalam hal kematian terdapat hal fenomenal lainnya, yaitu setiap kuburan harus ditutupi dengan mesel kasar, kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah batu nisan yang tinggi. Sampai betapa jauh hal ini disebabkan oleh perasaan segan terhadap orang yang telah meninggal atau disebabkan oleh cara berpikir animistis. Tidak mengurus kuburan dengan cara seperti itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak pantas. Itulah sebabnya seorang duda tidak akan menikah lagi sebelum kubur istrinya yang telah meninggal diselesaikan. Kebiasaan lain adalah saat kuburan-kuburan yang tidak dipedulikan selama satu tahun penuh, sehari sebelum hari natal akan dibersihkan dan dihiasi dengan bunga-bunga.
Hal-hal diatas hanyalah sebagian kecil contoh praktek okultisme sinkritisme yang terjadi dalam lingkungan gereja, tentu saja hal ini akan menyebabkan masalah besar apabila dieksploitasi secara besar-bsaran, namun tugas hamba Tuhan adalah untuk membersihkan umat dari segala macam praktek yang tidak Alkitabiah, dan membawa umat pada frame biblika. Hanya melalui cara ini, maka gereja akan dapat dipakai secara melimpah oleh Tuhan dalam pelayanannya.
Pergeseran terhadap nilai kebenaran akan membawa pada jurang kesesatan yang dapat diselubungi dengan topeng spiritual rohani, tetapi pada ujung-ujungnya akan membawa imat pada kondisi iman yang abu-abu. Segala permaianan okultisme sangat bertentangan dengan Firman Allah. orang percaya dipanggil untuk menghadapi seluruh pergumulannya dengan melibatkan Tuhan. Tindakan melibatkan kuasa okult berarti melakukan perzinahan spiritual, Firman Tuhan menegaskan tentang larangan bergaul dengan roh-roh jahat.
Allah sangat membenci persekutuan manusia dengan roh-roh jahat. Mencari pertolongan diluar Tuhan, yaitu bersandar kepada dunia gaib, merupakan perbuatan tercela. Apapun beratnya pergumulan hidup orang percaya, dirinya harus menyandarkan hidupnya pada kemaha kuasaan Tuhan, sebab dalam Kristus telah tersedia sumber kekuatan.
Berdasarkan keterlibatan dan kerekatannya dengan praktek okultisme, seseorang bisa termasuk dalam golongan: pertama, orang yang hanya sesekali mengharapkan kekuatan okultisme dalam hidupnya. Contohnya, bila seseorang sesekali datang kedukun untuk meminta pertolongan, tanpa diberikan media-media okultisme yang bersifat menetap. Kedua, memiliki sarana-sarana okultisme secara menetap. Contohnya adalah orang-orang yang memiliki jimat, opo-opo benda-benda gaib. Ketiga, orang-orang yang memang sudah menjadi hamba iblis atau hidup sebagai kepanjangan tangan kuasa-kuasa roh jahat.

Senin, April 20, 2009

Kristus telah dibangkitkan - Selamat Paska!!!


... 14 Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu... 17 ... dan kamu masih hidup dalam dosamu. 18 Demikianlah binasa juga orang-orang yang mati dalam Kristus. 19 Jikalau kita hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia. 20 Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. 21 Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia (Adam), demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus. (1 Korintus 15:14, 17, 18, 19, 20, 21)


"Apa yang loe tahu tentang Yesus?" tanyaku suatu kali kepada Dedi, saat pulang berjalan bersama dari sekolah. Saat itu, tengah hari mulai beranjak masuk pukul 1 siang. Puluhan siswa-siswi bergerombol bergegas pulang di depan pintu gerbang SMA ku. Aku masih duduk di bangku SMA kelas 2. Aku juga belum tahu banyak tentang iman pada Kristus sebab boleh dibilang aku hanyalah seorang anak laki-laki yang dibesarkan dalam keluarga Kristen.
Aku ingat beberapa peristiwa di masa SD dan SMP saat Paskah dirayakan di sekolah minggu. Waktu itu, ada perayaan Paskah Subuh jam 5 pagi. Pagi masih remang-remang saat aku dan teman-teman sekolah minggu yang lain duduk menunggu instruksi dari guru sekolah minggu sebelum ibadah dan lomba mencari dan menghias telor Paskah dimulai. Yah, masa kanak-kanak yang tak terlupakan, meski saat itu aku belum mengerti apa arti Paskah dan mengapa Kristus mati di kayu salib.
Sambil melangkah santai, Dedi menjawab singkat, "Yang disalib itu bukan Nabi Isa, itu orang lain yang menyamar jadi Nabi Isa." Entah mengapa yang dia jawab justru peristiwa penyaliban. Aku menoleh ke arahnya sementara hatiku tiba-tiba menjadi sedih. "Darimana dia mendapat kabar tentang itu? Mengapa jawaban itu yang selalu terlontar dari bibir orang-orang yang pernah kutanyakan?"
Mereka menyimpan dalam hati mereka bahwa Yesus tidak pernah mati dan dibangkitkan. Yesus tidak pernah menderita, disiksa, dan disembelih sebagai Anak Domba Allah. Mereka menaruh percaya bahwa Yesus diangkat ke surga sebelum ditangkap oleh prajurit Romawi. Entah darimana mereka mendengar kabar itu?
Ironisnya, jawaban itu juga aku dapat dari bibir orang-orang 'Kristen' yang memilih diperhamba dunia, menaruh percaya pada hal-hal lahiriah dan filsafat dunia. Mereka sudah mendengar dan (sempat) percaya tentang Kristus, tetapi buah kehidupannya justru meremehkan dan menjual imannya kepada Kristus. Atas nama cinta, Kristus ditinggalkan. Atas nama uang, jabatan dan kekuasaan, Kristus digadaikan.
Mungkin, di balik jawabannya itu, Dedi dan orang-orang itu ingin menyampaikan pesan bahwa iman pada Yesus adalah sia-sia sebab Ia tidak pernah disalibkan, mati, dan dibangkitkan. Sama seperti apa yang pernah Rasul Paulus katakan bahwa kita adalah adalah orang-orang yang paling malang dari segala manusia karena menaruh percaya dan harapan pada Yesus Kristus. Kita terhitung dalam golongan orang fasik yang semakin fasik karena percaya pada 'Tritunggal', bertuhankan 'manusia', dan bertuhankan 'orang lain yang mirip Yesus' yang mati tergantung hina di kayu salib.
Tetapi puji syukur kepada Allah, yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal. Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia (Adam), demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.
Saat Adam, manusia pertama jatuh dalam dosa, seluruh generasi setelah Adam mewarisi dosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Tidak ada satu manusiapun yang layak di hadapan-Nya. Ratusan bahkan ribuan tahun lamanya, manusia bertobat dari dosa-dosanya dengan cara menyembelih hewan korban domba sebagai simbol penebusan dosa. Tetapi manusia tetap jauh dari Allah dan Allah tidak bisa didekati.
Hingga hari yang telah ditentukan-Nya, Kristus lahir ke dunia, Tuhan yang menjadi manusia, memberitakan kabar baik bahwa Tuhan mengasihi manusia ciptaan-Nya. Dia menceritakan tentang surga dan kasih Bapa-Nya. Dia menyingkapkan kebenaran surgawi meruntuhkan kebenaran-kebenaran buatan manusia. Dia adalah Kasih dan melalui Dia kita bisa mengenal dan merasakan bahwa Tuhan sangat mengasihi kita. Dia tidak mati dan tidak jauh. Dia dekat dalam hati dan menyertai kita hingga kesudahan jaman. Bahkan dia mati tergantung di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Itulah bukti cinta-Nya kepada manusia dengan memberikan diri-Nya sendiri sebagai korban sembelihan.
Sama seperti satu manusia Adam jasmani jatuh dalam dosa, oleh satu manusia Adam rohani pulalah kita diperdamaikan dengan Allah yaitu Yesus Kristus. Manusia tidak perlu lagi takut menghadap-Nya, takut pada maut, dan berharap Ia berkenan terhadap hewan korban sembelihan yang dipersembahkan kepada-Nya, sebab lewat Kristus, korban Anak Domba Allah, manusia diperdamaikan kembali sebagai ciptaan baru dimana kutuk dosa dan kutuk maut tidak lagi menguasainya. Terpujilah Yesus Kristus dan Allah, Bapa, yang telah membangkitkan Dia dari antara orang mati.

Minggu, April 19, 2009

Yesus: Anak Allah, Kudus dan Tak Berdosa


Yesus Anak Allah yang kudus dan tak berdosa merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas karena, jika Kristus ternyata berdosa maka iman Kristen akan runtuh dan menjadi tidak jelas. Justru dengan adanya topik yang demikian membutuhkan suatu pembuktian yang bersifat argumentatif atau apologetika. Karena Kristus adalah manusia dan Allah yang sejati dan menjadi obyek iman Kekristenan, maka eksistensi Kristus sebagai pribadi yang kudus dan yang tak berdosa merupakan landasan iman untuk memahami korban Kristus sebagai yang tak bercacat dan yang berkenan kepada Allah. Artinya Kristus adalah Juruselamat yang sejati.

Yesus Kristus disebut sebagai “Anak Allah yang kudus” (Lukas 1:35), “Yang Kudus dan Benar” (Kisah 3:14), “hamba-Mu yang Kudus” (Kisah 4:27). Kekudusan Kristus menyatakan keilahian-Nya (Yohanes 14:30). Menegaskan hakekat kekudusan Tuhan Yesus Kristus, penulis Kitab Ibrani mencatat bahwa “Ia tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15), artinya menunjukkan bahwa perilaku-Nya kudus karena Ia terpisah dari pencemaran dosa (Ibrani 7:26) karena pada dasarnya Yesus selalu melakukan kehendak dan menyenangkan hati Bapa-Nya yang di Sorga (Yohanes 8:29). Terbukti ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalasnya dengan mencaci maki tetapi justru Ia menyerahkannya kepada Dia yang menghakini dengan adil (1 Petrus 2:22,23).
Tentang eksistensi kepribadian Kristus sebagai manusia-Allah yang sejati dan berkaitan dengan bisa atau tidaknya Yesus berdosa pernah menjadi topik yang diangkat untuk bahan perdebatan oleh para pakar teologi. Hodge seorang pakar yang menyatakan bahwa “pencobaan dapat diartikan kemungkinan berbuat dosa.” jadi pribadi Kristus tidak mungkin berbuat dosa, maka pencoban-Nya juga bukanlah hal yang nyata dan tidak berdampak. Dan Ia tidak dapat memberikan simpati kepada umat-Nya.
Nampaknya pendapat Hodge ini lebih ekstrim karena hanya cenderung untuk melihat pada satu aspek saja yakni karena Kristus dalam kemanusiaan-Nya, jadi mungkin dapat berdosa. Sedangkan pada sisi yang lain, Shedd menyanggah pendapat bahwa Yesus kemungkinan bisa berdosa. Shedd menyatakan;”Hal ini tidak cocok dengan doktrin sifat Kristus yang tidak bisa berdosa, karena tidak konsisten dengan keadaan-Nya yang dapat dicobai. Dikatakan, bahwa seorang yang tidak dapat berbuat dosa, tidak dapat dicobai untuk berbuat dosa.”
Pada intinya dari hasil perdebatan tersebut memunculkan topik perdebatan dengan kualitas konsep. Adapun konsep tersebut ialah; bahwa Ia tidak mungkin berbuat dosa disebut “tanpa dosa” (non posse peccare). Dan konsep bahwa Ia mungkin dapat, apakah ia melakukannya atau tidak, disebut dengan “tak bercela” (posse non peccare).
Dalam mengatasi perdebadatan diatas kaum konservatif menyatakan pendapat yang Alkitabiah dengan mengemukakan pemahaman bahwa Kristus tanpa dosa, dan kelompok ini tidak setuju dengan pertanyaan apakah Ia dapat atau tidak dapat berbuat dosa. Sehubungan dengan masalah pencobaan Kristus kenyataan yang faktual bahwa ujian-ujian-Nya benar-benar terjadi secara pengalaman. Sebenarnya ujian-ujian yang dialami oleh Kristus merupakan ujian yang disesuaikan dengan keberadaan-Nya sebagai manusia-Allah yang sejati.
Kekudusan Kristus sebagai Anak Allah memiliki suatu pengertian yang mengacu pada kualitas hidup dalam setiap aspek kehidupan, artinya Ia terpisah dari kebobrokan dosa. Ungkapan anak Allah tentunya mengacu pada pengertian bahwa Ia Menampakkan kemuliaan Allah dalam hidup-Nya serta ia selalu menyenangkan dan melakukan kehendak Bapa (Yohanes 8:29).

Terbukti bahwa Kristus adalah Manusia dan Allah sejati dan semasa hidupnya Ia berlaku kudus dan hidup sesuai dengan kehendak Bapa. Dengan hakekatnya yang kudus maka Kristus layak untuk menjadi Juruselamat yang sejati yang menebus umat manusia dari perbudakan dosa (Yohanes 3:16). Artinya Kristus adalah korban yang sempurna dan dan itu cukup terjadi sekali dan berdampak untuk selamanuya.




Ringkasan Buku Runtut Pijar

Ringkasan buku


Judul : Runtut Pijar
Penulis : Tony Lane
Penerbit : Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001 (edisi revisi)

Dewan Gereja-gereja se-Dunia
Diresmikan di Amsterdam tahun 1948 merupakan wakil dari 147 gereja dari 44 negara, yang didorong oleh konferensi pekabaran Injil se-Dunia tahun 1910, yang diadakan di Edinburgh. Beberapa topok yang dibahas didalamnya adalah, iman dan tata gereja yang berusaha menyatukan kembali aliran-aliran dalam agama Kristen. Kehidupan dan pekerjaan adalah gerakan yang melihat iman Kristen dari kacamata sosial, ekonomi dan politik, serta Dewan Pekabaran Injil International.samapi saat ini semua gereja-gereja Kristen penting telah menjadi anggota dari Dewan gereja-gereja se-Dunia, kecuali gereja Roma Katholik serta beberapa kelompok Evangelikal.
Beberapa sidang raya yang dihasilkan antara lain, Amsterdam (1948) tentang persekutuan gereja-gereja yang menerima Yesus Kristus sebagai Allah dan Juruselamat. Evanston (1954), pekabaran Injil dinyatakan sebagai membawa orang kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan, dan menggabungkan mereka dengan gereja yang utuh untuk mencapai maksud Allah.
Upsala (1969), memberikan tekanan pada dimensi horisontal, yaitu pendamaian diantara umat manusia. Nairobi (1975), mulai memadukan antara dimensi horisontal dan dimensi vertikal, yang menghasilkan rumusan tentang seluruh gereja yang membawa seluruh Injil kepada pribadi seluruhnya di seluruh dunia. Seluruh Injil berarti pendamaian dengan Allah dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam memperjuangkan keadilan dan harkat manisia. Misi adalah pengakuan akan Yesus Kristus dalam kata dan perbuatan.
Vancouver (1983), memandang bahwa gereja seharusnya menjadi saksi Kristus bagi orang-orang yang sudah beragama maupun belum, disisi lain ditegaskan juga bahwa Allah hadir dan berkarya ditengah-tengah masyarakat yang beriman lain. Canbera (1991), sesuai dengan temanya yaitu Datanglah Roh Kudus - Baharuilah seluruh ciptaan, maka sidang raya ini lebih memikirkan masalah-masalah yang berkaitan dengan klonsep Roh Kudus.
Sejak tahun 1968 dimensi sosial injil menjadi pokok yang paling eksplosif dalam agenda dewan gereja-gereja se0-dunia. Namun hasil keseluruhan perdebatan adalah usaha serius dari semua pihak untuk mengemabngkan kebulatan konsep dari pengutusan dan penyelamatan serta menghindari kesalahan masa lampau untuk menafsirkannya dalam pengertian yang individual dan spiritual semata-mata.

Marthin Luther King (impian keadilan)
Lahir di Atlanta tahun 1929 berasal dari keluarga pendeta baptis, yang akhirnya membawa ia untuk menjadi pendeta baptis pada 1954. ia menempuh pendidikan akademisi sampai jenjang doktor di Boston University. King menjadi pemimpin gerakan-gerakan hal sipil, yang ditunjang dengan bakat pidato. Dalam aksinya tidak menggunakan kekerasan, yang nerupakan akibat penohohan terhadap Gandhi.
Usaha kerja kerasnya mendapat dukungan aktif dari Kennedy dan Johnson, yang mengakibatkan kongres Amerika Serikat tahun 1964 mengesahkan undang-undang hak sipil. Pada tahun yang sama King mendapat hadiah nobel untuk perdamaian, walaupun itu semua harus dibayar mahal dengan kematiannya pada tahun 1968, ketika ia mati tertembak oleh pembunuh kulit putih di Memphis.

Kosuke Koyama (Allah dalam kebudayaan yang hening)
Lahir di Tokyo tahun 1929, menyelesaikan doktor tahun 1959 dari Princeton Theological Seminary. Karir pelayanannya dimulai tahun 1961-1969 ketika ia menjadi misionaris di Thailand. Ia terkenal dengan karya Water-buffalo Theology (teologi kerbau) yang diterbitkan tahun 1974, sebagai bagian dari usaha pelayanananya di Thailand. Ia berusaha menemukan formula untuk dapat menyampaikan “Allah” dalam konteks budaya setempat.
Tahun 1979 ia menerbitkan Three Milian Hour God (Allah berkecepatan tiga mil perjam), sebagai suatu kumpulan telaah Alkitan dalam konteks Asia Tenggara, ia berusaha membandingkan efisiensi segera dari teknologi modern dengan cara Allah mengajar umatNya. Dikelas kita mengajar teori sedangkan Allah mengajar melalui pengalaman kehidupan yang sebenarnya.
Baru-baru ini ia menerbitkan Mount Fuji and Mount Sinai (gunung Fuju dan gunung Sinai), yang merupakan usahanya untuk mengaitkan antara pengalaman historis dengan Jepang sejak tahun 1945 dan teologi salib, yang pada akhirnya ia menemukan kesimpulan bahwa kita berpihak pada penciptaan dan bukan penghancuran. Tidak ada kata terakhir tentang dunia dan nasib, sebab keduanya adalah milik Allah, yang pada akhirnya memberikan kesanggupan kepada kita untuk membedakan antara Allah dan dewa-dewa, antara nabi sejati dan nabi palsu.

John Mbiti (bukan kekristenan import)
Lahir tahun 1931 di Kitui, Kenya, Afrika. Dibesarkan dalam gereja pedalaman di Frika yang merupakan hasil dari pelayanan misi Afrika pedalaman.berhasil meraih gelar doktor tahun 1963 di Universitas Canbridge dengan disertai New Testament Thology in an African Backgroud (teologi perjanjian baru dengan latar belakang Afrika). Karena ketidak puasan dengan gereja Afrika, ia kemudian bergabung dengan gereja Anglikan. Seorang teolok afrika yang banyak menghasilkan karya, antara lain: penelaahan Alkitab, tradisi agama Afrik pra-Kristen dan perjumpaannya dengan iman Kristen, kebudayaan dan teologi Afrika, selain itu ia juga sangat kristis dengan usaha penginjilan di Afrika.
Ia mempelajari kebudayaan Afrika bukan hanya sebagai riset antroplogi tetapi lebih berfokus pada tugas teologisnya. Yang menjadi dasar penolakannya terhadap kekristenan import adalah pembedaanya antara Injil dan iman Kristen. Kekristenan adalah hasil akhir dari kedatangan injil ditengah-tengah kelompok budaya masyarakat yang memberi respon terhadap Injil dengan iman.
Baginya Injil melewati dan menemukan jalan masuk melalui budaya, sebab itu Injil tidak membuang kebudayaan. Injil tidak menolak kebudayaan tetapi malah mengubahnya. Injilk masuk dalam budaya dan mengambil alih ketika kebuadayaan sudah sampai pada titik klimaksnya. Orang Kristen bergerak dengan kebudayaannya sebagai barang bawaan menuju tujuan eskatologis dari Injil.

Teologi Pembebasan (orang-orang Kristen dari Revolusi)
Sebagai negara adikuasa yang dikuasai oleh kelompok elit yang berkuasa menyababkan Amerika menjadi negara kaya yang penduduknya melarat. Amerika latin tidak hanya terkebelakang tetapi juga tertindas oleh rezimnya sendiri. Analisa ini muncul dalam konfrerensi para uskup Amerika Latin II di Medelin, Kolombia (1968). Dalam menghadapi rezim seperti ini, para uskup menyadari akan bahaya yang akan muncul apabila menggunakan cara kekerasan.
Ada begitu banyak tokoh-tokoh yang bergerak dalam teologi pembebasan antara lain adalah Camillo Torres yang merupakan aktifis pertama sekaligus menjadi marthir pertama, karya tulis yang semapat ia hasilkan antara lain adalah A Theology of Liberation (teologi pembebasan) 1971. We Drink from our own wells (kami minum dari sumur kami sendiri) 1983. tkoh-tokoh lainnya adalah Leonardo Boff seorang Fransiskan dari Brasil, Jon Sobrino seorang Yesuit Spanyol. Selain itu mereka juga memiliki tokoh-tokoh negarawan sekaligus aktivis dan teolog seperti, Oscar Romero uskup agung San Salvador. Uskup agung Helder Camara dari Brasil.
Beberapa inti pengajaran teologi pembahasan menurut versi ajaran Gutierrez, adalah, teologi pembebsan tidak dapat dilihat sebagai teologi universal. Teologi pembebasan bukan merupakan tema baru dalam berteologi, tetapi merupakan jalan yang baru untuk berteologi. Teologi pembebsan bangkit dari analisa terhadap situasi. Pada akhirnya teologi pembebasan mendapat tanggapan dari Vatikan pada tahun 1984 dengan menerbitkan Instruction Certain Aspects oh the Theology of Liberation (instruksi mengenai aspek-aspek tertentu teologi pembebasan). Melalui dokumen ini gereja dituntut untuk berpihak kepada orang-orang miskin dan mendesak orang Kristen untuk memperjuangkan keadilan, kebebasan dan martabat manusia. Walaupun dari dokumen tersebut dihasilkan juga beberap sikap kristis dari pihak Vatikan terhadap pergerakan kaum teolog teologi pembebasan.

Kongres Lausanne (1974)
Kongres Lausanne merupakan pertemuan evangelical penting yang diadakan dari 150 negara dengan mengrim wakil secara keselutuhan yang berjumlah 3000 peserta, dengan tema sentral Biarkan bumi mendengar suaraNya. Kongres ini menghasilkan perjanjian yang bernama Lausanne Covenant (perjanjian Lausanne). Perjanjian ini merupakan pengakuan iman dengan jangkauan luas, yang paling banyak mewakili pendapat dari peserta dan mewakili pernyataan berwibawa dari kelompok evangelical, yang tetap berfokus pada usaha penginjilan sedunia sampai Kristus datang kembali kedunia.

Sabtu, April 18, 2009

Sukacita dalam Roh Kudus

Apabila kita perhatikan keterangan pada tanggalan, maka akan ditemukan informasi tentang hari libur; ada libur nasional; ada pula libur keagamaan: mulai dari tahun baru imlek (26 januari), maulid nabi Muhammad (9 Maret), hari raya nyepi (26 Maret) dan yang lainnya. Kita juga akan menemukan wafat Yesus Kristus (10 April), tapi jangan berharap untuk menemukan dalam tanggalan tercatat hari minggunya sebagai hari kebangkitan Kristus. Anehnya ada keterangan tentang kenaikan Yesus Kristus (21 Mei). Bukan hanya tanggalan saja, ada begitu banyak pihak yang menentang kebenaran bahwa Yesus bangkit. Malah beberapa ahli telah mengumumkan bahwa mereka telah menemukan kuburan keluarga Yesus lengkap dengan istri-Nya (Maria Magdalena) dan anak-anak-Nya.
Padahal Ia sungguh-sungguh bangkit, sebab Perjanjian Baru menegaskan ada kurang lebih 500 orang yang telah menjadi saksi kebangkitan-Nya. Kita pun sekarang menerima bahwa Ia telah bangkit. Kita menerima kebenaran tersebut, sebab di sanalah iman kita diletakkan. Secara prinsip rohani kita sungguh-sungguh percaya bahwa Ia bangkit. Bahkan dalam setiap ibadah minggu kita terus mengulang ikrar iman yang salah satunya mempercayai kebangkitan-Nya. Jelas kita berbeda dengan orang-orang yang tidak dapat menerima perihal kebangkitan-Nya.
Permasalahan yang akan dibahas sekarang adalah mengapa pengalaman hidup kita tidak setangguh pengalaman iman kita? Bukankah kita sungguh-sungguh percaya bahwa Ia bangkit? Bukankah mata iman kita senantiasa tertuju pada kubur yang telah kosong itu? Namun, bukankah terkadang dalam perjalanan hidup ini kita membiarkan diri ada dalam kesedihan dan keputus asaan? Bukankah terkadang kita memilih jalan untuk kembali menjadi penjala ikan, sama dengan yang diperbuat oleh Petrus dan teman-temannya dalam Yohanes 21:1-3. Pembacaan Alkitab hari ini memberikan alasan kepada kita mengapa kita tidak boleh kembali pada kesedihan dan keputus asaan.
Mazmur 68 adalah mazmur kemenangan. Tulisan raja Daud berdasarkan pengalaman hidupnya. Raja Daud sadar penuh bahwa kemenangan yang ia peroleh pada seantero hidupnya adalah karya Allah. Raja Daud tahu bahwa hanya Allah sajalah yang telah mengerjakan semua kemenangan, tanpa Allah maka ia bukanlah siapa-siapa. Perhatikanlah deskripsi raja Daud perihal Allah yang ia kenal. Ayat 2-7: Allah yang penuh kepedulian; ayat 8-19: Allah yang berkuasa atas khaliknya; ayat 20-24: Allah yang menyelamatkan dari para musuh; ayat 25-30: Allah sebagai sasaran ibadah umat; ayat 31-36: Allah yang dipuji segala bangsa. Dengan demikian, perenungan hari ini membawa kita untuk memikirkan perihal Allah yang Maha Peduli.
Beberapa aspek kepedulian Allah yang dapat dijangkau oleh pikiran dan pengalaman raja Daud adalah (pertama): Kepedulian Allah dinyatakan oleh tindakan-Nya yang kuat perkasa memelihara kebenaran (ay. 2-3). Bukankah kesedihan dan keputus asaan kita dapat terjadi ketika melihat segala ketimpangan dalam dunia ini. Kita yang terus menjaga agar hidup lurus dan benar di hadapan Tuhan, justru tidak lebih kaya dari para fasik yang senantiasa mencuri uang rakyat; memperoleh jabatan karena kolusi dan nepotisme, memiliki begitu banyak materi karena korupsi. Kita yang rajin memelihara persekutuan dengan Tuhan justru ditimpa berbagai permasalahan, pergumulan dan penderitaan hidup, sedangkan mereka yang timbul – tenggelam iman persekutuannya justru semakin sehat, gemuk dan tidak sakit-sakitan.
Perhatikanlah keyakinan iman raja Daud, ia tahu bahwa Allah peduli akan setiap orang yang memelihara kebenaran-Nya dan Ia akan segera menghukum orang fasik, seperti asap hilang tertiup, seperti lilin meleleh di depan api, demikianlah akhir hidup dari si fasik; sedangkan mereka yang memelihara kebenaran Allah dalam hidupnya akan beria-ria, bergembira dan bersukacita di hadapan Allah (ay. 4). Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal dalam kesedihan dan keputus asaan, bukanlah Allah sudah bangkit? KebangkitanNya merupakan bukti nyata dari kemahakuasaan dan kepedulian Allah atas keberadaan hidup kita. Tanpa kebangkitan itu, semua yang kita imani menjadi sia-sia dan tak ada yang bisa kita andalkan ketika kita berputus asa.
(kedua) kepedulian Allah nyata dalam kuasa-Nya. Allah bangkit, ujar raja Daud. Allah bangkit menunjukan tindakan-Nya yang aktif dalam mengontrol sejarah. Ia tidak pernah meninggalkan buatan tangan-Nya. Ia tidak pernah lalai memelihara umat-Nya. Ia tidak pernah kompromi dengan kefasikan. Allah senantiasa aktif, tidak ada sejarah yang tercatat tanpa sepengetahuan dan tindakan Allah, semuanya terjadi setelah diizinkan Allah. Begitu hebatnya Ia, sehingga sejarah pun tunduk dalam kontrol-Nya. Semua ada dalam tangan Tuhan, entahkah sejarah masa lampau, masa kini maupun masa depan.
Karena Ia bangkit dan berkuasa, maka tanggalkanlah kefasikan dan kenakanlah kebenaran. Keindahan, kesuksesan dan kegagahan yang di tawarkan kefasikan adalah semua belaka. Ia hanya seperti asap yang sebentar saja kelihatan kemudian hilang lenyap oleh angin; kekuatan dan kegagahannya hanya sama seperti lilin yang sebentar saja habis meleleh oleh api. Tidak ada keunggulan yang disediakan oleh kefasikan, yang ada hanyalah kesia-siaan. Sedangkan mereka yang ada dalam kebenaran Allah akan menikmati sukacita dan kegembiraan yang tak berkesudahan.
Minggu ini adalah minggu paska ke dua bagi kita, Allah sudah bangkit. Kebangkitan-Nya adalah perayaan prosesi kemenangan seorang raja. Ia tidak dapat dikalahkan, Ia sudah menang, tidak ada lagi alasan bagi kita untuk hidup dalam kesedihan dan keputus asaan. Kebangkitan-Nya adalah jalan bagi kita untuk ada dalam perarakan kemenangan yang sama. Jadi mari sama-sama melangkah dalam perarakan kemenangan yang sama, sebab Ia sudah bangkit. Kebangkitan-Nya memberikan jaminan akan sukacita berkelimpahan, itulah inti sukacita dalam Roh Kudus.
Apa yang kita lakukan jika jagoan atau idola atau seseorang yang memberi teladan baik itu menang dalam pertandingan? Atau jika pahlawan kita menang dalam peperangan? Tentu kita juga ikut senang dan ikut dalam arak-arakan kemenangan atau pesta besar, syukuran, tumpengan dan sebagainya. Kita juga dapat berkat dari keikutsertaan dalam perayaan itu.
Nah, sekarang yang bangkit itu adalah Tuhan kita, pembela kita, tidakkah kita bersukacita juga? Karena kemenangan-Nya atas maut tidak hanya memberikan kebanggaan seperti pada pahlawan kita saja, tetapi lebih dari itu, kemenangan-Nya memulihkan keadaan kita.
Mari rayakan kemenangan-Nya, sebuah bukti kebenaran-Nya yang tak terkalahkan oleh apa pun, dan ketika kita turut dalam perarakan kemenangan itu dengan cara hidup di dalam kebenaran , kita akan dapat berkat!..pemazmur menegaskan,”..maka kita akan bersukacita, beria-ria di hadapan-Nya, bergembira dan bersukacita” dalam keadaan apa pun di hidup kita.
Selamat Paskah! Selamat berkemenangan! Tuhan memberkati kita. Amin.

Beritakanlah bahwa Ia hidup

Kematian adalah kata yang menakutkan. Bahkan kalaupun kematian itu datang dengan perlahan-lahan atau dipersiapkan, ia tetaplah menakutkan. Dari sudut pandang dunia, kematian itu gelap, mencekam, sepi, terpisahkan dan sangat menakutkan. Sehingga tidak ada keceriaan dan sukacita yang menyertai kematian. Membayangkannya pun telah menjadi sebuah ketakutan bagi manusia.
Orang Yahudi memiliki konsep bahwa kematian itu adalah keterpisahan. Keterpisahan antara jiwa dengan raga; keterpisahan dengan keluarga; keterpisahan dengan semua yang hidup; keterpisahan dengan cita-cita dan harapan. Lebih dari itu, kematian adalah kondisi terpisahnya hubungan seseorang dengan Tuhan. Dengan demikian, kematian menjadi sesuatu keadaan yang sangat mengerikan bagi manusia.
Kondisi seperti itulah yang ada dalam bayangan kedua murid ini (Kleopas dan temannya) sembari mereka berjalan ke Emaus dari Yerusalem. Bayangan kelam dari kematian membuat mereka bahkan tidak dapat mengenali Yesus yang turut dalam perjalanan itu. Lukas menjelaskan bahwa ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga tidak dapat mengenali-Nya (ay. 16). Penghalang utama adalah keragu-raguan akan siapa Yesus sebenarnya. Mereka dapat saja percaya atas pengajaran dan perbuatan ajaib Yesus. Mereka malahan percaya bahwa Yesus adalah nabi yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa (ay. 19); tetapi ketika kematian dialami oleh Yesus maka semua kepercayaan itu segera sirna.
Demikianlah pada awal kisah ini mereka gagal ada dalam sukacita bahwa Ia hidup. Bukankah permasalahan yang hampir sama terjadi dalam kehidupan ke-kristenan kita. Kita lebih sibuk memikirkan dan menceritakan permasalahan hidup kita pada orang lain daripada memikirkan dan menceritakan bahwa Ia hidup. Kita lebih cermat melihat masalah kehidupan dari pada melihat mujizat yang Allah kerjakan dalam hidup. Kita lebih mudah bersungut-sungut dan dibelenggu ketakutan daripada bersukacita dalam pengharapan bersama Kristus. Kisah perjalanan Kleopas dan temannya dari Yerusalem ke Emaus menjadi pembelajaran tersendiri bagi kita dalam perjalanan dari Yerusalem sebagai “kota damai” menuju Emaus yang dalam bahasa Yunani berarti “tempat mandi hangat”.
Lihatlah mereka berdua adalah murid yang turut serta melihat segala perkara ajaib yang Yesus kerjakan; mereka turut mendengar setiap pengajaran yang Yesus berikan; tetapi ketika bayangan kematian menghampiri Yesus, mereka menjadi “buta” dan berjalan meninggalkan kota damai menuju kehangatan yang ditawarkan dunia. Tragis…tetapi itulah yang kerap kita lakukan. Minggu ini adalah minggu pertama paska. Pada hari minggu kita telah memperingati kebangkitan-Nya. Pertanyaannya sekarang adalah kemana kita akan melangkah: apakah tetap dalam kota damai-Nya atau segera kita dibutakan oleh peliknya masalah hidup ini sehingga berniat menuju Emaus?
Masing-masing kita memiliki masalah tersendiri, baik dalam keluarga, pelayanan maupun pekerjaan. Permasalahan itu datang silih berganti dan masing-masing memiliki jalan keluarnya pada waktunya. Justru permasalahan itu akan menjadi sukacita bagi kita apabila kita memandangnya sambil mengingat kubur yang sudah kosong itu. Ia sudah bangkit. Beritakanlah bahwa Ia sudah bangkit. Artinya Ia bukan sekedar nabi, utusan, hamba tetapi Ia adalah Allah sendiri. Kebangkitan membuktikan bahwa Ia hidup, berkuasa dan tak terbatasi oleh apapun. Kebangkitan Kristus seharusnya menjadi cerita yang tak henti-hentinya kita beritakan. Bukankah lebih berguna menceritakan kebangkitan-Nya daripada terus berkeluh kesah atas permasalahan yang sedang kita pikul. Bukankah pada akhirnya Yesus mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya bagi Kleopas dan temannya (ay. 30)? Ya, berkat Allah tersaji bagi mereka yang percaya. Jadi mari jalani hidup yang unik ini sambil terus percaya bahwa Ia sudah bangkit, selanjutnya … Beritakanlah kepada dunia: bahwa Ia hidup.
Lantas, bagaimana cara kita memberitakan bahwa Ia hidup?
Coba perhatikan sejenak ketika murid-murid bertemu Yesus di jalan ke Emaus ini. Mereka ‘pangling’ waktu ketemu Yesus. Tapi kemudian baru mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti,..sebuah tindakan yang mencerminkan tindakan kasih Yesus, membagi-bagikan berkat.
Marilah mulai saat ini, kita kurangi mengeluh dan bersungut-sungut serta takut menghadapi hidup tapi sebaliknya Marilah terus berusaha memberitakan kebangkitanNya dengan meneladani tindakan kasih Yesus,.. mari berbagi berkat bagi sesama kita, jangan pernah takut, Ia tetap ada bersama kita dan berjalan bersama kita, sekali pun kadang-kadang kita ‘pangling’ dengan Yesus. Ia tetap memberkati kita. Amin.

Mengampuni Orang Tua

Judul di atas terkesan biasa saja dan mungkin bisa dikatakan basa basi. Siapa sih diantara kita yang tidak mengampuni orang tua jika mereka melakukan kekeliruan atau kesalahan? Atau kapan dan bagaimana caranya orang tua kita menjadi bersalah sehingga kita harus mengampuni mereka? Anehnya, pembacaan Alkitab hari ini sama sekali tidak berbicara tentang mengampuni tetapi perihal menghormati orang tua. Apakah ada yang keliru? Tidak, mari kita lihat lebih jauh teks Alkitab kita, kemudian nantinya menghubungkannya dengan tema malam ini: Mengampuni orang tua.
Menghormati adalah kata kerja aktif yang datang dari kata hormat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata homat berarti sikap hormat dalam militer, membungkukan badan, atau salut kepada seseorang yang kita anggap lebih dewasa atau lebih tinggi pangkatnya dari kita. Hampir sama dengan terjemahan bahasa Inggris yang menggunakan istilah honour, hanya saja istilah ini berarti respek yang sangat besar atau pemberian kemuliaan tertinggi. Sederhananya, honour biasanya digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan.
Istilah hormat dalam ungkapan “hormatilah ayahmu dan ibumu”, bukan hanya sekedar kata kerja yang menuntut untuk dilakukan, atau sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Istilah hormat disini lebih bersifat sebagai kata kunci utama. Pertama, ia menjadi kunci pembuka umur panjang(perhatikanlah kata: supaya lanjut umurmu); Kedua, ia juga menjadi kunci dilayakkannya kita menerima semua janji-janji Tuhan (perhatikanlah kata: …yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu). Ketiga, ia menjadi kunci pembuktian dari ketaatan (perhatikanlah bahwa perintah 1 – 4 dan 6 – 10, di ikat oleh perintah ke lima ini). Mari kita bahas satu persatu.
Menghormati orang tua adalah kunci pembuka umur panjang. Istilah lanjut umur memang dapat memiliki pengertian umur panjang, usia lanjut, tahun-tahun yang panjang, seperti Ishak yang mendapatkan usia hidup yang lebih panjang setelah peristiwa air bah, ini karena ia begitu menghormati Abraham dan Sarai. Lebih dari pada itu, istilah ini juga merujuk pada hidup yang berkualitas, hidup yang bermutu atau hidup yang bernilai. Lihatlah Yusuf yang hidupnya begitu bermutu dan bermakna bagi keluarga, bangsa dan bahkan dunia karena ia menghormati Yakub, ayahnya. Jadi menghormati orang tua akan membawa kita pada hidup yang bermutu, bernilai atau bermakna.
Menghormati orang tua adalah kunci dilayakkannya kita menerima janji-janji Allah. Istilah “di tanah yang diberikan” merujuk pada berkat-berkat secara materi dan memang pada zaman Perjanjian Lama tingkat kelimpahan materi seseorang diukur dari apa yang ia miliki seperti ternak, tanah, istri yang banyak, negeri jajahan dan lain sebagainya. Lebih dari pada itu, ungkapan ini merujuk pada masa depan atau apa yang dicita-citakan, bisa juga diterjemahkan sebagai harapan di masa mendatang. Perhatikanlah akhir hidup yang tragis dari Absalom, ia mati terbunuh oleh pedang sambil tergantung pada sebuah pohon. Kenapa ia gagal mendapatkan masa depan yang penuh harapan? Sederhana, karena ia tidak menghormati Daud, ayahnya. Jadi menghormati orang tua akan membuat kita memiliki masa depan yang penuh harapan.
Menghormati orang tua adalah kunci pembuktian dari ketaatan. Bagaimana caranya kita menunjukkan hormat kepada Tuhan yang tidak kelihatan itu? Mungkin kita akan menjawabnya dengan cara beribadah, memberi persembahan, melayani dalam persekutuan, berbuat kebaikan dan lain sebagainya. Memang itu penting dan benar, tetapi bukankah orang tua adalah wakil Allah atas hidup kita. Jadi bakti kepada Tuhan yang paling utama ditunjukan dengan cara membaktikan diri sebaik mungkin kepada orang tua kita, karena mereka adalah wakil Allah bagi kita.
Apabila kepada kita diajukan pertanyaan lagi: bagaimana caranya kita menunjukan hormat kepada sesama? Mungkin perintah ke 6 sampai 10 akan menjadi jawaban kita dalam konteks ini. Tetapi bukankah dalam hati kita sering mengumpat orang tua kita, inilah pengertian lain dari membunuh. Membunuh bukan hanya berarti mematikan seseorang, tetapi juga ketika kita tidak menghormati secara pantas, maka kita sedang membunuh dia dalam respek kita. Ini hanya contoh, tetapi apabila kita teruskan maka jelas perintah ke 7 sampai 10, sering kita langgar dalam arti filosofisnya ketika kita tidak menghormati orang tua kita. Ketika ini semua dilanggar, walaupun hanya secara filosofis, apakah kita masih pantas berkata bahwa kita dalah orang-orang yang taat? Jadi marilah menghormati orang tua kita, karena itu merupakan sebuah bukti bahwa kita sedang taat kepada perintah Tuhan.
Jadi, kenapa kita harus mengampuni orang tua kita? Mengampuni orang tua bukan hanya karena mereka pantas untuk itu, atau hanya karena mereka telah melahirkan dan membesarkan serta membiayai kita. Tetapi mengampuni orang tua merupakan cara agar kita dapat mengampuni hidup, cita-cita, harapan agar dapat menjadi lebih baik, bermutu, bernilai dan bermakna.Bagaimana caranya kita dapat mengampuni orang tua kita? Pengampunan ada karena ada kasih sayang. Sama seperti pengampunan Kristus bagi manusia bisa terjadi karena ada kasih sayangNya yang besar pada manusia berdosa. Sama pula dengan orang tua kita yang juga memberi pengampunan yang tulus bagi kita yang berbuat kesalahan sebesar apa pun. Semua karena kasih sayang. Maka, mari kita sayangi orang tua kita, mari berusaha membahagiakan mereka dengan kualitas hidup yang berkenan kepada Tuhan dan ketika kita membaktikan diri kepada orang tua dan membahagiakan mereka, maka janganlah kita membuatnya sebagai upaya untuk membayar hutang biaya hidup dari sejak lahir sampai dewasa, melainkan karena kasih sayang yang tulus yang membuat kita bersyukur kepada Tuhan untuk anugerah besar dalam hidup kita yaitu orang tua kita. Tuhan memberkati dan menolong kita semua. Amin.

Jumat, April 10, 2009

Mengenal Yesus...


Sudah Selesai

Wes rampung? Tanya seorang teman ketika saya terlihat membawa map menuju ruangan dosen pembimbing skripsi. Spontan saya menjawab: “mungkin”. Dia pun makin heran: “koq mungkin”? Saya berlalu meninggalkannya yang terheran-heran. Pembaca mungkin akan berpikir sama: “seharusnya jawabannya sudah selesai dan bukan mungkin”. Tetapi pikiran saya tetap: “mungkin”. Beberapa alasan filosofisnya: (1) mungkin belum selesai, sebab nanti mungkin akan dicoret-coret oleh dosen pembimbing; (2) mungkin belum selesai, sebab wisuda masih belum dilaksanakan; (3) mungkin belum selesai, sebab bisa saja ada penelitian berikutnya yang mematahkan analisa saya dalam skripsi ini; (4) mungkin belum selesai, sebab waktu yang akan memberi bukti kebenaran hasil penelitian yang saya kerjakan. Jadi, mungkin tidak akan pernah selesai.
Pernahkah kita berpikir sebelum berkata sudah selesai? Seorang siswa berjalan kearah saya sambil membawa kertas ulangan dan berkata “sudah selesai” pak. Padahal waktu ujian baru berjalan 10 menit. Kertas ulangannya langsung saya periksa dan hasilnya luar biasa. Dari 10 soal hanya 5 yang dijawab itu pun dengan 2 saja jawaban benar. Sudah selesai dalam kasus ini berarti saya menyerah pak. Beberapa menit berikutnya, seorang siswa lainnya melakukan hal serupa dengan ungkapan yang sama juga: “sudah selesai” pak. Setelah saya koreksi hasilnya lumayan. 10 nomor dikerjakan seluruhnya dengan 5 jawaban yang tidak tepat sasaran pertanyaan. Sudah selesai disini berarti saya tidak sanggup dan memilih untuk gagal pak.
Pernahkah kita mengerjakan sesuatu dan pada akhirnya berkata sudah selesai? Tape recorder kami tiba-tiba rusak, dan terpaksa harus masuk ke ruang rawatnya. Esok harinya tukang reparasinya datang sambil membawa tape recorder dan berkata: sudah selesai pak. Disini berarti perbaikan sudah selesai. Dua minggu berikutnya tape recorder mengalami kerusakan yang sama dan terpaksa masuk ruang rawat lagi. Beberapa saat kemudian sang tukang datang dan melakukan hal yang sama: membawa tape recorder sambil berucap “sudah selesai”. Belum genap seminggu rusak lagi. Akhirnya tape recorder itu di biarkan saja rusak, sebab kalau pun diperbaiki dan dinyatakan “sudah selesai” maka itu berarti tidak lama lagi akan rusak kembali. Sudah selesai disini artinya untuk sementara masalah bisa di atasi tapi bukan berarti tidak akan terjadi lagi.
Jadi kalau begitu layakkah kata “sudah selesai” sungguh-sungguh berarti sudah selesai. Bagi kita jelas tidak layak, sebab sudah selesai bagi kita dapat berarti: menyerah, tidak sanggup atau nanti berlanjut lagi (continue). Sehingga bagi kita istilah sudah selesai hanya ada pada saat sebuah film berakhir. Sudah selesai artinya tamat, the end, itu pun dalam konteks film. Dalam realitanya, sudah selesai justru berarti tidak sungguh-sungguh selesai, masih akan berlanjut atau justru ungkapan yang mewakili ketidak mampuan. Jadi bagaimana, wes rampung? Belum, ini baru pengantarnya.
Setelah melewati via dolo rosa, Yesus tergantung letih, kepayahan, malu, sangat kesakitan di atas kayu kasar yang disilangkan di punggung-Nya. Hukuman, deraan, hinaan rasa-rasanya tidak pernah berhenti, waktu berjalan sedemikian lambatnya. Lidah-Nya pun kian kelu, haus dan kehilangan rasa. Dengan suara berat dan parau, Ia pun berteriak untuk penghabisannya: “sudah selesai”. Apa yang sudah selesai? Kehidupan-Nya? Tidak, karena Ia bangkit lagi. Pelayanan-Nya? Tidak, karena karya masih berlanjut. Perjuangan-Nya? Tidak, karena sampai sekarang pun gereja terus berjuang. Tubuh-Nya? Tidak, karena 3 hari kemudian Allah mempermuliakan tubuh-Nya. Status-Nya? Tidak, karena justru Allah sangat meninggikan-Nya dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama. Jika demikian, apa yang sudah selesai?
Pertama, sudah selesai berarti semuanya telah tergenapi. Sejak manusia jatuh dalam dosa, Allah senantiasa menyediakan jalan rekonsiliasi, bahkan sebelum semuanya dilaksanakan Allah telah menyingkapkan caranya kepada Adam dan Hawa. “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, atara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya” sabda Allah (Kej. 3:15). Rangkaian rencana rekonsiliasi dimulai dari diselamatkannya satu generasi dari air bah, berlanjut sampai dipeliharanya satu bangsa dari penjajahan bangsa asing (kisah pembuangan Babel dan Asyur). Puncaknya, Allah mengutus anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia (Yoh. 3:17).
Kedua, sudah selesai berarti semuanya telah dibayarkan lunas. Kejatuhan manusia dalam dosa menyebabkan keterpisahan hubungan antara Allah dan manusia. Bukan hanya hubungan dalam pengertian fellowship (persekutuan), bahkan intimacy (keintiman). Manusia tidak dapat lagi berhubungan langsung dengan Allah. Hubungan hanya dapat terjadi dalam kesempatan ritual (ibadat, mis: Sabbath), seremonial (perayaan: Paska), dan delegasial (imam sebagai perantara). Bukti lunasnya hutang dosa nyata sesudah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Allah mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.
Ketiga, sudah selesai berarti sungguh-sungguh sempurna. Allah datang mencari dan membuka diri-Nya agar dapat dikenal oleh manusia. Konsep inilah yang menjadikan kekristenan lebih dari sekedar agama. Banyak hal yang telah Allah gunakan untuk menjadikan diri-Nya terjangkau oleh manusia, misalnya taurat, mezbah, bait Allah, sistem pemerintahan, sistem keimaman, pola ibadah. Semuanya ini bagian dari rencana Allah untuk “intim kembali” dengan manusia ciptaan-Nya dan sungguh-sungguh sempurna sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya (Ibr. 5:9).
Jadi bagaimana? Wes rampung? Tentu saja sudah, sebab Yesus sendiri yang telah berkata sudah selesai. Jadi bagaimana sekarang? Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu (Flp. 4:8-9).