Selasa, April 28, 2009

Yesus, Wajah Allah yang sesungguhnya















Dalam dunia religi, umat manusia setidaknya memiliki tokoh sebagai figur yang dibanggakan dari masa ke masa, seseorang yang bukan saja diterima, disegani tetapi juga terkadang menjadi sentral percakapan. Tokoh seperti ini terkadang merupakan pendiri suatu aliran religi, tetapi juga terkadang dikenang karena sepak terjang yang revolusioner serta kontraversional terhadap sistem nilai dalam konteks tataran tertentu. Membicarakan tokoh seperti ini mengandung resiko tertentu, apalagi apabila harus berhadapan dengan tuntutan objektifitas tetapi juga fanatisme yang konstruktif.
Dalam bagian makalah ini, penulis akan mempelajari, menguraikan serta mengekspouse seorang tokoh yang bukan hanya dikenal oleh umatNya, tetapi juga dikalangan mereka yang secara politis membencinya. Tokoh sejarah sepanjang masa tersebut dilahirkan kedunia bukan dalam frame anak normal sebagai buah sebuah perkawinan, tetapi merupakan jawaban Allah bagi masalah dunia. Dari sisi kelahiranNya saja sudah cukup layak untuk dapat memberi predikat realis praesentia (kehadiran nyata) dalam sejarah.
Keunikan pribadi Yesus akan diawali ketika melihat eksistensiNya secara aktif dalam kekekalan masa lampau, apalagi dalam pemahaman Yesus sebagai pribadi kedua dalam ke Esaan Allah. Kesatuan konsep tentang Allah telah memberikan warna secara khusus dalam teologi proper surat Ibrani. Penulis surat Ibrani memproklamasikan eksistensi Yesus dalam kekekalan masa lampau dengan berkata :
Pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan.

Dengan mengutip ekspresi teologi proper pemazmur, penulis surat Ibrani semakin memberi keyakinan terhadap proklamasi awalnya diatas, ketika ia berkata :
Pada mulanya, ya Tuhan, Engkau telah meletakkan dasar bumi, dan langit adalah buatan tangan-Mu. Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada, dan semuanya itu akan menjadi usang seperti pakaian; seperti jubah akan Engkau gulungkan mereka, dan seperti persalinan mereka akan diubah, tetapi Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan.

Dalam bahasa teologi, kehadiran Yesus dalam kekekalan masa lampau sebelum Ia dilahirkan ke dunia melalui perawan Maria, disebut dengan istilah pre-existence (pra-eksistensi). Uraian surat Ibrani diatas memberikan pengertian penting tentang peletakan keTuhanan Yesus, dibuktikan dengan uraian pra-eksistensiNya. Seperti yang dijelaskan oleh Ryrie, ketika ia berkata:
Doktrin pra-eksistensi memiliki hubungan dengan keTuhanan Kristus, dalam mengarahkan pada hubungan penting dengan doktrin ke Imaman Besar Yesus, semuanya itu menjadi sangat penting dalam surat Ibrani. Pembuktian terhadap pra-eksistensi Yesus memiliki tempat utama dalam teologi penulis surat Ibrani.
Lebih lanjut ia memberi penjelasan terhadap pengertian pra-eksistensi, sebagai :
Praeksistensi Kristus berarti bahwa Ia telah ada sebelum dilahirkan …. Ia telah ada sebelum Penciptaan dan sebeblum adanya waktu. Akan tetapi dalam arti sempit praeksistensi tidaklah sama dengan kekalan. Dalam arti luas, konsep keduanya hampir sama, karena suatu penolakan terhadap praeksistensi selalu mengandung penolakan tentang kekekalan, dan demikan pula sebaliknya.
Sebagai pembuktian faktual tentang pra-eksistensi Yesus, penulis akan memberi perhatian khusus terhadap beberapa ungkapan yang digunakan oleh penulis surat Ibrani. Pembuktian data teks ini akan menjadi argumentasi yang ampuh untuk tetap mempertahankan otentisitas maksud, teologi serta tujuan penulis surat Ibrani.
Dalam frase “Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (ay, 2), penulis surat Ibrani menegaskan bahwa Yesus telah ditetapkan, artinya dalam hubungan dengan semua ciptaan yang luar biasa ini kedudukannya adalah ahli waris. Bagian tersebut menjelaskan tentang kepemilikan Yesus secara yuridis atas seluruh dunia yang telah diberikan Allah kepadaNya, sehingga otoritas atas dunia ini sudah menjadi milikNya sejak kekekalan masa lampau. Walaupun secara de facto Ia belum nenerima “segala yang ada”. Kepemilikan Yesus juga dikuatkan dengan kata pewaris (kleronomos), yang berarti seorang yang berhak menerima.
Selanjutnya terdapat frase yang berkata : “Oleh Dia Allah telah menjadikan
alam semesta” (ay. 2). Frase telah menjadikan, menunjuk pada peranan Yesus, yang dipakai Allah untuk menciptakan segala sesuatu yang ada. Ia telah menciptakan (tous aioonas), “dunia-dunia” (KJV, the worlds) atau “alam semesta”, sebagaimana dalam kebanyakan terjemahan modern. Istilah ini biasanya berarti “zaman”, maka ada sementara ahli tafsir berpendapat bahwa disini kata itu berarti “zaman-zaman”, alam semesta lebih masuk akal.
Semua uraian tersebut terjalin dalam sebuah simpul seperti yang diungkapkan oleh Walvoord, ketika ia berkata :
karyaNya dalam menciptakan segala sesuatu sebelum Ia berinkarnasi ke bumi, tindakanNya yang bersifat mahakuasa, pemeliharaanNya atas segala sesuatu, janji-janjiNya dikekekalan masa lampau, penampakan diriNya dalam Perjanjian Lama, dan banyak isyarat lainnya tentang pra-eksistensiNya, digabung bersama membentuk suatu bukti yang padat bahwa Kristus sudah ada sebelum Ia dilahirkan di Betlehem.
Selanjutnya penulis surat Ibrani memberikan deskripsi tentang kemuliaan dan kekuasaan Yesus, yang terkait dengan pra-eksistensiNya, ketika ia berkata : Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (ay. 3). Hal ini dijelaskan oleh Morris sebagai :
Ia tidak hanya aktif dalam penciptaan, tetapi juga senantiasa menopang alam semesta. Kata kerja “menopang” adalah pheroo, yang mengandung arti membawa serta ciptaan, mungkin menuju tujuannya; jadi merupakan suatu konsepsi yang dinamis (bukan statis, seperti paham Yunani tentang dewa Atlas yang membawa segala sesuatu diatas bahunya).
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa Yesus adalah wujud yang hidup dari sifat-sifat dan keagungan Allah. Dua aspek yang sedang diungkapkan oleh penulis Ibrani terhadap karya Yesus adalah, sebagai cahaya yang menyatakan/memperkenalkan Allah kepada manusia, juga sebagai pribadi yang berkuasa atas semua ciptaan. Maksudnya adalah Yesus sedang menyajikan Allah kepada manusia ciptaanNya, sebagai bagian dari otoritas yang ada ditanganNya.
Sebuah fakta yang telah disajikan oleh penulis surat Ibrani, sebagai penjelasan tentang kehadiran Yesus secara aktif, dinamis dan penuh kuasa. Pribadi yang eksis bukan karena diciptakan, tetapi kehadiranNya bahkan jauh dari pikiran manusia tentang dimensi waktu. KaryaNya yang spektakuler membawa Ia menjadi pribadi yang superior bukan hanya dalam frame kekekalan masa lampau tetapi masih terus berlanjut dalam konteks masa kini sampai pada kekekalan masa depan.
Kepada Yesus dikaruniakan nama yang lebih istimewa dan jauh lebih tinggi dari para malaikat sekalipun. KodratNya jauh berbeda dengan nilai kodrat para malaikat, yang oleh Morris diidentifikasikan dengan ungkapan :
Penulis menerangkan hal ini lebih lanjut dengan serangkaian kutipan dari kitab suci yang berbicara tentang Anak, suatu bentuk sapaan yang tidak dipakai untuk para malaikat…. Selanjutnya penulis berbicara tentang martabat rajawiNya (1:8), tentang karyaNya dalam penciptaan dan keabadiannya (1:10-12)…. Sungguh suatu penjelasan yang mengesankan bahwa sekalipun para malaikat begitu penting, mereka berada jauh di bawah Anak Allah.
Dalam pengamatan terhadap surat Ibrani, penulis akan menggunakan dua garis utama untuk memberikan serta menyajikan argumentasi penulis surat tentang superioritas yang dimiliki oleh Yesus, terkait dengan point utama diatas. Ide superioritas Yesus ini tidak dapat dipisahkan dengan karya penyelamatan yang telah Ia kerjakan, seperti yang dijelaskan oleh Morris berikut :
Yesus datang ke dunia sebagai seorang manusia, yang lebih rendah daripada malaikat, tetapi hal ini dilakukan hanya untuk menjamin keselamatan orang-orang berdosa (2:9), namun hal ini dilakukan tanpa mengubah apa yang telah dia katakan tentang keagunganNya. Sebaliknya, yang ia lakukan adalah bahwa Kristus itu cukup agung untuk merendahkan diri demi menjamin keselamatan.
Pemaparan berikut ini akan memberi penjelasan terhadap aspek superioritas Yesus. Dalam memaparkan superioritas Yesus, penulis surat Ibrani memberikan beberapa indikasi superioritas atas malaikat (1:4-14), Musa (psl. 3), hari perhentian/sabat (psl. 4), Melkisedek dan keimaman Harun (psl. 7), tempat Kudus (psl. 9), serta dalam hal penderitaan.
Pada bagian sebelumnya telah diberikan pemaparan tentang superioritas Yesus atas malaikat. Oleh karena itu pada bagian berikut, penulis akan memberikan secara terperinci superioritas Yesus atas beberapa tokoh/hal selanjutnya dalam uraian-uraian berikut ini.
Mengatasi kemuliaan Musa
Alasan argumentasi penulis berdasar pada ungkapan “Sebab Ia dipandang layak mendapat kemuliaan lebih besar dari pada Musa” (psl. 3:3). Ungkapan superioritas Yesus yang melebihi Musa memiliki nilai kontraversional dalam konsep Yehudi, sebab Musa dipandang lebih agung dari malaikat. Melalui Musa Allah telah memberikan hukum Taurat dan hukum Taurat memiliki nilai keagungan tersendiri dalam upaya bangsa Yahudi untuk mendekatkan diri pada Yahweh, tidak bisa dibayangkan ada orang lain yang dapat melebihi keagungan Musa. Fakta yang dimunculkan oleh penulis surat Ibrani adalah Musa setia sebagai pelayan di rumah Allah, sedangkan Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah tersebut (3:5-6).
Hari Perhentian atau Sabat
Hari sabat atau perhentian, menurut pola pikir tokoh-tokoh Yahudi pada zaman Perjanjian Baru, menggambarkan dunia yang akan datang. Jadi, berdasarkan latar belakang ini, dapat dikatakan bahwa memasuki perhentianNya berarti mendapatkan warisan, memperoleh bagian, semuanya memiliki satu arti, yaitu mengikuti Anak Manusia dalam kemenanganNya di dunia yang akan datang.
Istilah perhentian diangkat dari teks Mazmur pasal 95. Istilah perhentian yang digunakan pemazmur berasal dari kata manuha yang berarti resting-place, yang dalam konteks ini menunjuk ke tanah Kanaan sebagai tujuan akhir dari perjalanan panjang mereka selama 40 tahun di padang gurun. Maksud dari pengungkapan penulis surat Ibrani adalah pengharapan mereka di masa depan masih jauh bila dibandingkan dengan superioritas Yesus.
Melkisedek, keimaman Harun dan tempat Kudus
Hagelberg dalam diskusinya memberikan persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang imam, yaitu :
Seorang imam dipilih dari antara manusia, dan ia ditetapkan untuk mewakili manusia dihadapan Allah untuk mempersembahkan “persembahan dan korban” karena dosa (5:1). Kedua disebut dalam pasal 5:2, “Ia harus dapat mengerti orang-orang yang jahil ….” Kata “mengerti” ini berarti bahwa ia dapat “mengukur perasaannya sendiri”. Ini berarti bahwa seorang imam harus dapat melayani dengan perasaan yang telah dikendalikan dan seimbang, tidak masa bodoh. Ia seharusnya dapat menguasai dirinya terhadap orang-orang “yang jahil” dan “yang sesat” karena ia sendiri tidak sempurna, tetapi “penuh dengan kelemahan”. Yang ketiga disebut dalam pasal 5:3, yaitu bahwa imam-imam juga harus “mempersembahkan korban …. bagi dirinya sendiri”…. Yang keempat disebut dalam pasal 5:4, yaitu seorang imam harus “dipanggil untuk itu oleh Allah” sendiri.
Penekanan keimaman yang menjadikan nilai superioritas dalam pelayanan Yesus adalah Ia mempersembahkan satu korban yang sempurna, yaitu diriNya sendiri. Penulis surat Ibrani menggunakan aktifitas dan karya Melkisedek sebagai batu loncatan, yang dibandingkan keunggulannya dengan keimamam Harun, untuk membawa pemahaman pembaca secara benar terhadap konsep superioritas Yesus.keimamam orang Lewi yang diwakili oleh Harun, harus diulang-ulang yang hanya membuktikan betapa tidak efektifnya korban-korban tersebut.
Bukan hanya itu saja, ia menjelaskan dengan tuntas bahwa Yesus memang layak untuk menjadi imam besar. Pelayanan keimamam Yesus tidak menghampiri perabot-perabot di dalam bait Allah, tetapi Ia menghampiri Allah sendiri di surga. Jadi Yesus memiliki superior termasuk dalam nilai dan bobot segala lambang ritual yang ada di Yerusalem.
Penderitaan dan Kesesakan
Nilai superioritas Yesus bukan hanya sampai dalam frame kemuliaan, seakan-akan tidak berarti apabila diperhadapkan dengan kemnyataan penderitaan yang dialami oleh umat. Penulis surat Ibrani secara jelas berkata : “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa”. (psl 4:15).
Kemanusiaan Yesus berbeda dengan kemanusiaan umat manusia, kemanusiaan Yesus telah memiliki nilai sempurna, saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi dari pada tingkat-tingkat sorga (psl 7:26). Penulis surat Ibrani menyertakan juga fakta tentang kemanusiaan Yesus sebagai pribadi yang mengambil sifat lemah ke atas diriNya yang berkuasa, tetapi juga mengalami penderitaan, dukacita, pencobaan dan kematian.
Penulis surat Ibrani telah memberikan begitu banyak bukti tentang fakta superioritas Yesus. Ia menjadi Pribadi sentral perhatian dan fokus hidup umat, tetapi juga fakta tentang eksistensi sebagai sang superior dalam kekekalan masa depan, akan mengharuskan seluruh manusia memperhatikan dan menjadikan Yesus sebagai sentral kehidupan. Pada pembahasan bagian bab berikut penulis akan memberikan pemaparan terhadap kemutlakan tersebut.
Pemaparan penulis surat Ibrani secara tegas terhadap bagian ini memang tidak nampak dengan nyata, tetapi ia memberikan argumen bahwa :
Ia tetap selama-lamanya, imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang lain. Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.
Juga dinyatakan dalam hubungannya dengan pemulihan umat Yahudi pada masa depan, yang nyata ketika ia mengutip isi kitab suci yang berkata :
Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. Dan mereka tidak akan mengajar lagi sesama warganya, atau sesama saudaranya dengan mengatakan: Kenallah Tuhan! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku. Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka.
Penulis mengamati bahwa pembahasan bagian ini memiliki keterkaitan inti surat, yang kesemuanya berbicara tentang superioritas Yesus diatas keimaman yang telah ada atau pernah terjadi menurut hukum Taurat. Ayat 1-5 menceritakan tentang perabot serta perlengkapan ritual yang ada, ayat 6-10 merupakan bantahan terhadap semua ritual yang pernah dilaksanakan oleh para imam, yang nilainya tidak mencapai kesempurnaan.
Ayat 15-22 merupakan akibat khusus dari korban Yesus dalam diriNYa, sehingga Ia layak menjadi pengantara dari suatu perjanjian yang baru, menjadi pelaksana korban tebusan bagi banyak orang. Ayat 23-28 merupakan kesimpulan sekaligus dampak pengorbanan Yesus terhadap keselamatan manusia yang kini memiliki nilai kekal.
Hubungan dengan nubuat perjanjian baru (Yer. 31:31-34), Allah akan menuliskan hukumNya pada hati umatNya dan Ia tidak akan mengingat dosa-dosa mereka lagi. Jalan menuju Allah yang telah dibuka oleh Yesus, tidak lagi bergantung pada ketaatan formalitas legalitas hukum taurat, tetapi lebih bernilai batiniah.
Dalam kaitannya dengan kekekalan masa depan, penulis surat Ibrani menyatakannya dengan ungkapan selama-lamanya. Frase pantote, berasal dari gabungan dua akar kata yaitu pas diterjemahkan dengan each, every, any, all, the whole, everyone, all things, serta everything, dan kata hote, yang diterjemahkan sebagai when whenever, while, as long as. Frase ini terkait dengan kata zon yang memiliki pengertian to live, breathe, be among the living (not lifeless, not dead).
Makna yang dapat diambil adalah superioritas Yesus sebagai imam besar yang telah ia kerjakan melalui penebusan dosa manusia melalui koban diriNya, akan tetap ia pertahankan sampai kekekalan masa depan. Ia akan tetap menjadi pribadi pengantara antara Allah dan umat, sampai pada kekekalan masa depan. Perjanjian baru yang di mulai oleh Yesus akan bersifat kekal, sebab tidak akan pernah muncul pribadi lain yang layak untuk menjadi pengantara kepada Allah selain Yesus saja.
Diakhir dari pembahasan tentang pembuktian data teks terhadap konsep superioritas Kristus, dapat ditemukan titik mufakat bahwa Yesus adalah pribadi yang unik. KeunikanNya sudah dimulai dari kekekalan masa lampau, karena dari kekekalan masa lampau (sudah ada sebelum semuanya ada) Ia sudah menjadi sentral (segala sesuatu diciptakan didalam Dia), materi pokok (tanpa Dia, tidak ada segala sesuatu yang jadi), keunikanNya terus dipelihara melewati rentang sejarah (Ia memelihara/menopang segala sesuatu yang telah dijadikan), masuk dalam dimensi waktu dan ruang (Allah yang berinkarnasi, berkenosis) untuk hadir dalam keterbatasan dengan hukum alam.
Hadir kedalam dunia melalui perantaraan perawan maria, mengalami masa pertumbuhan secara nomal sampai Ia siap melaksanakan karya penyelamatan Allah kepada manusia melalui pelayanan P.I.Nya, mengalami segala bentuk kesusahan dan penderitaan bahkan kematian, tetapi dibangkitkan. Kematian yang Ia kerjakan menjadikan Dia layak menjadi imam besar agung, bahkan sampai kekekalan pun tidak seorang pun yang dapat merampas atau membatalkan keimamanNya, apalagi hakekatNya sebagai pengantara suatu perjanjian baru antara Allah dan uma manusia.
Pemaparan diatas hanya merupakan sebuah benang biru yang membawa pada sebuah kebenaran mutlak bahwa, Yesus adalah pribadi yang superioritasnya mengatasi segala sesuatu, tokoh spektakuler manapun dan paham yang paling ideal sekalipun. Kebenaran terhadap makna Kristologi, seharusnya membawa umat hidup dalam kebergantungan mutlak, serta penyerahan diri secara total tetapi juga dengan penuh kesadaran ambil bagian dalam ketaatan bagi kemuliaanNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar