Kamis, Maret 05, 2009

Postmodernisme

Tepatnya sejak diabad abad ke-20 hingga sekarang ini gereja selalu bergelut menghadapi tantangan era modern, seperti sekarang ini secara nyata gereja sudah harus berhadapan dengan era baru yaitu postmodern, yang pikiran dan pengaruhnya sama sekali berbeda dengan zaman sebelumnya. Pada prinsipnya, gereja memang tidak boleh mengabaikan perubahan zaman yang sedang terjadi di sekelilingnya. Alkitab mengajarkan bahwa dalam memproklamasikan berita firman, umat Kristen harus memiliki konsep waktu atau zaman (concept of time); lihat antara lain Rm. 13:11; 2Tim. 4:2. Hal ini dimaksudkan agar gereja tetap relevan dalam pengajarannya, dan sebaliknya gereja juga tidak menjadi kompromistis, atau bahkan sinkretis.

Latar Belakang Permasalahan
Dari segi zaman (yaitu "era post-modern," atau zaman setelah modern) tentu saja gereja tidak dapat mengelak, namun yang mesti diwaspadai adalah postmodern-isme, atau prinsip-prinsip ajaran para postmodernis dan pengaruhnya. Cara berpikir postmodern memang belum terlalu popular paling tidak hingga saat ini. Akan tetapi, gema dan gelombang pengaruhnya hari demi hari semakin terasa kuat. Perlahan tapi pasti dunia dibawa masuk ke dalam suatu nuansa zaman yang sama sekali berbeda dengan modern. Banyak pengamat mengatakan bahwa era modern dengan segala pengaruh pemikirannya sedang menuju kematian dan segera digantikan oleh era postmodern. Beberapa di antaranya, yaitu John Cooper mengatakan, "Times are changing. Modernism is dying, though its strength is not completely spent. By now the announcement of a new outlook, something called ‘post-modernism,’ has become a cliché." Hal senada juga diungkapkan oleh Richard Middleton, Brian Walsh, Alister McGrath, Thomas Oden, Walter Anderson, Timothy Phillips, dan Dennis Okholm, bahwa dunia saat ini sedang berada di dalam transisi antara proses kematian modernisme dan lahirnya postmodernisme.
Berdasarkan alasan di atas, penting bagi kita umat Kristen untuk mengenal postmodernisme. Karena itu, dalam tulisan ini penulis menyoroti postmodern dengan berangkat "hanya" melalui dua pandangan utamanya: dekonstruksionisme dan relativisme radikal, serta beberapa pengaruhnya. Karena munculnya postmodern tidak dapat dilepaskan dari era modern, maka dalam tulisan ini akan banyak pula dijumpai perbandingan (kontras) postmodern dengan modern.

Akar Permasalahan
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang tumbuh-berkembang antara abad 15 hingga 18, dan mencapai puncaknya pada abad 19 dan 20 awal, memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty. Dari segi reason, berarti para modernis bercita-cita menggantungkan segala penelitian atau pengungkapan kebenaran pada kekuatan akal (ratio) manusia. Apabila pada abad pertengahan (era sebelum modern) sangat ditekankan ketaatan terhadap otoritas gerejawi atau hal-hal yang bersifat spiritual dan supranatural, maka pada era modern tumbuh kepercayaan dan kebergantungan mutlak kepada kekuatan rasio manusia yang disokong oleh metode-metode observasi, percobaan, dan penelitian untuk memperoleh kebenaran. Orang-orang modern berkeyakinan bahwa manusia yang berpikir adalah manusia yang senantiasa berusaha menemukan kebenaran yang satu, mutlak, obyektif, dan universal (berlaku bagi semua orang), lewat kemampuan rasio. Di sini manusia menjadikan dirinya sebagai homo-autonomos, artinya manusialah yang menentukan kebenaran, manusia yang menentukan hukum, dan manusia yang menentukan nasib manusia sendiri. Manusia tidak membutuhkan kekuatan di luar sesuatu yang bukan manusia atau bukan hasil karya manusia. "In the modern era we are our own saviors…," demikianlah keyakinan, sekaligus impian, di dalam diri kebanyakan orang modern.
Dari segi nature berarti, suatu usaha para modernis untuk melepaskan diri dari hal-hal supranatural, dan sebaliknya memfokuskan perhatian sepenuhnya hanya pada hal-hal natural. Fokus pada hal-hal natural menyangkut usaha terus-menerus mengungkapkan rahasia alam semesta yang nampak dan dapat ditangkap oleh indera bagi kepentingan umat manusia; serta termasuk di dalamnya, mengajarkan kehidupan yang sangat bersifat sekuler dan materialistik. Tidak ada keinginan dalam diri orang-orang modern untuk menyelidiki hal-hal di luar yang natural atau sekuler.
Kedua aspek di atas, reason dan nature, dipakai oleh para modernis untuk terus-menerus berusaha maju di segala bidang. Di dalam hati kebanyakan orang modern seolah terpatri kalimat semacam ini: "The future rather than the past dominates the imagination. The Golden Ages lies ahead of us not behind us." Kalimat ini bukan omong kosong, sebab buktinya sangat mudah bagi kita sekarang ini untuk menjumpai hasil-hasil kemajuan yang diperjuangkan oleh para modernis. Baik itu dalam bidang teknologi maupun dalam tatanan (pola dan aturan) kehidupan. Pada akhirnya, dari kemajuan di segala bidang tersebut, diharapkan tercapainya suatu tatanan kehidupan masyarakat dunia yang sempurna, yaitu yang bersatu, harmonis, makmur, dan bebas dari sakit-penyakit. Atau dengan kata lain, tercapailah tiga impian lainnya, yaitu: happiness, progress, dan liberty.
Secara garis besar, kelima cita-cita modern di atas ‘diwujudnyatakan’ ke dalam tiga bidang, yaitu: ilmu pengetahuan (science), teknologi (technology), dan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh (global economic growth). Ketiganya tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan. Ilmu pengetahuan, yang merupakan hasil dari berbagai macam eksperimen dan penelitian terhadap alam semesta, menjadi semacam fondasi yang kokoh bagi kemajuan dalam dua aspek lainnya (teknologi dan pertumbuhan ekonomi) secara universal. Salah seorang bapak ilmu pengetahuan modern, Francis Bacon, mengatakan bahwa "Knowledge is power," sebab melalui ilmu pengetahuan manusia dapat memahami rahasia alam semesta sehingga manusia mempunyai semacam kekuatan untuk meneliti lebih lanjut dan menghasilkan berbagai teknologi maju yang penting bagi seluruh umat manusia.
Teknologi yang merupakan perwujudan nyata ilmu pengetahuan di dalam berbagai peralatan dan mesin yang mutakhir, lebih lagi membekali manusia dalam mengeksplorasi alam semesta. Teknologi seolah-olah memampukan manusia untuk menggapai apapun yang mereka ingini. Dari kemampuan yang tak terbatas tersebut diharapkan terjadilah pertumbuhan ekonomi secara global, yang pada akhirnya akan tercapailah perbaikan standar hidup umat manusia, kemakmuran bersama, dan keamanan. Middleton & Walsh mengatakan,

"By this free and open investigation, we have confidently believed, humanity will be able to acquire the technological power necessary to control nature and bring about the ultimate human goal: increased economic consumption and affluence, with resulting peace, fulfillment and security."

Harus diakui bahwa spirit modern memang telah menghasilkan kemajuan di banyak bidang kehidupan umat manusia, paling tidak untuk jangka waktu tertentu antara abad 19 dan 20 awal. Akan tetapi ketika impian itu seolah-olah semakin mendekati kenyataan, umat manusia dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak lain adalah buah spirit modern sendiri yang ternyata justru menjauhkan manusia dari impian yang selama ini menjadi cita-cita mereka. Peristiwa besar pertama yang menghantam impian modern adalah terjadinya Perang Dunia I (1914-1918), kemudian disusul dengan perang dunia II yang lebih lagi merusak impian mereka. Bukan hanya itu, mata kebanyakan orang semakin terbuka ketika mereka melihat dan menyadari bahwa produk spirit modern bukan seperti apa yang mereka impikan seperti kemajuan, kemakmuran, dan persatuan umat manusia, melainkan polusi yang hebat, pencemaran lingkungann besar-besaran, eksploitasi tenaga kerja, perbudakan, penjajahan (imperialism), pembersihan etnis (tribalism) di beberapa tempat (misalnya, Bosnia, Somalia, Rwanda), kualitas kejahatan yang meningkat, perpecahan suku bangsa, dan perang yang tak kunjung padam di beberapa negara di dunia. Itulah warisan pahit spirit modern yang harus diterima oleh orang-orang zaman ini!

Pada masa sekarang, nyata terlihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan wujud nyata cita-cita modern, tidak dapat memecahkan semua masalah manusia. Keduanya memang maju dengan sangat pesat, tetapi kemajuan tersebut seolah-olah justru memberi peluang yang semakin besar bagi manusia untuk menghancurkan dirinya sendiri. Karena itu, muncullah orang-orang postmodern yang memberikan reaksi terhadap modernisme secara keras. Mereka, para postmodernis tersebut, berreaksi bukan hanya dengan berangkat dari kekecewaan mendalam terhadap spirit modern, tetapi juga perasaan ditipu dan dikhianati. Segala janji modernisme telah terbukti kosong, dan dunia tempat kita tinggal malahan nampak semakin "hostile and inhospitable to us," kata David Wells dalam bukunya No Place for Truth. Ungkapan kekecewaan yang lain juga tertuang dalam tulisan Timothy Phillips & Dennis Okholm, di mana dikatakan bahwa impian modern tetap akan selamanya sebagai fantasi saja, kecuali orang-orang menganggap Disneyland sebagai dunia nyata! Akibat kekecewaan, perasaan ditipu, dan dikhianati tersebut, orang-orang posmodern berusaha untuk memunculkan suatu ajaran dan spirit yang berbeda, bahkan sama sekali bertentangan, dengan modernisme.

Postmodernisme dan Pengaruhnya Ditinjau dari Kontras dengan Modernisme

Perlu digarisbawahi bahwa para postmodernis menolak modern yang terutama bukan ditujukan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai melalui modernisasi, melainkan lebih tertuju pada pembongkaran cara pandang atau asumsi-asumsi dasar di balik segala cita-cita modern, yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai bencana seperti dikemukakan di atas (imperialisme, kolonialisme, tribalisme, dsb.). Sebagai contoh, karena para modernis percaya hanya ada satu kebenaran mutlak yang obyektif dan rasional, maka hal ini mendorong mereka untuk menolak, sekaligus "menyingkirkan," cara-cara pandang lain tentang kebenaran yang tidak obyektif dan tidak rasional. Dengan kata lain, para modernis (secara tidak langsung, maupun langsung) telah berusaha mengontrol dan mengatur dunia berdasarkan rasio, yang pada akhirnya asumsi mereka tersebut telah memberikan semacam rangsangan bagi timbulnya imperialisme dan kolonialisme—ditambah dengan adanya kemajuan teknologi yang membuat peluang tersebut semakin terbuka lebar.

Kekecewaan terhahap asumsi-asumsi dasar modernisme, berikut dengan akibat-akibat negatifnya, itulah yang mendorong munculnya postmodernisme, yang bukan hanya "menawarkan" suatu cara pandang yang berbeda, tetapi sangat berniat untuk menggeser dan mengganti modernisme. Berikut beberapa prinsip dan asumsi dasar postmodernisme sebagai ganti modernisme.

Kebenaran Obyektif vs. Dekonstruksi

Perhatikanlah dialog singkat berikut ini; orang pertama mengatakan, "Lihat, di sana ada bola dan topi, dan aku menyebutnya bola dan topi sebagaimana yang aku lihat." Orang kedua mengatakan, "Mengapa harus bola dan topi? Kedua benda tersebut bukanlah apa-apa, tetapi keduanya adalah ‘bola dan topi’ setelah kita sepakat menyebutnya demikian." Dalam percakapan ini, orang pertama mewakili modern yang percaya bahwa kebenaran berasal dari hasil pengamatan dan pertimbangan rasio terhadap suatu benda atau hal secara obyektif. Akan tetapi, bagi orang-orang postmodern—yang dalam percakapan di atas diwakili oleh orang kedua—pengungkapan kebenaran seperti yang dilakukan oleh orang pertama adalah suatu hal yang mustahil. Mengapa? Karena bagi postmodernis, "we simply have no access to something called "reality" apart from the way in which we represent that reality in our concepts, language and discourse." Apa yang orang modern sebut sebagai "realita," bagi postmodernis tidak lain adalah konstruksi konsep dan bahasa kita sendiri, sebagai hasil dari pengalaman hidup kita. Salah seorang tokoh postmodern, Richard Rorty, mengatakan bahwa pada dasarnya semua manusia tidak pernah sungguh-sungguh sampai pada apa yang namanya realita, selain daripada apa yang kita sebut sebagai "realita" adalah pemilihan deskripsi kita sendiri di dalam simbol bahasa. Dengan demikian, pengungkapan kebenaran senantiasa diwakili oleh pembentukan (konstruksi) lingustik (bahasa). Cara berpikir postmodernis semacam itu disebut dekonstruksionisme (deconstructionism).

Dekonstruksionisme dipopulerkan yang utama oleh seorang filsuf postmodern dari Perancis bernama Jacques Derrida. Hal utama yang Derrida serang—demikian pula para dekonstruksionis lainnya—adalah klaim modern bahwa pengetahuan merupakan refleksi realita yang akurat, sehingga apa yang orang ketahui diyakini sebagai cerminan sesuatu realita yang sesungguhnya (obyektif). Derrida mencoba untuk menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan sebagai "realita sesuatu yang ada" adalah "bukan apa-apa" atau "tidak ada", dan kalaupun kita dapat menyebutkan sesuatu yang sebenarnya bukan apa-apa atau tidak ada tersebut, hal itu adalah konstruksi bahasa kita sendiri. Setiap orang membentuk realita bagi diri mereka masing-masing di dalam simbol-simbol bahasa. Atau, apa yang Derrida hendak katakan adalah, "what is claimed to be present is really absent and that the given is itself a construction of human discourse." Berangkat dari dekonstruksionisme, dapat disimpulkan bahwa bagi orang-orang postmodern, kebenaran tidak lain adalah hasil pembentukan atau konstruksi, bukan hanya oleh individu tetapi juga merupakan hasil kesepakatan kelompok sosial di dalam wujud bahasa. Jadi bahasa itu sendiri tidak menunjukkan realita secara obyektif. Bahasa digunakan hanya untuk mewakili sesuatu yang hendak kita katakan, tetapi bukan realita itu sendiri (not reality itself).

Salah satu dampak langsung yang dapat dilihat dari dekonstruksionisme adalah, dalam era postmdern apabila kita menuliskan suatu kata atau kata apapun, semuanya harus di dalam tanda kutip, karena kata tersebut bukanlah arti sesungguhnya. Misalnya, untuk menulis kata bola, harus ditulis "bola" dengan dua tanda kutip, karena "bola" hanya mewakili suatu realita yang sesungguhnya kita tidak tahu apa, tetapi karena kita secara pribadi, atau kelompok sosial sepakat menyebut benda bulat itu demikian, yah jadilah benda itu disebut "bola." Tetapi apabila kita bertanya kepada orang postmodern, "Mengapa disebut ‘bola’?" Kurang lebih, ia akan menjawab demikian, "Jangan tanya! Aku (dan kelompok sosialku) sepakat menyebutnya demikian, kalau kamu tidak setuju, silahkan ungkapkan dengan kata lainnya. Jangan memaksa, sebagaimana aku tidak memaksa kamu menyebutnya demikian."

Secara positif, dampak pola pikir dekonstruksionisme memang berbeda dengan modern yang lebih cenderung otoritarian dan totaliter dengan memaksakan, bahkan menindas, pendapat dengan dalih kebenaran yang obyektif hasil pengamatan rasional. Dekonstruksionis tidak akan memaksakan pendapat, sekalipun tidak pula menerima pendapat orang lain. Namun demikian, dekonstruksionisme juga menimbulkan beberapa dampak negatif yang sangat serius, misalnya: hilangnya identitas diri seseorang, tidak adanya relasi yang sejati, tidak ada kepastian moral, dsb. Mengapakah hal-hal tersebut dapat terjadi? Perhatikanlah pemikiran postmodern yang mengakibatkan hal-hal negatif tersebut, dengan berangkat dari pemikiran tentang manusia.

Siapakah manusia? Karena manusia adalah bagian dari hal yang dianggap sebagai realita obyektif, maka ia harus turut didekonstruksi. Tidak seperti orang-orang modern yang sangat yakin dengan pengenalannya tentang manusia, bahkan menganggapnya sebagai homo autonomos, para postmodernis tidak mau memandang manusia secara positif obyektif dan berlebih-lebihan. Mereka lebih melihatnya sebagai bagian dari permainan pembentukan kata oleh kelompok sosial. Tidak ada yang namanya hakekat diri pada manusia. Atau dengan kata lain, kita bukanlah kita sebagaimana adanya, melainkan hasil pembentukan kelompok atau sosial (apa yang diri, kelompok, atau sosial katakan tentang identitas kita, itulah kita). Tidak ada yang namanya "aku yang sesungguhnya" (the real me) atau "hekekat aku" (the essential me) di dalam diri kita. Itu tidak mungkin kita ketahui atau dicapai. Jadi siapakah kita? Kita adalah hasil pembentukan sosial, dan pembentukan tersebut terjadi terus-menerus dan berganti-ganti. Masing-masing individu dapat mengambil macam identitas apapun yang mereka kehendaki. Simaklah apa yang dikatakan oleh Middleton & Walsh tentang jati diri manusia:

"This is a nomadic self, on the road with the carnival….After all, you’re just playing a game of self-construction in the midst of a wide array of such games. This is the carnival. There is another show to put on, there are other worlds to play with, other selves to try on for size."

Karena masyarakt postmodern terdiri dari orang-orang yang identitasnya terus-menerus dibentuk dan berubah, maka akan sulit didapati dalam era postmodern orang-orang yang sungguh-sungguh berkomitmen dalam relasi, atau adanya intimasi. Sebab keduanya membutuhkan paling tidak pengenalan tentang siapa diri kita dan siapa orang yang menjadi lawan relasi kita. Dampak lainnya pula adalah tidak adanya standar moral yang pasti dalam masyarakat postmodern, karena manusianya sebagai pencetus hal tersebut terus-menerus berubah. Itu sebabnya, bagi orang-orang postmodern dalam urusan moral yang terpenting bukanlah isi atau content dari suatu keputusan moral (sebagai hasil pertimbangan terhadap beberapa pilihan tindakan yang lebih bertanggung jawab), melainkan the act of choosing itself. Bukan kebenaran obyektif suatu tindakan moral yang mesti kita pusingkan, melainkan kebebasan kita untuk memilih suatu tindakan moral yang harus lebih dipentingkan. Contohnya, secara ekstrim dapat terjadi seperti berikut: pada waktu kita berhenti dipersimpangan jalan karena lampu merah, saat itu kita berhenti karena diharuskan (misalnya, oleh ajaran agama atau peraturan pemerintah) ataukah karena kita bebas memilih (punya lebih dari satu pilihan)? Bagi orang postmodern, haruslah karena kebebasan. Artinya, kalaupun seseorang memilih untuk tidak berhenti, maka pilihan tersebut sama benarnya dengan orang yang memilih untuk berhenti, yang penting tidak ada paksaan. Benar-benar sebuah dunia yang tak berwujud (de-construction)!

Kebenaran Mutlak dan Universal vs. Relativisme Radikal

Di samping menolak kebenaran obyektif, postmodern juga tidak mempercayai adanya kebenaran mutlak dan universal. Terlepas dari adanya kontradiksi dalam pernyataan postmodernis itu sendiri (secara tidak sadar pernyataan mereka sifatnya mutlak dan diuniversalkan juga), maksud mereka adalah, mereka menolak apabila satu kebenaran hasil pertimbangan rasio terhadap realita yang ada dijadikan sebagai satu-satunya kebenaran yang universal (berlaku bagi semua orang). Postmodernis menilai bahwa ketergantungan pada akal—sebagaimana diajarkan oleh modernisme—telah terbukti gagal dalam mengatasi seluruh kompleksitas problema hidup manusia. Karena itu, untuk mendapatkan kebenaran bagi kebutuhan umat manusia harus dibuka pintu selebar mungkin bagi sebanyak mungkin metode atau cara. Tetapi, berbagai metode tersebut bukan untuk diintegrasikan atau disimpulkan menjadi satu kebenaran, melainkan tetap saja dibiarkan berbeda, sebab pada dasarnya tidak ada kesepakatan universal tentang apa yang benar. Artinya, kita harus membiarkan masing-masing orang atau kelompok sosial untuk menemukan kebenaran dengan caranya sendiri. Postmodernis tidak mencari kebenaran yang mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik (beraneka ragam) dan relatif secara radikal. John Cooper mengatakan,

"Post-modernism denies Enlightenment maxim that reason and truth are everywhere and always the same. It rejects the claim that science yields the truest picture of reality. Science is one valid way to interpreting the world, but the many spiritual, mythical, and aesthetic representations are equally legitimate. Instead of lamenting the failure of reason, post-modernists celebrates the diversity of ways in which we humans experience reality and the numerous perspective from which we do so."

Dengan relativisme radikal, postmodern mengajarkan kepada kita agar mentoleransi dan menghargai semua pandangan indvidu atau kelompok tentang kebenaran. Klaim tentang kebenaran yang bersifat tunggal, mutlak, dan universal bukan hanya dinilai salah, tetapi juga menyatakan kesombongan dan bersifat sangat berbahaya; "they are a form of intellectual imperialism that can lead to actual oppression of those whose belief differ." Karena itu kita harus dapat menghargai dan menerima keabsahan semua sudut pandang, entah itu tradisional, kontemporer, dikenal banyak orang, maupun asing. Semuanya dianggap memiliki perspektif masing-masing. Masing-masing melihat kebenaran berdasarkan cara pandang mereka sendiri, dan karenanya tidak perlulah kita mencari pandangan siapa lebih benar, atau bahkan yang paling benar. Semuanya dianggap benar dan sah. Sebagai contoh, bagi orang-orang postmodern sama sahnya orang yang percaya bahwa dunia diciptakan Allah, dengan konsep tradisional bahwa dunia berasal dari telur kura-kura raksasa. Demikian pula, tidak usah diharuskan orang yang sakit meminum obat apabila ia yakin dengan ramuan daun-daunan atau menyembah patung dapat menyembuhkannya.

Dari kaca mata positif, pandangan relativisme radikal postmodern cukup menarik bagi masyarakat sekarang ini, sebab konsep tersebut bukan hanya mengakui aneka ragam sudut pandang, tetapi juga memberikan semacam spirit untuk toleransi secara menyeluruh, menghormati, dan menerima kebenaran orang lain sebagaimana adanya. Karena itu tidak heran jikalau dalam kelahiran era postmodern ini, berbagai pandangan tentang kebenaran yang dulu diabaikan, sekarang mulai dibiarkan bersuara, misalnya, kebenaran orang-orang suku pedalaman, seperti suku aborigin.

Namun demikian, sama seperti dekonstruksionisme yang mengandung konsekuensi negatif, relativisme radikal juga mengandung dampak negatif yang tidak dapat disepelekan. Apabila dekonstruksionisme mengaburkan wujud dunia nyata/obyektif dengan permainan kata atau bahasa, maka relativisme radikal melumpuhkan klaim-klaim kebenaran yang mencoba untuk menjadi universal. Itu sebabnya, bidang-bidang kehidupan seperti pendidikan akademik, moral, dan agama, yang sarat dengan pernyataan universal adalah yang terutama terimbas oleh relativisme radikal-nya postmodern. Pendidikan akademik tidak lagi dipandang sebagai wadah yang mengajarkan pengetahuan dengan satu kebenaran mutlak untuk setiap disiplin ilmu, melainkan ia menjadi semacam marketplace yang menawarkan berbagai sistem kebenaran yang dapat dikonsumsi secara bebas oleh setiap pelajar. Tidak ada keharusan bagi seorang pengajar untuk mengajarkan suatu kebenaran, dan sebaliknya tidak ada keharusan bagi seorang pelajar untuk menerima suatu kebenaran yang diajarkan. Sebab pertanyaan bagi seorang pengajar dan pelajar bukan lagi, "Is it true?" tetapi "what use is it?" dan "how much is it worth?" Dampak lainnya bagi pendidikan akademik adalah tidak adanya bentuk atau metode pengajaran yang pasti, sebab postmodernis memang sengaja tidak membatasi pendidikan dengan suatu metode yang mutlak. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa postmodernis membiarkan pendidikan berjalan secara bebas, tanpa pola atau bentuk yang baku.

Dalam segi moral, relativisme radikal telah menyebabkan moral chaos, sebab semua pertimbangan moral dikembalikan kepada individu atau kelompok. Tidak ada prinsip dan nilai kebenaran moral secara universal dan mutlak. Bahkan dalam suatu ruang lingkup yang sangat sempit, seperti keluarga, keputusan moral harus dapat dikembalikan pada masing-masing individu. Sedangkan dampak relativisme radikal bagi agama adalah bahwa agama tidak lagi dipandang sebagai sebuah pengajaran secara mutlak tentang apa yang benar dan salah, tetapi ia semata-mata dinilai hanya sebagai pilihan atau alternatif pengajaran untuk diikuti atau tidak, disukai atau tidak. Gene Veith mengatakan,

"Today religion is not seen as a set of beliefs abut what is real and what is not. Rahater, religion is seen as apreference, a choice. We believe in what we like. We believe what we want to believe. …Where there are no absolute truths, the intellect gives over to the will. Aesthetic criteria replace rational criteria."

Dengan demikian, bagi orang postmodernis beragama tidak bersangkut paut dengan soal kepercayaan atau keyakinan, melainkan lebih berkait dengan dorongan untuk memilih yang satu dan tidak yang lain; menyukai yang satu dan menolak yang lain, karena alasan dan kepentingan yang sangat bersifat subyektif. Akan tetapi pilihan tersebut sewaktu-waktu dapat berubah, sebab memang tidak ada yang mutlak dan universal!

Postmodernisme dan Kekristenan

Pada bagian ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk melihat beberapa problema yang ditimbulkan oleh postmodernisme bagi Kekristenan. Pembahasan di sini tidak akan sampai pada tahap menetapkan strategi dalam berapologetika terhadap postmodernisme, sebab menurut penulis topik tersebut membutuhkan pembahasan tersendiri. Apa yang penulis akan ungkapkan dalam bagian ini adalah sebatas lontaran permasalahan dan tantangan yang ditimbulkan oleh postmodern, yang dapat menjadi bahan pemikiran lebih lanjut untuk dicermati dan diwaspadai oleh umat Kristen.

Bukan Hal Baru bagi Kekristenan?

Berangkat dari sudut pandang iman Kristen, dapat dikatakan bahwa postmodern bukanlah tantangan baru bagi gereja. Pengkhotbah dalam kitabnya mengatakan, "…tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru!"? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada" (Pkh. 1:9-10). Dosa, ketidakpercayaan, dan pemberontakan terhadap Allah merupakan akar permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh gereja, meskipun wujudnya tidak selalu sama.

Runtuhnya modernisme dan munculnya postmodernisme telah mendapat gambaran yang jelas sebelumnya di dalam Alkitab, yaitu pada peristiwa menara Babel (Kej. 11:1-9). Dapat dilihat bahwa impian dan keyakinan orang-orang modern tentang kemajuan dan kemandirian paralel dengan orang-orang yang membangun menara Babel. Sebagaimana orang-orang di Babel bergantung pada kemampuan dan ketrampilan manusia, akal budi mereka, dan pengetahuan mereka, demikian pula halnya dengan spirit modern. Orang-orang di Babel ingin menyatukan seluruh penghuni dunia saat itu, orang-orang modern memimpikan tercapainya masyarakat yang satu, makmur, dan maju. Orang-orang di Babel mendirikan bangunan dengan batasan langit (Kej. 11:4), demikian pula orang-orang modern beranggapan bahwa tidak ada yang dapat menghalangi kemajuan yang akan dicapai oleh mereka. Akan tetapi, sama juga halnya menara Babel tidak pernah terselesaikan dan orang-orangnya tercerai berai, demikian pula "bangunan" modern terhenti di tengah jalan dan banyak orang mulai meninggalkan spirit modern. Maka muncullah postmodern dengan dekonstruksi dan relativisme radikalnya, yang tidak lain paralel dengan kondisi setelah orang-orang di Babel dicerai-beraikan oleh Allah. Hanya saja, apabila Alkitab tidak menguraikan secara detil kondisi manusia setelah diserakkan oleh Allah, postmodern memberikan gambaran tentang situasi setelah modern dengan sangat jelas. Middleton & Walsh mengatakan sbb:

"The cultural unity of the tower of Babel is replaced by the culture wars of the post-Babel situation. But unlike the sense of tragedy that the biblical story conveys in the post-Babel situation, our postmodern context is populated by deconstructionists and others celebrating the confusion. …The deconstructive therapy, combined with the failure of modernity to deliver on its promises progress, has irretrievably changed our world."

Tantangan bagi Kekristenan

Di satu pihak, munculnya postmodern telah memberikan kesempatan bagi Kekristenan untuk diperhitungkan kembali. Thomas Oden bahkan melihat secara optimistik bahwa di dalam era postmodern, Kekristenan bisa mendapatkan kembali kredibilitasnya. Mengapa demikian? Sebab tidak sama seperti modernisme yang terus-menerus mengikis dan memojokkan sedikit demi sedikit kebenaran iman Kristen, postmodernisme dengan relativisme radikalnya justru mengakui kebenaran yang terdapat di dalam Kekristenan, sebagaimana kebenaran-kebenaran yang lain juga ditoleransi oleh postmodernis. Akan tetapi, di lain pihak, postmodernisme juga menimbulkan tantangan yang tidak mudah bagi Kekristenan, bahkan lebih berbahaya ketimbang modernisme. Tidak seperti modernisme yang menyerang secara terang-terangan terhadap Kekristenan, dan membuat batasan yang jelas antara hitam dan putih (kebenaran dan bukan), postmodern mengambangkan dan melumpuhkan klaim kebenaran iman Kristen, bahkan antara kebenaran dengan yang bukan kebenaran dibuat menjadi kabur. John Cooper mengatakan bahwa postmodernisme, "Instead of attacking, it trivializes. Instead of rejecting Christianity as false, it grants relative truth. The faith is true for Christians but not necessarily for anyone else."

Mari kita melihat secara lebih jelas beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh postmodern bagi Kekristenan—dengan tetap mengacu pada dekonstruksionisme dan relativisme radikal—di dalam tiga bidang utama, yaitu pemberitaan Injil, pemberitaan firman atau pengajaran kebenaran, dan moral-etika.

Tantangan bagi Pemberitaan Injil

Postmodernis akan secara terang-terangan menolak pemberitaan Injil sebab membawa spirit yang tidak jauh berbeda dengan modernisme. Pemberita Injil percaya pada kebenaran obyektif (wahyu Allah bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat) dan kebenaran mutlak-universal (Yesuslah satu-satunya Juruselamat umat manusia), hal mana keduanya sangat ditentang oleh postmodern. Bagi orang-orang postmodern, pernyataan "Yesuslah Juruselamat umat manusia," tidak mungkin dibuktikan obyektifitasnya. Kalimat tersebut hanyalah simbol bahasa (permainan kata) yang kebenarannya diungkapkan dan dipercayai oleh sekolompok umat Kristen, karena itu tidak dapat dimutlakkan, apalagi diuniversalkan. Alister McGrath mengatakan,

"All belief-systems are to be regarded as equally plausible. Something is true if it is true for me. Christianity has become acceptable, because it is believed to be true by some—not because it is true."

Postmodern juga tidak memandang perlu bagi seseorang untuk bertobat dari dosa. Sebab realita dosa sendiri bagi orang-orang postmodern adalah hal yang kabur. Hal itu juga merupakan ungkapan simbolik dari sekelompok orang tertentu saja, yang tidak harus dipastikan kebenarannya. Lagipula kebutuhan manusia yang utama bukan hanya bertobat dari dosa, demikian pandangan postmodern. Untuk apa kita menekankan pertobatan, tetapi pada akhirnya menimbulkan penindasan dan penyingkiran kebutuhan kelompok-kelompok lain?

Tantangan bagi Penyampaian Firman

Penulis melihat paling tidak ada empat tantangan dalam penyampaian Firman atau pengajaran kebenaran yang ditimbulkan baik oleh dekonstruksionsime maupun relativisme radikal. Keempat hal tersebut adalah sbb:

presentasi sebagai ganti esensi
Berdasarkan dekonstruksionisme, orang-orang postmodern tidak mencari esensi, karena memang tidak akan pernah dapat diketahui secara pasti. Karena itu bagi mereka, dalam penyampaian firman atau pengajaran yang penting adalah presentasinya, atau actingnya, atau penyampaian hal-hal yang dipermukaan saja dan bukan substansinya atau yang hakiki.

tafsir alternatif sebagai ganti dogma
Postmodernis Kristen menilai bahwa Kekristenan terlalu menekankan keterikatan pada dogma-dogma hasil perumusan gereja abad-abad awal di Barat. Karena itu tidak heran apabila belakangan ini muncul dobrakan terhadap "keangkuhan" dogma-dogma gereja. Misalnya, munculnya teologi pembebasan yang menilai bahwa Kekristenan telah bersifat terlalu berpusat pada Barat dan tidak praktis. Sedangkan para feminis melihat bahwa sifat paternalistik terlalu dominan dalam teologi Kristen. Demikian pula munculnya teologi hitam (black theology) adalah untuk memberikan alternatif bagi teologi yang dinilai tidak menyentuh kehidupan mereka. Munculnya gerakan-gerakan tersebut pada awal dekade 70-an, bagi Hans Kung—seorang teolog Katholik dari Jerman—memperjelas ciri-ciri postmodernisme yang menekankan pluralitas, polisentris, praksis, fungsional, dan pembebasan.

ortopraksis sebagai ganti ortodoksi
Pengajaran yang bersifat praktis (ortopraksis) pada dasarnya memang senantiasa dituntut dari suatu ajaran, termasuk dalam agama Kristen. Merupakan hal yang wajar apabila seseorang merasa enggan untuk mempelajari sebuah sistem pengajaran (ortodoksi) yang tidak bersentuhan dengan realita sehari-hari. Keduanya memang harus seimbang. Akan tetapi dalam era postmodern, ortopraksis jauh lebih ditekankan ketimbang ortodoksi, bahkan kalau bisa ortodoksi dibuang saja. Dapatkah anda menduga mengapa? Dalam postmodern, lantaran kebenaran ditawarkan seperti dalam sebuah pasar bebas (lihat salah satu dampak relativisme radikal di atas), maka untuk mengkonsumsi suatu kebenaran yang orang (postmodern) tanyakan melulu "apa fungsinya untuk saya?;" "apa untungnya saya memegang suatu ajaran tertentu?"

Sebagai contoh, saat kita mengajarkan bahwa "Yesus adalah Tuhan," tidak perlu dipusingkan tentang keilahian dan kemanusiaan-Nya, diri-Nya sebagai pribadi kedua Allah Tritunggal, mengapa lahir dari anak dara Maria, kebangkitan-Nya, dsb. Yang penting, Yesus yang kita percaya menyembuhkan atau tidak? Memberikan kelegaan atau tidak? Menguatkan perasaan kita atau tidak? Tuntutan ortopraksis secara ekstrim ini menyebabkan terbukannya pluralitas bagi ajaran tentang Kristus secara ekstrim. Karena penekanan sekedar pada fungsi, maka seseorang tidak usah memikirkan apakah "Yesus" yang dipercaya adalah Yesus hasil konseptualisasinya orang Timur Tengah, Afrika, Jerman, Amerika Latin, bahkan Yesusnya kaum feminis! Yang penting, praktis atau tidak? Berfungsi atau tidak? Pertanyaan yang sama juga berlaku bagi doktrin-doktrin gereja lainnya.

produksi makna sebagai ganti obyektifitas penafsiran
Pengaruh dekonstruksionisme yang paling dirasakan bagi Kekristenan adalah dalam bidang penafsiran (ilmu tafsir atau hermeneutika). Sebab penafsiran berhubungan erat dengan penggunaan bahasa, hal mana menjadi penekanan utama dekonstruksionisme. Hans Georg Gadamer, salah seorang tokoh hermenutik postmodern, sedikitnya mengusulkan empat hal bagi penafsiran: (i) dihapuskannya segala bentuk metode pendekatan dalam penafsiran. Kebenaran akan diperoleh apabila batas-batas metodologi dilampaui, dan dengan membiarkan tiap orang menemukan kebenarannya sendiri; (ii) dalam menafsirkan teks seseorang boleh, bahkan harus, membiarkan prasangkanya ikut berperan. Berita sebuah teks semata-mata bukan dari teks, melainkan peleburan antara teks dengan prasangka kita; (iii) tidak pernah ada pemahaman hasil penafsiran yang bersifat obyektif, sebab pemahaman selalu berkaitan dengan keadaan di mana kita berada, kapan, dan dalam kondisi bagaimana; (iv) seorang penafsir harus senantiasa terbuka terhadap "pengalaman baru," dan tidak terikat pada kebenaran yang bersifat statis dan dogmatik. Sebab pada dasarnya prediksi dan prasangka kita bersifat sangat terbatas, karena itu harus membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran lain.

Berangkat dari hermeneutiknya Gadamer, atau para postmodernis lainnya, kita dapat membayangkan bahwa di dalam gereja tidak akan penah didapati kebenaran yang mutlak dan universal. Dogma gereja tidak akan pernah tetap, melainkan terus berubaha berita ajarannya. Hermeneutik postmodern memang mencoba untuk kontekstual, tetapi dengan mengorbankan kebenaran yang berasal dari wahyu Allah. Namun bagi postmodernis tidak ada istilah "mengorbankan," sebab memang tidak ada kebenaran yang sungguh-sungguh benar (obyektif) dan mutlak (bagi mereka!).



Tantangan bagi Ajaran Moral-Etika

Postmodern juga ditandai dengan runtuhnya nilai-nilai moral. Lantaran tidak ada obyektifitas kebenaran tentang apa yang baik dan yang jahat, maka dalam tindakan moral yang mereka tekankan bukan apa yang benar atau salah, melainkan dasar pertimbangannya adalah hal-hal yang sangat praktis dan subyektif. Misalnya, dalam kasus euthanasia (mengakhiri hidup sebelum waktunya), pertimbangan bagi postmodernis adalah bukan lagi nilai kehidupan manusia (hal yang sangat tidak praktis), melainkan soal ongkos, efektifitas pengobatan, senang atau tidaknya seseorang, kuat atau tidaknya orang yang menderita, dsb. Demikian pula dalam kasus aborsi, tidak perlu lagi dipusingkan soal dogma gereja (walaupun orang yang mempercayainyapun tidak salah), namun hal-hal yang praktis. Dengan kata lain, orang yang berpegang teguh pada dogma gereja dalam mendekati kasus euthanasia atau aborsi, adalah termasuk salah satu sudut pandang saja, di antara sekian banyak sudut pandang, dan bukan satu-satunya yang benar, yang harus dipaksakan kepada semua orang untuk menerimanya. Mereka yang berpegang pada dogma gereja sama benarnya dengan mereka yang mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan ekonomis semata. Dengan demikian, apa yang menjadi tantangan postmodern bagi gereja masa sekarang (dan yang akan datang) bukan hanya perilaku yang immoral, melainkan hilangnya kriteria tentang moral, seperti yang dikatakan oleh Gene Veith dalam bukunya Postmodern Times, "What we have today is not only immoral behavior, but a loss of moral criteria. This is true even in the church. We face not only a moral collapse but a collapse of meaning."

Kesimpulan

Ibarat sebuah kapal, modernisme dengan spirit of progress-nya telah membawa kita kepada sebuah pulau impian. Namun ternyata pulau itu penuh kekejaman dan kebohongan. Postmodernisme mencoba untuk mengembalikan kapal ke tengah lautan, namun sesampainya di tengah lautan, kita dibiarkan terombang-ambing tanpa peralatan navigasi dan arah yang jelas. Ibarat sebuah bangunan, modernisme berfondasikan rasio, iptek, dan ekonomi, telah membawa kita pada sebuah bangunan megah dengan tidak ada yang menjadi batasan selain langit sendiri. Tetapi sesampainya kita pada lantai teratas, kita baru sadar bahwa bangunan tersebut turut didirikan dengan jutaan nyawa manusia yang menjadi korbannya. Postmodern mencoba untuk menarik keluar semua manusia dari gedung tersebut, dan membiarkan manusia terserak tanpa arah. Barangkali itulah dua gambaran singkat yang bisa meluksikan masa transisi yang sekarang sedang terjadi, dari modern menuju postmodern.

Postmodern pada dasarnya adalah kontra-modernisme, meskipun bukan anti-modernisasi. Modernisme menekankan pada obyektifitas, postmodernisme menekankan ketiadaan wujud segala sesuatu; modernisme menekankan kebenaran hasil pemikiran rasional, postmodernisme menekankan permainan kata; modernisme menekankan pada universalitas kebenaran, postmodernisme menekankan pluralitas kebenaran; modernisme menekankan pada kepastian, postmodernisme pada ketidakpastian, dst. Keduanya memiliki baik segi positif maupun negatif. Perbedaan dalam segi negatif, apabila modernisme menampakkan pengajaran tentang kebenaran yang berbeda dengan Kekristenan secara jelas, maka postmodernisme mengaburkan dan melumpuhkan perbedaan pandangan serta klaim kebenaran.

Dalam pikiran penulis secara pribadi pernah muncul sebuah pertanyaan, yang barangkali juga ditanyakan oleh pembaca selama mengikuti tulisan ini, yaitu: apakah era dan budaya postmodern benar-benar akan terjadi dalam kehidupan umat manusia? Rasanya mustahil bahwa postmodern akan menggesar modern yang sudah begitu mapan. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa pertanyaan yang mirip juga dipertanyakan oleh orang-orang pada abad pertengahan, ketika era modern baru memunculkan dirinya. Itulah sebabnya, sebagai umat Kristen yang senantiasa mendapatkan serangan dari berbagai pihak, lebih baik kita mewaspadai munculnya era baru ini (postmodern) ketimbang kita ketinggalan dan cuma jadi penonton yang tak dapat berbuat apa-apa bagi Kekristenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar