Rabu, Februari 25, 2009

Opini

TRANSFORMASI SPIRITUAL ORANG PERCAYA
(KEPUASAAN SEJATI DALAM MENYEMBAH ALLAH)

Persekutuan dengan Allah merupakan pengalaman yang penuh misteri dalam realita hidup orang percaya. Pengalaman tersebut seharusnya semakin membawa orang percaya kepada keintiman hubungan dengan Allah, dengan demikian perilaku hidup yang terjadi adalah buah nyata darinya. Dewasa ini orang percaya semakin terbawa pada keragaman fenomena pengalaman spiritual, yang pada akhirnya bisa membawa orang percaya pada pengalaman mistikal, sinkritisme serta pendewaan fasilitas ibadah.
Keanekaragaman gejala yang dimunculkan biasanya bergantung dari latar belakang aliran. Fanatisme berlebihan yang tidak didasarkan pada pemahaman yang tepat serta koheren terhadap Alkitab, merupakan lahan subur bagi penyimpangan pola ibadah kepada Allah. Seperti yang sudah pernah terjadi pada beberapa dekade yang lalu dalam pengalaman ecstasy worship oleh Toronto Blessing, sexuality worship oleh Children of God serta bentuk pengalaman intrinsik dalam alam roh. Masih belum lagi bentuk-bentuk penyimpangan yang mungkin terjadi dalam ibadah.
Fenomena-fenomena seperti di atas terjadi karena kurangnya pemahaman yang benar tentang makna menyembah Allah. Oleh karena itu dalam tulisan ini, penulis bermaksud memberikan pemaparan point-point berdasarkan penggalian teks Alkitab yang selanjutnya merumuskan itu dalam konsep-konsep biblika, sehingga umat mampu memahami makna sejati dari menyembah Allah dalam roh dan kebenaran sambil mempraktekan hidupnya secara benar kepada Allah. Tentu saja sebelumnya penulis akan memberikan penelaah sederhana terhadap kaitan musik dalam ibadah, sebab harus kita akui bahwa musik memiliki pengaruh dan kaitan yang erat dengan ibadah. Harapannya adalah orang percaya akan menemukan kebenaran Alkitab terhadap prinsip menyembah Allah dalam roh dan kebenaran, sehingga kehidupan spiritual umat akan terpelihara dalam frame firman Allah

A. Musik dalam Gereja
Perjanjian Lama banyak mengungkapkan perjalanan sejarah bani Ibrani. Dimulai dari bangsa tradisional yang nomeden sampai akhirnya memiliki tatanan pranata sosial, administratif, hierarki pemerintahan sampai pada sentralisasi agama dan budaya ketika Salomo mendirikan Bait Allah. Apabila dicermati sebenarnya ada banyak hal yang menjadi titik awal perubahan yang terjadi di kalangan bani Ibrani, misalnya terhadap hal menyembah Allah.
Gagasan menyembah Allah sudah dimulai sejak Adam dan Hawa ada di taman Eden, dilanjutkan dengan korban syukur oleh Kain dan Habel dan akhirnya menjadi penyembahan di Bait Allah. Pada masa permulaan, penyembahan kepada Alllah dilaksanakan dengan begitu sederhana, tetapi pada masa kini sudah diiringi dengan berbagai macam sarana pembantu, diantara lain digunakannya alat musik yang kompleks.
Musik pada awalnya dikembangkan oleh Yubal, yang adalah bapa semua opang yang memainkan kecapi dan suling (Kej. 4:21). Perjalanan sejarah dan budaya terus berjalan mempengaruhi bangsa Israel, yang selanjutnya membawa musik pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu digunakan dalam ritual Yahudi. Seluruh penyanyi suku Lewi, Asaf, Heman dan Yeduthun merupakan kelompok pemusik yang menggunakan linen, cimbals, harpa dan lyra, beberapa diantaranya menggunakan terompet. Musik akhirnya terus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam ritual Yahudi.
Pada masa kini, dalam gereja terdapat para singers, musik instrumen, kelompok penyanyi, hamba Tuhan serta umat bergabung menjadi satu kesatuan gembalaan, yang menyembanh Allah sebagai Sang Gembala. Kesatuan yang tercipta, menjadi nyata dalam suasana ibadah yang tercipta. Dalam hal ini peranan musik adalah:
… mempresentasikan hubungan dalam keadaan nyata dan bukan sekedar teori religius. Kebangunan rohani menjadi nyata melalui himne dalam ritual dan hidup dalam catatan sejarah yang dinamis. Menunjukan juga sebuah hubungan spesial tingkat tinggi antara musik penyembahan dan puisi dalam satu nasionalisme kepsercayaan, orang Ibrani, dan bagaimana pemeliharaan Allah terhadap mazmur Yahudi yang terus berlanjut dalam gereja.

Musik sebagai bahasa memiliki kebenaran intrinsik, dan sebagai seni memiliki kemampuan komunikasi. Bukti sejarah bangsa Israel yang dapat memberikan petunjuk penggunaan puji-pujian antara lain terdapat dalam Talmud. Talmud memberikan keterangan tentang Mazmur sebagai puji-pujian selama satu minggu. Puji-pujian Mazmur yang dinaikkan berturut-turut mulai hari pertama sampai hari ketujuah adalah Mazmur 24, 48, 82, 94, 81, 93 dan 92.
Penggunaan musik dalam sinagoge Israel (Yahudi) terus berjalan dan akhirnya diadopsi oleh gereja sebagai bagian dari ritual penyembahan kepada Allah. Memang tidak ada dokumen sah yang menyatakan kapan musik masuk dalam gereja, tetapi dalam konsili di Yerusalem antara tahun 44-49, musik diperkirakan telah ada dalam gereja sebagai adopsi dari Sinagoge.
Dari uraian sejarah di atas, maka tidaklah mengherankan bahwa pergeseran serta adopsi budaya juga terjadi dalam gereja. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah terdapatnya beberapa kesamaan antara gereja mula-mula dengan sinagoge, misalnya musik. Memang dalam perkembangan selanjutnya, gereja terus berbenah dirid an berusaha memberikan perbaikan terhadap musik sebagai sarana penunjang ibadah, sehingga dewasa ini sudah semakin kompleks alat musik yang digunakan dalam gereja.
Kemajuan zaman yang terus bergerak aktif menuntut gereja semakin mempersiapkan diri untuk “bersaing” dengan dunia musik sekuler. Bukan hanya mutut tetapi juga dalam warna, tampilan serta gaya musik. Tidak dapat dipungkiri bahwa gereja-gereja yang “mampu” terus memberi haraga yang mahal terhadap pelayanan musik. Permasalahannya adalah, apakah pergeseran musik akan berpengaruh juga pada konsep menyembah Allah. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang konsep menyembah Allah dalam teks Yohanes 4:23-24.

B. Menyembah Allah dalam Roh dan Kebenaran
Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran. Teks di atas yang terdapat dalam Yohanes 4:23-24 merupakan hasil dialog antara Yesus dengan seorang wanita Samaria, yang terjadi di Sikhar, tempat dimana terdapat sumur Yakub. Pada saat itu, Yesus sedang membicarakan perihal keberadaan-Nya sebagai Air Hidup, dalam perkataan lain, Yesus sedang membentangkan berita keselamatan kepada wanita Samaria tersebut.
Percakapan yang dicatat oleh Yohanes tersebut, diletakkan bersesuaian dengan tujuan suratnya yaitu agar, … kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya. Menarik untuk diperhatikan adalah kata percaya yang digunakan sebanyak 98 kali merujuk kepada penerimaan akan Kristus (Yoh. 1:12) dan meliputi tanggapan hati (bukan saja mental dan akal), yang menghasilkan suatu komitmen dari seluruh hidup kepada Dia.
Ungkapan menyembah (Yun, proskuneusin) bukan hanya terjadi sesaat tetapi haruslah dilakukan secara terus menerus dalam keintiman (intimacy) dengan menggunakan segenap totalitas diri (dalam roh) yang meliputi kesadaran emosi, jiwa, pikiran, dengan segenap kreasi dan daya cipta, karsa dan rasa; sekaligus juga tetap ada dalam frame kesejatian keilahin Kristus yang sudah tersurat dalam Firman Allah (dalam kebenaran). Dengan demikian suasana penyembahan (baca: ibadah) tidak hanya meliputi pemuasan emosi, jiwa atau pikiran belaka, tetapi juga memperhitungkan keinginan Tuhan sebagai fokus penyembahan.
Beberapa isu yang menjadi pokok pembicaraan antara Yesus dengan wanita Samaria tersebut, yaitu: penyingkapan identitas wanita tersebut (ay. 17-18), tempat penyembahan (ay. 21), keselamatan (ay. 22), sikap menyembah (ay. 23), identitas Allah sebagai pusat penyembahan (ay. 24), serta penegasan identitas Yesus sebagai Mesias (ay. 26). Maksudnya adalah ketika kita membangun suasana penyembahan (ibadah) kepada Allah maka isu-isu di atas harus juga menjadi perhatian dari si penyembah. Dengan demikian menyembah Allah dalam roh dan kebenaran merupakan kegiatan yang bersifat kompleks yang meliputi tiga aspek besar, yaitu: pertama, tempat dan waktu penyembahan; kedua, sikap penyembahan; serta ketiga, sasaran penyembahan. Kesemuanya itu terangkum dalam tawaran keselamatan yang diberikan langsung oleh Sang Mesias.

Tempat dan Waktu Penyembahan
Sentralisasi ritual bangsa Israel, telah mengakibatkan Bait Allah di Yerusalem menjadi tempat yang berkenan bagi Allah, termasuk juga dengan orang Samaria. Pada masa pemerintahan Nehemia, Manasye, seorang cucu imam besar, yang mneikahi putri gubernur Sanbalat, diusir dari negeri itu dan lari ke Samaria, serta membangun rumah ibadat “tandingan” di atas gunung Gerizim. Dia mendirikan sebuah agama tandingan dengan menjadikan Samaria sebagai kiblat ibadah dan penyembahan.
Dalam master plan Allah tentang masa depan dunia (eskatologi), telah tersedia tempat yang nantinya akan menjadi sentral penyembahan. Kerajaan Allah akan berlangsung pada masa depan, tetapi sudah mulai terealisasi pada masa kini, seperti yang Yesus nyatakan: … saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang (Yoh. 4:23). Terdapat dualisme pengertian yang terkandung dalam penyataan Yesus. Yesus sedang berbicara tentang eskatologi, tetapi juga menyatakan peristiwa yang sedang berlangsung masa kini, hal ini biasa disebut realized eschatology. Konsep teologi yang keliru memberi penafsiran bahwa eskatologi (realisasi rencana Allah untuk masa depan) tidak akan terjadi, sebab Alkitab bahkan Yesus sendiri memberi jaminan akan datangnya eskatologi. Seperti yang dinyatakan oleh Sappington:
… sama seperti kitab Perjanjian Baru yang lain, pengajaran eskatologis Injil Yohanes meliputi baik unsur-unsur yang akan digenapi pada masa kini maupun unsur-unsur yang akan digenapi pada masa yang akan datang. Penekanan Injil Yohanes memang lebih pada penggenapan masa kini dari pada masa yang akan datang, tetapi kenyataan tersebut tidak berarti berbagai unsur ini saling bertentangan, justru unsur-unsur ini saling melengkapi sehingga eskatologi Perjanjian Baru sangat kaya dan kompleks.

Intinya adalah penyembahan (ibadah) yang benar bukanlah sebuah sistem sentralisasi yang diatur menurut kebijaksanaan dan pertimbangan manusia, tetapi merupakan interpersonal relationship antara manusia dan Allah yang dibangun tanpa ada jurang pemisah antara Allah dan manusia, manusia dengan manusia, manusia dengan ciptaan-Nya. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari penerimaan pribadi terhadap tawaran keselamatan yang diberikan Sang Mesias.
Pemaparan ini bukan juga harus diartikan untuk menghilangkan gereja (gedung). Maksudnya adalah gereja (sistem organisasi) haruslah menjembatani umat dalam membangun hubungan dengan Allah, sesama dan ciptaan Allah. Gereja (sistem organisasi) haruslah menjadi sarana yang efektif untuk memperjumpakan umat manusia dengan Sang Mesias, melalui, diakonia, marturia, koinonia, liturgia dan teologia, menurut konteksnya masing-masing sambil memampukan anggota gereja (organisme gereja) untuk bertumbuh imannya secara benar dan dalam terhadap Kristus.

Sikap Penyembahan
Dalam argumentasinya, Yesus berkata: “penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran.” (Yoh. 4:23). Merujuk kepada semangat-Nya untuk memperbaiki konsep sentralisasi penyembahan, ritual fisik yang penuh simbolisme serta tradisi turun-tenurun yang dimiliki wanita Samaria, ke arah penyembahan yang benar. Pembenaran tidak lagi bergantung pada formalitas fisik, tetapi pada interpersonal relationship antara Allah dan manusia. Argumentasi Yesus tersebut merujuk pada nilai kebenaran para penyembah pada posisi “dalam” keintiman dengan Allah, sebab Allah adalah Roh dan haruslah disembah dalam roh dan kebenaran. Adanya keterkaitan hubungan yang jelas antara yang Allah Sang Superior dengan umat-Nya, yang meliputi hubungan yang intim dan intrinsik.
Dengan demikian menyembah (proskuneusin) Allah bukan hanya sekedar tindakan literal membungkukkan untuk menunjukan rasa hormat, yang dalam pemikiran Yudaism ditambahkan pengertiannya dengan sikap membungkukan diri, untuk mencium, untuk melayani dan untuk menyembah. Selanjutnya pengertian tersebut diwujudkan sebagai respon gereja terhadap natur Allah. Penyembahan orang percaya seharusnya ada dalam roh dan kebenaran, maksudnya adalah memiliki kesatuan intrinsik antara Allah, yang adalah Roh dan Benar, lahir dari hati seorang penyembah sejati, yang penuh penaklukkan diri atas kebesaran Tuhan.

Sasaran Penyembahan
Penyembahan yang dikerjakan oleh umat ditujukan kepada Allah yang adalah Roh, sebagai Pribadi yang Maha Tahu (Ay. 17), Maha Hadir (ay. 23-24), yang keberadaannya tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Konteks teks Firman Tuhan berbicara tentang seorang wanita Samaria yangs edang berpikir tentang objek penyembahan. Penyembahan Yahudi yang menuntut sentralisasi pada Sang Yahweh ataukah cara Samaria yang dilakukan dalam ketidak jelasan arah, seperti yang diungkapkan oleh Arthur:
Cara penyembahan Samaria dilakukan dalam ketidak tahuan. Pengetahuan rohani orang samaria terbatas karena mereka menolak semua Perjanjian Lama, kecuali Pentateuch. Agama mereka diwarnai oleh penyembahan yang bergairah tanpa informasi yang benar. Mereka menyembah dalam roh, tetapi tidak dalam kebenaran.

Penyembahan (ibadah) yang dilakukan gereja saat ini seharusnya bukanlah sebuah sentralisasi formalitas atau pelaksanaan ritual dengan simbol-simbol kekudusan semu, tetapi lebih kepada pengangungan karya Allah yang dinikmati secara pribadi dalam hubungan intrinsik, personal tetapi nyata dan dibangun dalam keindahan persekutuan. Penyembahan yang dikerjakan kepada Allah, merupakan hasil dari pembenaran yang dikerjakan oleh Allah, sehingga menjadi satu dalam roh dan kebenaran.

Menyembah Allah sebagai Sang Superior merupakan bagian dari dinamika gerak hidup umat Allah, tanpa itu kegersangan dan kemandulanlah yang akan menjadi bagian realita hidup. Rentang sejarah panjang telah membawa serta memberi sumbangan terhadap realita penyembahan, entahkah pengaruh yang baik ataupun sebaliknya. Gagasan penyembahan sudah menjadi bagian yang melekat dengan gereja masa kini.
Kemajuan zaman telah beriringan membawa banyak perubahan dalam gereja, termasuk pola penyembahan dan ibadah. Dimulai dari keadaan yang penuh kesederhanaan dan khusuk sampai gemerlapan dengan alat musik dan selebriti. Tentu saja semuanya itu akan memberi pengaruh, entahkan pengaruh baik ataupun pengaruh negatif.
Pada akhirnya prinsip menyembah Allah yang sejati adalah terbentuknya interpersonal relationship yamng tidak dibatasi waktu dan ruang antara Allah dan manusia, yang tercipta bukan karena usaha manusia tetapi karena tindakan aktif dari Allah untuk memperkenankan terbukanya suasana penyembahan kepada-Nya. Tindakan Allah tersebut bertujuan untuk memberi nilai kebenaran kepada manusia sehingga hubungan antara manusia dan Allah ada dalam keadaan sinergis. Bentuk penyembahan seperti ini seharusnya menjadi budaya dalam gereja, buka lagi terpaku pada simbolitas ritual, formalitas hubungan ataupun kesemuan ibadah. Oleh karena itu marilah kita menyembah Allah dalam roh dan kebenaran.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar