Selasa, April 21, 2009

Iman dan Opo-opo


Dalam dunia ketimuran, praktek okultisme, mitos, perbintangan, nujum, jimat dan lainnya masih mendapat tanggapan secara antusias, yang secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai budaya yang masih terpelihara dan terserap dalam dunia modernisasi. Hal-hal seperti ini, bukan menjadi bahan asing tetapi seakan-akan sudah memasyarakat, sehingga gereja (terutama gereja tradisional) acapkali menganggap ini bukan sebagai masalah serius yang harus diselesaikan. Lain halnya dengan gereja yang bernafaskan pantekosta dan kharismatik, mereka menganggap hal seperti ini sebagai musuh gereja dan harus ditengking.
Dilema ini bukan tidak berdasar, tetapi akan menjadi masalah yang besar apabila harus dikonfontir dengan kenyataan yang ada. Pemimpin gereja seharusnya mengambil sikap yang tegas, tetapi disisi lain diperhadapkan dengan budaya, keadaan sosial, nilai tradisi serta suara mayoritas umat. Pada akhirnya pemimpin gereja mencoba bersikap netral dengan membahasakan okultisme dengan istilah kuasa putih dan kuasa hitam, yang pada akhirnya mereka ikut ambil bagian dalam melegalkan hal tersebut.
Dalam terminologi progresifitas identitas umat pilihan Allah yang telah dibenarkan, okultisme selalu mendapat kecaman yang bernilai mutlak. Rasul Petrus dengan mengutip bagian Perjanjian Lama, berkata:

Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

Hal ini berarti segala bentuk pelanggaran, temasuk legalitas terhadap okultisme akan dianggap sebagai suatu sikap kudeta terhadap kekudusan Allah. Sappington memberikan pengertian terhadap praktek okultisme sebagai :

Iblis membentuk dunia melalui orang-orang kepercayaannya yang mudah dipengaruhi olehnya, sehingga sistem nilai dan cara hidup dunia semakin bertentangan dengan kehendak Allah. karena kita hidup dalam dunia ini, maka kita dapat terpengaruh oleh sistem nilai atau cara hidup dunia, dan pengaruhnya menjadi lebih kuat karena adanya keinginan daging.

Dalam agama Fenisia kuno beberapa praktek okultisme yang terkenal antara lain, pejabat kultis, imam agung, imam juru tenung, penjaga bait, kadeshoth (pelacur sakral, pelacur bakti), dan peratap-peratap. Melalui penggalian arkeologi terhadap kuil Kanaani di Nahariya daerah pantai utara Israel modern ditemukan bukit pengorbanan, yang digambarkan sebagai suatu tempat terbuka yang biasanya hanya dipagari disekelilingnya, terletak didekat perigi atau pohon keramat, dan dilengkapi sebuah kamar sederhana.
Praktek-praktek ritual seperti ini kemudian diadopsi oleh sebagian masyarakat Israel, misalnya praktek pertenungan yang terjadi dalam zaman raja Saul. Menurut 1 Samuel 23, Saul telah menghapus ilmu tenung dari Israel, serta mengancam dengan hukuman mati bagi mereka yang masih melakukannya. Sikap itu sesuai dengan hukum Israel kuno, walaupun ilmu tenung masih bertahan di Israel. praktek pertenungan terjadi di masa Yesaya dan Yosia (2 Raj. 21:6; 23:24). Jadi dapat disimpulkan bahwa praktek-praktek yang demikian itu terus-menerus berlaku di Israel, walaupun ditentang dengan keras.
Dalam hubungannya dengan jimat, biasanya dikaitkan dengan asumsi bahwa pemakainya akan terlindung dari kejahatan. Isu tentang pemakaian jimat sudah dimulai di seluruh Asia Barat pada zaman kuno. Jimat biasanya dipakai di kepala atau leher, umumnya adalah perhiasan atau permata kecil, batu, meterai, manik-manik, porselen atau lencana dengan kemungkinan dapat ditulisi sebait doa atau mantera. Bukti arkeologi menunjukan bahwa jimat yang umumnya adalah perhiasan berbentuk bulan sabit terbalik, simbol dewi Astarte-Isytar. Demikian pula penggunaan patung kecil dan lambang-lambang binatang dan buah dari Mesir.
Praktek okultisme yang masih dikenal dalam periode masa kini adalah possession (kerasukan setan). Possession adalah keadaan orang yang dikuasai oleh kekuatan setan. Tradisi Kristiani menerima adanya kemungkinan orang kerasukan setan. Sementara itu, ada banyak orang yang berpendapat bahwa keadaan orang yang seolah-olah dikuasai oleh setan itu sebenarnya disebabkan oleh gangguan psikologis, bukan karena benar-benar secara harafiah diperbudak oleh setan.
Beberapa kasus dalam Perjanjian Baru seakan-akan memberikan hubungan antara possession dan kegilaan. Sinergis dengan asumsi ini, kegilaan dikatakan sebagai awal dari terjadinya distorsi terhadap relasi antara manusia dan kebenaran. Meskipun demikian identifikasi seperti itu memberikan pada kegilaan sebuah makna baru kesalahan, sanksi moral dan penghukuman, yang kesemuanya bukan merupakan bagian dari pengalaman klasik. Manifestasi kegilaan tetap dianggap sebagai efek psikologis dari sebuah kesalahan moral.
Istlah okultisme berasal dari kata dasar occultus, dalam bahsa Latin, yang berarti tersembunyi, rahasia, sial, celaka, gelap, gaib dan misterius. Stanley Heath melengkapkan pengertian tersebut dengan ungkapan tidak terselidiki melalui pengamatan indrawi. Jadi okultisme berarti paham tentang kuasa atau kegiatan gelap dan gaib yang berkepentingan dalam dan bai kehidupan manusia. Orang yang okultis berarti orang yang melibatkan diri dengan dan percaya kepada roh-roh gelap, agar dirinya mengalami pertolongan dan mendapatkan manfaat darinya untuk menghadapi pergumulan hidup, melalui praktek-praktek yang bersifat rahasia, aneh dan misterius. Dalang dan sumber okult adalah iblis beserta antek-anteknya.
Ada banyak bentuk, substansi kepentingan dan istilah-istilah bagi praktek-praktek okultisme. Hal demikian tidak perlu mengejutkan, oleh karena iblis dan kerabatnya cukup pintar dan variatif dalam memikat calon-calon pengikutnya diwikayah-wilayah tertentu.
Bagian-bagian yang telah dipaparkan diatas sebagian besar masih ada dalam kehidupan beberapa golongan masyarakat Indonesia. Baik itu dikenal sebagai pesugihan, santet, azimat, susuk, opo-opo, upacara tabur agung, selametan, sesajen dan lainnya. Hal ini berarti bahwa, praktek okultisme masih erat hubungannya dengan masyarakat luas.
Sejarah menjelaskan bahwa animisme menjadi bagian dari kebudayaan Sangihe, walaupun mereka menyebutnya dengan “mana”. Mana adalah satu kata dari bahasa malenesia yang pertama-tama digunakan oleh zending Inggris Codrington, untuk menyatakan suatu “tenaga sakti penuh rahasia”. Dalam pemahaman masyarakat primitif, kuasa ini ada dalam manusia dan binatang, dalam pepohonan dan tetumbuhan, dalam segala sesuatu dan bisa mengerjakan baik kebahagiaan maupun pemusnahan.
Dalam konteks kekinian kuasa-kuasa tersebut bisa didentifikasikan sebagai kuasa hitam dan kuasa putih (dukun hitam atau dukun putih). Selain kepercayaan mana, ada juga beberapa bentuk kepercayaan lain, seperti: penyembahan orang mati, kepercayaan kepada roh-roh dan dewa-dewa, ketakuan terhadap penyihir, amulet atau jimat. Kepercayaan ini sempat tertutupi oleh karena pengaruh penyiaran agama Kristen yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Zending, tetapi kemudian muncul kembali penggunaannya, yang walaupun telah diganti dengan istilah-istilah yang lebih “injili” atau dengan yang lebih ilmiah.
Pembauran antara kepercayaan primitif dengan iman Kristen, menciptakan suasana iman yang abu-abu, yang selanjutnya akan menjadi bahaya besar terhadap teologi dan doktrin-doktrin yang terkait didalamnya. Umat akan memandang kebenaran dan ketidak benaran sebagai sesuatu yang relatif, seperti yang didefinisikan oleh Holmes, sebagai:

Relativisme mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Berkenaan dengan itu, filsuf Yunani, yaituProtagoras menegaskan bahwa relativisme telah menguasai hampir semua bidang kehidupan dan penelitian, diantaranya dibidang etika dengan etika situasional dan dibidang agama dengan mencanangkan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak atau universal.

Dibeberapa tempat tertentu iman yang abu-abu masih terasa, bahkan ada beberapa majelis gereja yang masih menggunakan dukun sebagai pengobatan alternatif, dengan alasan teologis bahwa: Tuhan juga sanggup menggunakan segala macam sarana untuk kepentingan umat-Nya. Tak ayal lagi kebenaran sudah semakin menjadi tidak mutlak, yang pada akhirnya membawa pada sikap-sikap terhadap fenomena tertentu yang masih terasa bentuk animismenya dalam gereja.
Beberapa contohnya antara lain, dalam persiapan persalinan dukun bersalin hanya memperhatikan kebiasaan-kebiasaan adat dan dengan mudah melalaikan syarat-syarat ilmu kesehatan dan pencegahan. Persalinan yang sulit menandakan pelanggaran yang telah dilakukan entah oleh pria, wanita ataupun oleh kerabat keluarga lainnya. Dalam hal kematian terdapat hal fenomenal lainnya, yaitu setiap kuburan harus ditutupi dengan mesel kasar, kadang-kadang dilengkapi dengan sebuah batu nisan yang tinggi. Sampai betapa jauh hal ini disebabkan oleh perasaan segan terhadap orang yang telah meninggal atau disebabkan oleh cara berpikir animistis. Tidak mengurus kuburan dengan cara seperti itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak pantas. Itulah sebabnya seorang duda tidak akan menikah lagi sebelum kubur istrinya yang telah meninggal diselesaikan. Kebiasaan lain adalah saat kuburan-kuburan yang tidak dipedulikan selama satu tahun penuh, sehari sebelum hari natal akan dibersihkan dan dihiasi dengan bunga-bunga.
Hal-hal diatas hanyalah sebagian kecil contoh praktek okultisme sinkritisme yang terjadi dalam lingkungan gereja, tentu saja hal ini akan menyebabkan masalah besar apabila dieksploitasi secara besar-bsaran, namun tugas hamba Tuhan adalah untuk membersihkan umat dari segala macam praktek yang tidak Alkitabiah, dan membawa umat pada frame biblika. Hanya melalui cara ini, maka gereja akan dapat dipakai secara melimpah oleh Tuhan dalam pelayanannya.
Pergeseran terhadap nilai kebenaran akan membawa pada jurang kesesatan yang dapat diselubungi dengan topeng spiritual rohani, tetapi pada ujung-ujungnya akan membawa imat pada kondisi iman yang abu-abu. Segala permaianan okultisme sangat bertentangan dengan Firman Allah. orang percaya dipanggil untuk menghadapi seluruh pergumulannya dengan melibatkan Tuhan. Tindakan melibatkan kuasa okult berarti melakukan perzinahan spiritual, Firman Tuhan menegaskan tentang larangan bergaul dengan roh-roh jahat.
Allah sangat membenci persekutuan manusia dengan roh-roh jahat. Mencari pertolongan diluar Tuhan, yaitu bersandar kepada dunia gaib, merupakan perbuatan tercela. Apapun beratnya pergumulan hidup orang percaya, dirinya harus menyandarkan hidupnya pada kemaha kuasaan Tuhan, sebab dalam Kristus telah tersedia sumber kekuatan.
Berdasarkan keterlibatan dan kerekatannya dengan praktek okultisme, seseorang bisa termasuk dalam golongan: pertama, orang yang hanya sesekali mengharapkan kekuatan okultisme dalam hidupnya. Contohnya, bila seseorang sesekali datang kedukun untuk meminta pertolongan, tanpa diberikan media-media okultisme yang bersifat menetap. Kedua, memiliki sarana-sarana okultisme secara menetap. Contohnya adalah orang-orang yang memiliki jimat, opo-opo benda-benda gaib. Ketiga, orang-orang yang memang sudah menjadi hamba iblis atau hidup sebagai kepanjangan tangan kuasa-kuasa roh jahat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar