Selasa, Maret 31, 2009

Respect

KEHORMATAN TIDAK DICARI TAPI DATANG SENDIRI
Lukas 14:11

Pembacaan Alkitab ini merupakan bagian klimaks sebuah perumpamaan yang diberikan Tuhan Yesus. Idenya berasal dari kecenderungan orang-orang yang berusaha mencari tempat terhormat ketika ada dalam perkumpulan dengan orang lain. Konteks perumpamaan mengambil latar kebiasaan jamuan makan ala Yahudi. Dalam jamuan makan tersebut disediakan sebuah meja besar dan panjang dengan kursi-kursi di sekeliling meja. Ada satu kursi yang akan diletakkan di kepala meja sebagai satu-satunya kursi kehormatan. Artinya orang yang mendudukinya hanyalah mereka yang masuk dalam kategori terhormat, jadi ini kursi khusus. Ternyata orang-orang Yahudi memiliki kecenderungan untuk menjadikan kursi tersebut sebagai cara atau alat memperoleh kehormatan.
Tuhan Yesus pada beberapa tempat memberikan kecaman tegas kepada kaum Yahudi perihal kecenderungan tersebut, misalnya saja: Mat. 23:6; Luk. 20:46. Alasannya sederhana: “sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Apabila diperhatikan dengan lebih detail, akan ditemukan beberapa unsur pentingnya. Pertama, unsur konsekuensi. Artinya apabila seseorang memang terhormat, maka ia akan diperlakukan dengan penuh rasa hormat; sebaliknya, apabila seseorang tersebut adalah warga kelas biasa, maka demikianlah ia akan diperlakukan. Kedua, unsur pengakuan. Artinya dihormatinya seseorang atau tidak akan datang dari pengakuan orang lain terhadapnya. Misalnya: Roma Irama dijuluki sebagai Raja Dangdut. Julukan sebagai raja dangdut datang dari orang-orang di sekitar yang memang memberikan pengakuan tersebut. Ketiga, unsur relative. Artinya diakuinya seseorang dalam kapasitas terhormat akan berbeda menurut sudut pandang orang yang lain. Misalnya: Yesus diakui sebagai Mesias oleh Petrus, tetapi orang-orang Yahudi melihat Yesus hanya sebagai Nabi saja.
Jika demikian, bagaimanakah seharusnya kita sebagai orang percaya dalam bersikap agar layak mendapat posisi terhormat? Dari perumpamaan yang Tuhan Yesus berikan beberapa hal penting harus kita perhatikan dan lakoni. Pertama, Tampillah apa adanya. Pada ayat 8-9, Yesus berkata: “Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah.” Perhatikanlah bahwa kehormatan itu ternyata bukan datang dari bagaimana kita menilai, tetapi dari penilaian orang lain. Jadi bersikaplah apa adanya, tampilkanlah diri kita apa adanya, jangan dilebih-lebihkan atau juga jangan dikecil-kecilkan. Pada akhirnya orang lain adalah penilai yang paling baik. Paling tidak, dalam konteks ini, kita tidak mendapat malu ketika harus dipindahkan di tempat yang tidak terhormat.
Kedua, Nantikanlah Penghormatan itu. Pada ayat 10, Yesus berkata: “Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain.” Bangunlah diri kita semaksimal mungkin menurut kapasitas maksimal yang telah Tuhan taruhkan atas diri kita, jadilah berharga tanpa harus menunggu penghargaan itu datang, sebab penghargaan itu akan datang seiring dengan perlakuan hormat kita atas diri kita.
Dalam rumah tangga, sebagai seorang bapak yang sudah sering disebut juga sebagai kepala keluarga, tak pelak penghormatan telah diberikan oleh istri atau anak dalam bentuk perhatian, pelayanan atau minimal sebuah pengakuan bahwa seorang bapak juga sebagai pengambil keputusan dalam berbagai masalah rumah tangga. Marilah tetap berusaha membangun diri semaksimal mungkin sehingga penghormatan itu pantas kita terima dan akhirnya memberi teladan bagi keluarga serta memberi pengaruh yang positif bagi orang-orang di sekitar kita, dalam pelayanan dan pekerjaan, bahkan bagi orang-orang yang (misalnya: secara struktur pekerjaan) lebih tinggi dari kita atau lebih dalam berbagai hal.

Senin, Maret 30, 2009


Yesus Segala-galanya …
Kolose 1:13 – 20



Minggu-minggu ini tergolong sebagai minggu pra-paska, kurang lebih 20 hari lagi kita memperingati paska. Paska adalah perayaan terpenting dalam tahun liturgy Kristen. Paska menjadi penting karena dititik itulah Yesus bangkit dan menjadi suatu propaganda kemenangan Allah atas dosa dan maut. Sehingga membicarakan paska berarti membicarakan Yesus Kristus, Tuhan kita, dan memang Yesus Kristus adalah pribadi yang sangat menarik untuk dibicarakan.
Beberapa tahun belakangan ini paska menjadi lebih menarik dan seru akibat munculnya penemuan-penemuan baru perihal Yesus. Misalnya saja: The Da Vinci Code, Injil Barnabas, Injil Thomas, Injil Yudas, Injil Maria Magdalena. Sebenarnya masih banyak lagi temuan-temuan yang lainnya yang mencoba melihat sisi lain dari Yesus. Misalnya penemuan makam keluarga Yesus, bukti pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena, dll.
Di atas semuanya itu, ada upaya sistematis bahkan dari kalangan teolog yang berupaya mencapai popularitas dengan cara menyimpangkan pemahaman mengenai Yesus yang benar. Jelas saya akan menjadi pembicara popular apabila saat ini menulis dengan judul: Yesus bukan Tuhan, tetapi itu berarti menutup semua kebenaran sejati tentang Yesus yang adalah segala-galanya. Oleh karena itu, renungan ini berjudul: Yesus Segala-galanya…
Rasul Paulus adalah salah seorang yang erat hubungannya dengan Yesus, sehingga pemaparannya tentang Yesus adalah paparan berharga dan layak dipercayai. Paulus menulis banyak perihal Yesus dan salah satu diantaranya ada dalam Kolose 1:13-20. Harapannya satu, supaya kita tetap menjadikan Yesus sebagai yang pertama dan satu-satunya dalam hidup kita. Yesus adalah penampilan/penyataan diri yang paling jelas dari Allah, sebab Ia adalah Allah sendiri.

Yesus adalah Allah yang Menyediakan
Dunia telah menjadi alat yang efektif bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Lihatlah produk yang banyak dijual dipasaran, mulai dari yang sifatnya primer sampai tersier. Dampaknya adalah hidup manusia menjadi sedemikian mudahnya. Untuk mengganti siaran tv saja sudah tidak perlu lagi menekan panel chanel tv, cukup menekan remote dari sofa empuk. Untuk menyeduh teh atau kopi, tidak perlu merebus air, cukup tekan tombol on pada dispenser.
Seorang bapak gereja pernah berujar:”Tuhan telah menciptakan hati manusia sedikit lebih besar dari dunia, sehingga ketika seluruh dunia dimasukan dalam hati maka masih tersedia ruang kosong dalam hatinya. Artinya apapun produk yang diciptakan dunia, tetap tidak akan mampu memuaskan segala kebutuhan manusia. Manusia memerlukan Yesus, karena hanya Yesuslah yang sanggup menyediakan segala kebutuhan manusia. Ia adalah Allah yang menyediakan kelepasan dari kegelapan, memindahkan kita dalam kerajaan-Nya serta menyediakan penebusan atas dosa kita (ay. 13-14).
Yesus secara tuntas mengerjakannya bagi kita. Ia telah mengeluarkan dan menyelamatkan kita dari kuasa kerajaan kegelapan. Kegelapan menyebabkan semuanya menjadi tidak terlihat, sehingga kita dengan nyamannya mandi di tengah kubangan kotoran. Kegelapan menyebabkan semuanya berjalan lambat, sehingga kita letih berjalan namun tidak pernah mencapai tujuan hidup sebenarnya. Kegelapan menyebabkan ketidak tepatan, sehingga berkat-berkat Allah gagal menjadi milik kita. Perhatikanlah betapa ruginya hidup dalam kegelapan itu. Jangan biarkan kenyamanan sementara dalam kegelapan menjauhkan hidup mulia yang seharusnya menjadi hak kita.
Kematian-Nya di kayu salib telah mengerjakan semua penebusan yang diharuskan di hadapan Allah. Ia telah menjadi pengganti, pemuas, penyelesai, penyempurna, dan itu tuntas. Sembari berkata “sudah selesai” demikianlah Ia tuntas mengerjakan semuanya bagi kita. Dosa yang dimulai dari Adam sampai dosa yang akan masih muncul nantinya semuanya telah dibayarkan lunas. Ia membayarnya dengan harga yang paling mahal, penawaran tertinggi sampai-sampai Bapa sendiri tidak dapat membantahnya. Dengan demikian Yesus telah menyediakan suatu hubungan baru dengan Allah, kehidupan dalam kualitas baru, masa depan dalam kerajaan yang baru, yaitu kerajaan Allah. Semuanya telah tersedia di dalam Dia, jadi selamat menikmati.

Yesus adalah Allah yang tak terbantahkan
Banyak sekali sanggahan terhadap keilahian Yesus, bahkan sampai sekarang pun masih terus bermunculan buku-buku yang meragukan ke-Allahan-Nya. Keraguan datang mulai dari kalangan akademisi sampai kelas buta huruf, dari kaum religi sampai abangan, dari penguasa sampai jelata, dari sana sampai sini.
Paulus sangat menyadari polemik ini. Sejak awal ia sudah memberikan apologi perihal keilahian Yesus. Baik dari penalarannya sampai pengalamannya, dari khotbahnya sampai percakapan hariannya, dari saat kerja sampai beristirahat, dari perjalanan sampai pemenjaraannya, dari tobatnya sampai matinya, dari sana sampai sini.
Saat ini mari kita telusuri salah satu apologi Paulus dalam ayat 15-17. Paulus menulis bahwa “Ia adalah”, sebuah aklamasi dan affirmasi bahwa hanya Yesus saja, tidak ada yang lain, tidak ada duanya, hanya satu-satunya dan tak tergantikan yang sesunguhnya image Allah. Melihat Yesus berarti melihat Allah, berjumpa Yesus berarti berjumpa Allah, mempercayai Yesus berarti mempercayai Allah; kontrasnya, menolak Yesus berarti menolak Allah. Ini bukan saja hasil dari penelusuran nalar terhadap ungkapan “Ia adalah” tetapi menjadi landasan iman yang telah diteruskan dan diturunkan berabad-abad, bahkan jutaan nyawa telah hilang untuk mempertahankan kebenaran ini. Semakin banyak pihak yang meragukan bahwa Yesus adalah Allah, Ia [tetap] adalah Allah.
Dunia berusaha untuk menutupi kebenaran ini, karena illah dunia adalah berhala. Orang-orang yang menolak kebenaran bahwa Yesus adalah Allah sesungguhnya sedang berjuang melawan Allah, menjadi musuh Allah dan mereka adalah sekutu antichrist. Sejarah dunia menjadi bukti bahwa Ia adalah Allah, bukankah sejarah adalah cerita tentang Allah, His-Story. Dunia berupaya untuk menggagalkan kebenaran ini karena dunia sedang ada dalam perjanjian kenikmatan sesaat yang ditawarkan setan. Dunia hanya melihat kesementaraan tetapi kebenaran melihat keabadian. Kebenaran itu adalah Allah. Allah sungguh-sungguh nyata hanya dalam Yesus saja.

Yesus adalah Allah sumber Pengharapan
Semua orang-orang hebat berakhir dalam kematian, gelap, sendiri, terpisah, tidak produktif dan mungkin sia-sia. Sungguh jauh berbeda dengan kematian Kristus. Kematian yang justru mendatangkan kehidupan. Hidup bagi diri-Nya tetapi juga hidup bagi mereka yang mempercayai-Nya. Hidup bukan hanya dalam ide, symbol, gambaran, cita-cita, tetapi hidup yang sempurna. Seperti sebuah puzzle yang selesai penuh terisi. Hidup dalam segala kesempurnaan dan kepenuhan Allah. Pertanyaannya adalah bagaimana Yesus dapat menang atas dosa semua umat manusia?
Mari memahaminya dengan penggambaran kemenangan Daud. Daud, pemuda biasa yang malah tidak pernah masuk dalam dinas militer. Pada saat tentara Israel dipermalukan oleh Goliat dan tentara Filistin. Ia pun maju menyerang goliat, mengalahkannya dengan batu dan umbannya, memenggal kepalanya, mengalahkannya. Ya, hanya satu orang Goliat, tetapi sekembalinya ke kota ia dielu-elukan dengan ungkapan: “Saul membunuh beribu-ribu, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Dari mana hitungnya? Bukankah Daud hanya membunuh Goliat saja, sedangkan Saul dan pasukannya membunuh para prajurit Filistin yang lain. Perhatikanlah bahwa Daud telah dengan sempurna mengalahkan sumber ketakutan dari tentara Israel, yaitu Goliat.
Yesus pun telah mengalahkan musuh utama manusia, yang menyebabkan keterpisahan dengan Allah, yaitu dosa. Kematian-Nya mendatangkan kehidupan bagi dunia dalam hubungan baru dengan Allah. Yesus telah mengerjakan semuanya secara sempurna mulai dari via dolo rosa sampai ke puncak bukit tengkorak. Musuh utama telah dikalahkan oleh Yesus, kalaupun kita berbuat amal dan kebaikan, puasa dan menahan nafsu, bahkan mematikan raga sendiri sekalipun, itu tidak menyelesaikan masalah utama yaitu dosa. Hanya Yesuslah yang telah berhasil mengalahkan permasalahan utama antara manusia dengan Allah. Jadi seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam diri-Nya.
Hasilnya adalah kita memperoleh pengharapan baru. Pengharapan untuk akses hidup dalam hubungan damai dengan Allah. Bahkan dunia yang tercemar pun berkenan untuk masuk dalam jalan damai tersebut. Layaknya sebuah permainan musik Jazz, demikianlah masing-masing kita hidup dalam kepelbagaian peran dan memainkan beragam fungsi, tetapi terdengar sebagai sebuah simfoni yang indah, karena Yesus telah membuat harmonisasi hubungan yang indah dan damai. Semuanya telah berdamai di dalam Dia. Berdamai dengan diri sendiri, pasangan, keluarga, masa lalu, pekerjaan, cita-cita, masa depan. Ya semua telah didamaikan dalam diri Yesus. Darah Kristus telah mendamaikan semuanya.

Mari akhiri renungan ini dengan mengutip tulisan Paulus yang lain:” Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Terpujilah Yesus, Mesias dan Kristus. Ia telah menyelesaikan semuanya melalui pendamaian melalui diri-Nya. Allah telah dipuaskan dengan apa yang Ia kerjakan. Akhirnya kita berbahagia karena mempercayai dan mempercayakan hidup kepada-Nya. Sungguh suatu pengharapan yang mulia, terpujilah Allah selama-lamanya. Amin.

Jumat, Maret 20, 2009

Kitab Nehemia

Judul bahasa Ibrani dari kitab ini adalah nehemyah, yang berarti penghiburan dari Tuhan. Judul ini sesuai dengan bagian pembukaan kitab yang namanya Nehemia, yang menjadi tokoh utama dalam kitab ini. Dalam septuaginta kitab ini merupakan gabungan dari dua kitab, yaitu kitab Ezra dan Nehemia. Oleh karena itu, ktab ini diberi nama Esdras deutron (kedua esdras), yang dalam bahasa Latin disebut liber secundus esdrae, yang kemudian dipandang perlu untuk dipisahkan dari kitab Ezra.[1] Pada abad ke 3 A.D oleh Origen kedua kitab tersebut dipisahkan. Pembagian kedua kitab tersebut kemuadian diteruskan dalam versi latin Vulgata.[2] Setelah dipisahkan kitab ini selanjutnya bernama Liber Nehemia (surat Nehemia).[3]
Masalah penulisan dan hubungan dengan antara kitab Ezra dan Nehemia juga kurang jelas karena urutan kronologis yang tepat belum dapat dipastikan. Tetapi kesimpulan yang gampang diterima adalah bahwa Ezra dan Nehemia adalah penulis kitab yang memakai nama mereka masing-masing dan bahwa mereka adalah orang yang hidup dalam periode yang sama.[4]
Sejarah PL diakhiri dengan kitab Nehemia, ketika orang buangan Yahudi diizinkan kembali ke negeri mereka setelah pembuangan di Babel dan Persia. Bersama dengan kitab Ezra, kitab ini mencatat sejarah dari tiga rombongan yang kembali ke Yerusalem.[5] Ezra meliput peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan dua rombongan pertama (538 SM; 457 SM), dan Nehemia mencatat aneka peristiwa selama kembalinya rombongan ketiga (444 SM). Sedangkan fokus kitab Ezra adalah pembangunan kembali Bait Suci, maka fokus kitab Nehemia adalah pembangunan kembali tembok Yerusalem.[6]
Kedua kitab menekankan pentingnya pemulihan rohani dan komitmen kepada Allah dan Firman-Nya. Nehemia, yang hidup sezaman dengan Ezra, melayani sebagai juru minuman Artahsasta I (raja Persia) ketika ia menerima kabar bahwa orang buangan yang kembali ke Yehuda dari Babel dan Persia sedang dalam kesulitan dan tembok Yerusalem masih berupa puing. Setelah mendoakan keadaan Yerusalem, Nehemia diberi kuasa oleh Raja Artahsasta untuk pergi ke Yerusalem sebagai gubernur dan membangun kembali tembok-tembok kota.
Selaku pemimpin yang diilhami, ia mengerahkan orang-orang sebangsanya untuk membangun kembali seluruh tembok kota dalam 52 hari saja sekalipun terjadi pertentangan yang gigih. Nehemia menjadi gubernur selama 12 tahun; setelah kembali beberapa waktu ke Persia, ia menjadi gubernur Yehuda untuk masa bakti kedua (bd. Neh 2:1; Neh 13:6-7). Imam Ezra membantu Nehemia dalam memajukan kebangunan dan pembaharuan rohani di antara kaum sisa yang kembali; mungkin Nehemia membantu Ezra menulis kitab ini.
Kesesuaian kitab Nehemia dengan sejarah diperkuat oleh aneka dokumen kuno yang ditemukan pada tahun 1903 dan disebut Elephantine Papyri, yang menyebut nama Sanbalat (Neh 2:19), Yohanan (Neh 12:23), dan penggantian Nehemia sebagai gubernur sekitar tahun 410 SM.
[7]
Dalam penulisannya kitab ini memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk melengkapi catatan sejarah pascapembuangan yang diawali dalam kitab Ezra, dan untuk menunjukkan apa yang dilakukan Allah demi kaum sisa melalui kepemimpinan yang saleh dari Nehemia dan Ezra selama tahap ketiga dari pemulihan pascapembuangan.
[8]
Berita yang dimuat dalam kitab Nehemia adalah Allah bermaksud untuk memulihkan atau memperbaharui apa yang sudah hilang dan membangun kembalu apa yang sudah hancur. Hal lainnya adalah persyaratan-persyaratan tugas yang sukses bagi Allah adalah doa, kepedihan dan ketetapan hati.
[9]
Secara umum dalam pasal 1-7 (Neh 1:1-7:73) mencatat peranan Nehemia sebagai gubernur dan pemimpin dalam membangun kembali tembok Yerusalem.[10] Pasal 1 (Neh 1:1-11) menyatakan dalamnya kerohanian Nehemia sebagai orang yang mengandalkan doa. Sementara melayani raja Persia, ia menerima berita mengenai keadaan Yerusalem yang menyedihkan dan mulai menaikkan doa syafaat secara sungguh-sungguh kepada Allah memohon Dia turun tangan demi kota dan penduduknya.
Pasal 2 (Neh 2:1-20) menguraikan bagaimana Allah menggerakkan Artahsasta untuk mengangkat Nehemia menjadi gubernur Yerusalem dan tibanya Nehemia di sana. Pasal 3-7 (Neh 3:1-7:1) mengisahkan kepemimpinan Nehemia yang tegas, bijaksana, dan tabah dalam mengerahkan penduduk Yerusalem untuk membangun kembali temboknya yang hancur hanya dalam 52 hari sekalipun terjadi perlawanan berat dari dalam dan dari luar kota itu. Hal ini berkitan dengan tema utama kitab ini yang membahas tentang pembangunan kembali Yerusalem.
Bagian kedua kitab ini menguraikan pemulihan rohani umat di Yerusalem di bawah pimpinan imam Ezra (pasal 8-10; Neh 8:1-10:39), dan beberapa persoalan nasional yang ditangani Nehemia (pasal 11-13; Neh 11:1-13:31). Hal yang utama dalam pembaharuan rohani itu ialah pembacaan Hukum Allah di hadapan umum, pertobatan dari dosa, dan suatu tekad baru oleh kaum sisa untuk mengingat dan memelihara perjanjian mereka dengan Allah.
[11]
Pasal terakhir mencatat beberapa pembaharuan yang dilaksanakan Nehemia sepanjang masa bakti kedua sebagai gubernur Yerusalem (pasal 3; Neh 3:1-32). Ada beberapa ciri khas yang terdapat dalam surat Nehemia, yaitu Kitab ini mencatat peristiwa-peristiwa terakhir dalam sejarah PL orang Yahudi sebelum tiba masa intertestamental. Kitab ini memberikan latar belakang sejarah bagi Maleakhi, kitab PL terakhir, karena Nehemia dan Maleakhi hidup sezaman.
[12]
Nehemia adalah contoh yang bagus di Alkitab dari seorang pemimpin saleh dalam pemerintahan: orang bijaksana, berprinsip, berani, integritas tak tercela, iman yang kokoh, belas kasihan bagi yang tertindas, dan sangat berbakat besar dalam kepemimpinan dan organisasi. Sepanjang masa baktinya selaku gubernur, Nehemia tetap jujur, rendah hati, bebas dari keserakahan, mengorbankan diri, dan tidak tercela dalam kedudukan atau kuasanya.
Nehemia adalah salah satu contoh PL terkemuka dari seorang pemimpin yang mengandalkan doa (bd. juga Daniel). Tidak kurang dari 11 kali dikisahkan bagaimana ia memanjatkan doa atau doa syafaat kepada Allah (mis. Neh 1:4-11; Neh 2:4; Neh 4:4,9; Neh 5:19; Neh 6:9,14; Neh 13:14,22,29,31).
[13] Ia seorang yang melaksanakan tugas-tugas yang tampaknya mustahil karena ketergantungannya yang mutlak kepada Allah. Kitab ini dengan jelas menggambarkan bahwa doa, pengorbanan, kerja keras, serta kegigihan bekerja sama dalam mewujudkan visi yang diberi oleh Allah.
Kesimpulannya dalam hubungan dengan Perjanjian Baru Kitab ini mencatat penyelesaian semua langkah dasar dalam memulihkan Yudaisme pascapembuangan yang diperlukan bagi kedatangan Kristus pada permulaan zaman PB: Yerusalem dan bait suci dibangun kembali, hukum telah dipulihkan, perjanjian dibaharui, dan keturunan Daud tetap terpelihara.
Secara lahiriah, segala sesuatu siap untuk menerima kedatangan Mesias (bd. Dan 9:25). Zaman Nehemia berakhir dengan harapan kenabian bahwa Tuhan akan segera datang ke bait-Nya (bd. Mal 3:1). PB mulai dengan penggenapan penantian dan pengharapan pascapembuangan ini.




Kepustakaan

[1]Parlaungan Gultom, Analisa Perjanjian Lama: makalah mata kuliah Independent Study (Yogyakarta:STII, 1987), 135.

[2]Denis Green, Pengenalan Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, t.t), 110.

[3]Gultom, Analisa Perjanjian Lama: makalah mata kuliah Independent Study, 135.

[4]Green, Pengenalan Perjanjian Lama, 111.

[5]J. Hampton Keathley III, An Iintroduction to the Books of First and Second Kings dalam Biblical Studies Foundation Net Bible-Microsoft Internet Explorer.

[6]Ibid.

[7]Ibid.

[8]SABDA: Online Bible Versi Indonesia, Ver.2.0, Software Alkitab, Biblika dan Alat-alat (Yayasan Lembaga Sabda).

[9]Gultom, Analisa Perjanjian Lama: makalah mata kuliah Independent Study, 137.

[10]Keathley, An Iintroduction to the Books of First and Second Kings.

[11]Walter C Kaiser, Teologi Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2000), 329.

[12]Keathley, An Iintroduction to the Books of First and Second Kings

[13]SABDA: Online Bible Versi Indonesia, Ver.2.0, Software Alkitab, Biblika dan Alat-alat (Yayasan Lembaga Sabda).

Kamis, Maret 19, 2009

The Church in Dispensatiolism


Hakekat substansi gereja merupakan bagian petunjuk penting yang membedakan antara dispensation dan pemahaman doktrinal lain. Bukan saja karena dispensational memiliki pengajaran yang konsen pada konsep tentang gereja yang berkontraversi dengan yang lainnya, tetapi juga karena percabangan ilmu ini membuat bangkitnya pertentangan.
Perbedaaan doktrin gereja yang mendasari dalam kesatuan hubungan terhadap hidup Kristen dalam tubuh Kristus yang menjadi Kepada (Ef.1:22-23, Kol. 1:18, 1 Kor. 12:27). Perbedaannya disebabkan oleh tubuh keyahudian dan non Yahudi, terlebih disebabkan oleh hubungan baru yang tercipta dengan Kristus, yang memasukannya dalam konsep umat Allah seperti dalam Perjanjian Lama.
Penyatuan konsep ini merupakan misteri yang besar seperti yang dinyatakan dalam pernyataan bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus. Disebut misteri karena pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak manusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus.
Dalam pemahaman Paulus, penyatuan tersebut terjadi karena Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita--oleh kasih karunia kamu diselamatkan--dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga.
Aspek lain yang membedakan karakter antara gereja dan tubuh Kristus, yaitu berdiamnya Kristrus dalam diri orang percaya non Yahudi yang telah diangkat menjadi umatNya. Seperti yang dinyatakan dalam rahasia yang tersembunyi dari abad ke abad dan dari turunan ke turunan, tetapi yang sekarang dinyatakan kepada orang-orang kudus-Nya. Kepada mereka Allah mau memberitahukan, betapa kaya dan mulianya rahasia itu di antara bangsa-bangsa lain, yaitu: Kristus ada di tengah-tengah kamu, Kristus yang adalah pengharapan akan kemuliaan.
Lebih lanjut, substansi Israel dibedakan secara jelas dalam Perjanjian Baru. Paulus menulis: Janganlah kamu menimbulkan syak dalam hati orang, baik orang Yahudi atau orang Yunani, maupun Jemaat Allah (1 Kor. 10:32). Jika orang-orang Yahudi sama dengan kelompok gereja atau orang-orang bukan Yahudi, maka rasul Paulus tidak akan memberikan perbedaan dalam tulisannya.
Pada masa kini, orang-orang percaya Yahudi dan orang-orang percaya yang bukan Yahudi telah disatukan dalam satu kesatuan tubuh Kristus. Tubuh Kristus menjadi karakter dari gereja secara keseluruhan. Pada dasarnya dispensational memberikan perbedaan antara gereja dan Israel, tetapi juga gereja bukanlah bentuk yang baru dari spiritual Israel.


Kosakata
Creation, penciptaan-tindakan Allah yang dilakukan dalam kebebasan sempurna, membuat adadari ketiadaan dan terus-menerus menjaga semua yang ada tetap ada.
Redeemer, penebus-gelar yang diberikan kepada Yesus yang telah membebaskan kita dari dosa dan kejahatan melalui penjelmaan, hidup, wafat, kebangkitan dan pengutusan Roh Kudus yang dilakukanNya. Dalam penggunaan biasa gelar ini mempuyai arti yang sama dengan penyelamat, meskipun latar belakang atau asal-usul katanya berbeda.
Forgiveness of sins, pengampunan dosa-salah satu pokok kepercayaan Yahudi-Kristiani tentang belas kasihan Allah pada manusia. Yesus mengampuni dosa yang mengakibatkan manusia memiliki posisi baru.
Adoption, pengangkatan sebagai anak-cara yang dipakai Paulus untuk mengungkapkan hubungan yang baru antara Allah dan orang-orang yang telah ditebus dalam Kristus. Orang-orang beriman dinyatakan benar karena telah diangkat sebagai anak oleh Allah.
Foreknowledge, pengetahuan ilahi-pengetahuan Allah mengenai segala peristiwa yang akan datang.
Last judgment, penghakiman terakhir-keyahinan bahwa Kristus akan datang lagi pada akhir zaman untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, para nabi Perjanjian Lama mewartakan hari Tuhan yang akan datang, yakni ketika saat ketika kehendak Allah dinyatakan.
Providence, penyelengaraan Ilahi-tuntunan Allah yang maha bijaksana dan mahacinta yang mengatur alam, sejarah, dan jalan hidup setiap manusia. Ajaran kristiani mengenai penyelengaraan ilahi memberikan tempat kepada baik kebebasan manusia maupun rahasia cara-cara Allah.
Christ event, peristiwa Kristus-istilah yang dipakai untuk menyebut kedatangan Kristus sebagai peristiwa dalam sejarah penyelamatan yang menentukan.
Covenant, perjanjian-ikatan antara Allah dengan seluruh umat manusia, yang diwakili oleh Nuh dan Abraham serta keturunannya.
New testament, perjanjian baru-ke-27 tulisan dalam kitab suci sesudah 39 tulisan perjanjian lama, yang sebagian besar diterima juga oleh orang-orang Yahudi.
Old testament, perjanjian lama-tulisan-tulisan suci yang diterima oleh orang-orang Yahudi dan Kristiani sebagai yang diilhami dan termasuk dalam kanon.
Election, pilihan-tindakan Allah yang bebas memilih pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Dalam Perjanjian Lama, Israel sangat menyadari dirinya sebagai umat pilihan Allah. Suatu komunitas baru orang-orang yang beriman terhimpun karena pilihan Kristus.
Grace, anugerah atau pertolongan yang diberikan oleh Allah kepada kita tanpa jasa kita. Rahmat yang utama adalah anugerah penyelamatan oleh Kristus karena iman.
Apostle, rasul-secara harfiah berarti utusan. Dalam arti lebih sempit rasul adalah kedua belas murid yang dipilih oleh Kristus, yang menjadi saksi atas karya, wafat, dan kebangkitanNya.
Scandal, sandungan-tindakan atau kata-kata yang menggoda orang untuk melakukan dosa. Kristus memberi peringatan agar tidak menjadi sandungan bagi orang lain atau membiarkan diri tersandung.
Passion, sengsara-dalam pengertian kristiani, sengsara dikaitkan dengan penderitaan dan penyaliban Yesus demi keselamatan kita.
Infinity, tidak terbatas-dalam arti sempit hanya Allah yang sepenuhnya dan seutuhnya tidak terbatas oleh waktu dan tempat dan mengatasi semua makluk ciptaan.
Body of Christ, tubuh Kristus-istilah yang dipakai untuk tubuh manusiawi Yesus, Kristus yang bangkit, gereja yang terdiri dari orang-orang yang dipersatukan denganNya.
Church, gereja-komunitas yang didirikan oleh Yesus Kristus dan diurapi oleh Roh Kudus sebagai tanda terakhir kehendak Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.
Gospel, injil-warta kerajaan Allah yang sudah dekat dan bahwa Yesus dinyatakan sebagai putra Allah dan Tuhan karena kebangkitanNya dari kematian.
Nature, kodrat-seluruh jagad raya yang baik karena diciptakan oleh Allah, atau sesuatu yang berkembang dan berjalan dengan ciri-ciri dasariah.
Christology, Kristologi-study teologis atas diri Yesus, yang secara sistematis menyelidiki siapakah Dia dalam diriNya sendiri dan artinya bagi orang-orang yang percaya kepadaNya.
Jew, Yahudi-keturunan orang-orang Ibrani dan atau yang memeluk Yudaisme. Menurut hukum yang dimaklumkan pada tahun 1962 oleh Israel, seorang Yahudi adalah orang yang lahir dari ibu Yahudi atau yang memeluk Yudaisme.

Mengapa Yesus?


Yesus Anak Allah yang kudus dan tak bedosa merupakan topik yang sangat menarik untuk dibahas karena, jika Kristus ternyata berdosa maka iman Kristen akan runtuh dan menjadi tidak jelas. Justru dengan adanya topik yang demikian mebutuhkan suatu pembuktian yang bersifat argumentatif atau berapologetika. Karena Kristus adalah manusia dan Allah yang sejati dan menjadi obyek iman Kekerintenan. Eksistensi Kristus sebagai pribadi yang kudus dan yang tak berdosa merupakan landasan bagi iman Kristen untuk memahami korban Kristus sebagai korban yang tak bercacat dan yang bekenan kepada Allah. artinya Kristus adalah Juruselamat yang sejati.

Yesus Kristus disebut sebagai “Anak Allah yang kudus” (Lukas 1:35), “Yang Kudus dan Benar” (Kisah 3:14), “hamba-Mu yang Kudus” (Kisah 4:27). Kekudusan Kristus menyatakan keilahian-Nya (Yohanes 14:30). Menegaskan hakekat kekudusan Tuhan Yesus Kristuspenulis Kitab Ibrani mencatat bawa “Ia tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15), artinya menunjukkan bahwa perilaku-Nya kudus karena Ia terpisah dari pencemaran dosa (Ibrani 7:26) karena pada dasarnya Yesus selalu melaku kehendak dan menyenangkan hati Bapa-Nya yang di Sorga (Yohanes 8:29). Terbukti ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalasnya dengan mencaci maki tetapi justri Ia menyerahkannya kepada Dia yang menghakini dengan adil (1 Petrus 2:22,23).
Tentang eksistensi kepribadian Kristus sebagai manusia-Allah yang sejati dan berkaitan dengan bisa atau tidaknya Yesus berdosa pernah menjadi topik yang diangkat untuk bahan perdebatan oleh para pakar teologi. Hodge seorang pakar yang menyatakan bahwa “pencobaan dapat diartikan kemungkinan berbuat dosa.” jadi pribadi Kristus tidak mungkin berbuat dosa, maka pencoban-Nya juga bukanlah hal yang nyata dan tidak berdampak. Dan Ia tidak dapat memberikan simpati kepada umat-Nya.
Nampaknya pendapat Hodge ini lebih ekstrim karena hanya cenderung untuk melihat pada satu aspek saja yakni karena Kristus dalam kemanusiaan-Nya, jadi mungkin dapat berdosa. Sedangkan pada sisi yang lain.Shedd menyanggah pendapat bahwa Yesus kemungkinan bisa berdoa. Shedd menyatakan;”Hal ini tidak cocok dengan doktrin sifat Kristus yang tidak bisa berdosa, karena tidak konsisten dengan keadaan-Nya yang dapat dicobai. Dikatakan, bahwa seorang yang tidak dapat berbuat dosa, tidak dapatdicobai untuk berbuat dosa.”
Pada intinya dari hasil perdebatan tersebut memunculkan topik perdebatan dengan kualitas konsep. Adapun konsep tersebut ialah; konsep bahwa Ia tidak mungkin berbuat dosa disebut “tanpa dosa” (non posse peccare). Dan konsep bahwa Ia mungkin dapat, apakah ia melakukannya atau tidak, disebut dengan “tak bercela” (posse non peccare).
Dalam mengatasi perdebadatan diatas kaum konservatif menyatakan pendapat yang Alkitabiah dengan mengemukakan pemahaman bahwa Kristus tanpa dosa, dan kelompok ini tidak setuju dengan pertanyaan apakah Ia dapat atau tidak dapat berbuat dosa. Sehubungan dengan masalah pencobaan Kristus kenyataan yang faktual bahwa ujian-ujian-Nya benar-benar terjadi secara pengalaman. Sebenarnya unian-ujian yang dialami oleh Kristus merupakan ujian yang disesuaikan dengan keberadaan-Nya sebagai manusia-Allah yang sejati.
Kekudusan Kristus sebagai Anak Allah memiliki suatu pengertian yang mengacu pada kualitas hidup dalam setiap aspek kehidupan artinya Ia terpisah dari kebobrokan dosa. Ungkapan anak Allah tentunya mengacu pada pengertian bahwa Ia Menampakkan kemuliaan Allah dalam hidup-Nya serta ia selalu menyenangkan dan melakukan kehendak Bapa (Yohanes 8:29).

Terbukti bahwa Kristus adalah Manusia dan Allah sejati dan semasa hidupnya Ia berlaku kudus dan hidup sesuai dengan kehendak Bapa. Dengan hakekatnya yang kudus maka Kristus layak untuk menjadi Juruselamat yang sejati yang menebus umat manusia dari dari perbudakan dosa (Yohanes 3:16). Artinya Kristus adalah korban yang sempurna dan dan itu cukup terjadi sekali dan berdampak untuk selamanuya.

Kamis, Maret 12, 2009

P.A.K Buat yg Prakerin

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan
masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut
Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur-unsur Kebudayaan
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o
keluarga
o kekuasaan politik
Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o sistem
norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
o organisasi ekonomi
o alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
o organisasi kekuatan (politik)
Kita telah mengetahui teknologi yang berada di sekitar kita. Tapi, apakah kita mengetahui apa itu teknologi sebenarnya, seperti apa teknologi dalam kehidupan sosial kita, dan bagaimana kemajuan teknologi di dunia? Oleh karena itu, dalam bahasan ini kita akan melihat sifat teknologi dalam budaya, pengertian teknologi serta perkembangannya. Pertanyaan tentang kenetralan beberapa pendapat menyatakan bahwa teknologi dinilai netral dari segi budaya, moral dan politik yang menyediakan alat mandiri sistem nilai yang bisa digunakan untuk mendukung gaya hidup yang berbeda-beda.
Tugas:
Lengkapilah Tabel berikut ini:
No Nama Penemu Hasil Temuan
1 James Watt Mesin Uap
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20


21


Senin, Maret 09, 2009

Manusia Super

ASAL MULA MANUSIA






Banyak sekali penemuan serta teori yang berusaha menyajikan asal-usul manusia baik yang bersifat sains maupun yang bersifat dongeng (mitos). Salah satu teori yang sempat menggemparkan dan eksis mewarnai dunia sains hingga sekarang ini adalah teori “evolusi.” Tokoh yang menemukan teori evolusi ialah Charles Darwin, dalam teori evolusi dikatakan bahwa
“Berjuta-juta tahun yang lalu zat kimiawi yang terdapat dalam laut digerakan oleh sinar surya dan tenaga kosmis, kemudian zat-zat tersebut membentuk diri melalui perubahan menjadi organisme bersel tunggal atau lebih, kemudian berkembang melalui suatu perubahan penting dan seleksi alamiah sehingga menjadi tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.”

Uaraian diatas merupakan landasan pemahaman yang mendasari teori evolusi, kemudian pendapat dari evolusi dalam keitannya dengan keberadaan manusia;
Dalam hubungannya dengan asal manusia, evolusi mengajarkan bahwa ia berputar dalam jangka waktu lama melalui aksi perubahan dan seleksi alamiah dari yang sederhana, beralih menjadi bentuk lain yang yang pada mulanya berasal dari makhluk bersel tunggal.

Dari hasil pengamatan yang demikian menjukkan bahwa asal mula manusia bukanlan hasil ciptaan Allah, melainkan hasil dari proses evolusi yang berlangsung.
Tidak jarang banyak orang mempercayai teori evolusi dan bahkan orang percaya pun terkadang terpengaruh dengan pandangan tersebut. Sebagai orang yang beriman kepada Allah. Orang percaya harus memahami kebenaran tentang realita kebenaran penciptaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Firman Allah.
Keberadaan manusia dibumi tidak terlepas dari realita Allah sebagai penyebab utama Charles C. Ryrie mengatakan bahwa “
Karya penciptaan mansuia didasarkan atas perundingan sidang Allah. Walau semua ciptaan-Nya sampai sebelum jadinya manusia dikatakan baik, namun ciptaan tersebut belum lengkap bila tanpa manusia. Manusia bukan dipikirkan-Nya kemudian, melainkan hasil pemikiran terdahulu dalam benak Allah. Setelah Allah menciptakan manusia barulah Ia kemudian berkata bahwa apa yang Ia kerjakan adalah “amat baik”.

Ungkapan diatas menyatakan bahwa penciptaan manusia telah dilakukan dan direncanakan oleh Allah.
Eksistensi manusia sebagai ciptaan merupakan wujud nyata bahwa Allah memprakarsai orientasi hidup manusia. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa Allah memiliki rencana yang indah bagi hidup manusia. Jadi sangat jelas sesuai dengan pernyataan yang faktual dari Alkitab berdasarkan teks Kejadian 1:27 yang berbunyi; “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarnya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka..”
Allah dalam eksistensi-Nya sebagai pencipta (Creator), dan mnusia sebagai ciptaan (Creation). Kedua hal tersebut merupakan dasar pijakan untuk mengamati identitas Allah dan manusia dalam konteks percakapan tentang kualitas, dan kedua hal itu jugalah yang menjadi landasan untuk membahas identitas Allah dan identitas manusia.

Allah Sebagai Pencipta
Sebagian besar ilmuwan dan filsuf terjerat dalam usaha yang mereka lakukan, mereka berusaha menjelaskan keberadaan alam semesta dengan mengabaikan kedudukan Allah sebagai pencipta. Meraka mengusulkan bahwa “alam semesta mapan artinya kejadian alam semesta terjadi dengan proses evolusi dan kejadiannya tanpa unsur lain diluar alam semesta dan tanpa campur tangan Allah.”
Dari usaha tersebut mereka menunjukkan dan meyakinkan bahwa “Peristiwa yang mengawali bumi berasal dari suatu ledakan awal atau big bang, yang di mulai sekitar 18 milyar tahun yang lalu.” Dalam hal inilah dapat ditarik suatu pengertian bahwa para ilmuwan sepengertian dengan kalimat pertama dalam Alkitab yang menyatakan alam semesta “Langit dan Bumi diciptakan atau dimulai jauh dahulu kala.
Kebenaran tentang penciptaan hanya ditemukan dalam Alkitab, kebenaran apa pun yang disingkapkan oleh sains tak dapat diterima sebagai kebenaran mutlak. Sebagaimana kebenaran fakta yang dipaparkan dalam Kitab Kejadian 1:1-28, dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan alam semesta dan segala isinya.
Memang kenyataannya ditulis oleh Musa, namun dalam proses penulisan kebenaran fakta tersebut dicatat berdasarkan penyingkapan wahyu yang dinyatakan oleh Allah. Ulasan penciptaan yang dicatat Musa pada awal Kitab Kejadian terjadi sekitar 3.500 tahun lalu dengan tujuan menyampaikan berita kebenaran yang berasal dari pewahyuan Allah untuk segala kalangan dan seluas mungkin. Intinya seperti yang dikatakan Hugh Ross, bahwa “Allah memakai Musa mencatat mendokumentasikan realita mengenai berbagai pernyataan kuasa ajaib Allah dalam membentuk bumi dan kehidupan didalamnya.”
Kedudukan Allah sebagai pencipta perlu dipahami juga dalam frame teologis yang berkaitan dengan identitas Allah dalam pandangan orang Ibrani. Ryrie mencatat bahwa “Kej. 1:1 Mengidentifikasikan Elohim sebagai Sang Pencipta. Elohim adalah istilah umum untuk keallahan yang juga merupakan sebutan bagi Allah yang Sejati. Kata itu berarti Yang Kuat, Pemimpin yang perkasa, Keallahan yang Tertinggi.”
Kekuasaan Allah yang dikenal juga dengan istilah mujizat yang nyata pada konteks penciptaan dapat dilihat penjelasannya melalui konsep yang disebut dengan istilah Creatio ex nihilo. Istilah dalam bahasa latin ini berarti “waktu Allah menciptakan, tidak memakai sesuatu bahan yang telah ada.” Menurut pengertian secara teknis istilah tersebut “dapat diterapkan pada penciptaan benda yang bukan organik, karena Allah memakai materi yang bukan oraganik yang diciptakan misalnya ketika membentuk tubuh dan makhluk hidup.”
Dalam Kejadian 1 Kata “Firman” dalam bahasa Ibrani memakai kata kerja “bara” (Kej. 1:1,21,27), sedangkan kata “yatsar” (Kej. 2:7) artinya “membentuk”. Allah yang Maha Kuasa adalah Sang Pencipta yang disebutkan juga oleh para cendekiawan sebagai Causa Prima (penyebab utama), yang intinya menunjukkan realita kebenaran bahwa “Allahlah yang menyebabkan alam semesta ini ada.”
Manusia sebagai Ciptaan
Ryrie mengaskan “Penciptaan manusia tidak melibatkan proses evolusi apa pun yang menghubungkan manusia dengan makhluk pra manusia yang berbentuk lebih sederhana.” Karena jika proses evolusi dilibatkan maka berarti bahwa manusia dari bentuk yang bukan manusia dan kenyataan tersebut menyangkal kenyataan bahwa Allah menghembuskan nafas kehidupan kepada manusia.
Alkitab sebagai kebenaran yang absolut secara akurat telah membentangkan berita penciptaan manusia (Kej. 1:27). Penciptaan manusia telah direncanakan oleh Allah dan dilakukan oleh Allah pada hari penciptaan yang keenam. Secara kronologis pertama-tama Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama. Allah menciptakan Adam dari debu tanah dan Ia juga meniupkan nafas hidup kepadanya dan saat itulah Adam menjadi makhluk hidup.
Sedangkan Hawa, Allah menciptakannya dari tulang rusuk Adam dan Allah membentuknya dalam wujud seorang wanita. Demikianlah Adam sebagai laki-laki dan Hawa sebagai perempuan, mereka adalah manusia ciptaan dan mereka juga adalah nenek moyang manusia diseluruh muka bumi.
Kejadian 1:26 berbunyi; “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Kalimat tersebut mengandung makna yang sangat dalam. Karena itu penjabarannya akan diuraikan dalam tiga bagian yang nyata sebagai berikut.

Manusia dalam Citra Allah
Sejak Allah meniupkan nafas hidup kepada Adam maka pada waktu itulah Adam disebut sebagai makhluk Hidup. Keadaan inilah yang oleh ilmu hayat (Biologi) menyeragamkan pandangan bahwa manusia dan binatang yang lainnya disebutkan sebagai makhluk hidup. Berbeda halnya dari perspektif religius, berdasarkan teks Kejadian 1:26, ternyata manusia merupakan ciptaan Allah yang istimewa. Karena Allah menciptkan manusia menurut gambar dan rupa Allah sendiri. Dari ungkapan itulah tersirat suatu pengertian yang menunjukan realita “manusia secitra dengan Allah”. John Calvin, teolog yang muncul sebagai tokoh reformasi mencatat pandangan teologis yang sangat penting tentang keistimewaan mansuia; “manusia sebagai ciptaan yang istimewa karena dari semua karya Allah manusia itu merupakan bukti dari keadilan-Nya, dari hikmat dan kebaikan-Nya yang paling luhur dan yang paling dipandang.” Sedangkan yang paling mendasar arti dari secitra dengan Allah dan keunggulan manusia sebagai ciptaan yang istimewa terkandung dalam rahasia ungkapan “segambar dan serupa dengan Allah.

Makna Ungkapan “Menurut Gambar Allah”
Kata “Gambar” dalam teks Kejadian 1:26 secara linguistik dalam bahasa Ibrani “tselem”, Sedangkan dalam istilah bahasa Latin memakai kata “Imago”, dan dalam bahasa Yunani “eikon” kesemua kata tersebut mengacu pada arti “gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif.
Pada akhir abad ke-2 hingga pada awal abad ketiga para bapak gereja mengartikan bahwa “gambar” mengacu pada kejasmanian”. Namun pengertian yang seperti itu tidak dapat dipertahan karena akan berakibat manusia akan mempersonifikasikan Allah. Jadi suatu pengertian yang tepat dari makna “gambar” disini ialah melihat kepada keseluruhan totalitas manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Artinya keadaan manusia yang utuh mencerminkan kemuliaan Allah.
Makna Ungkapan “Menurut Rupa Allah”
Istilah “rupa” juga menjadi hal yang sulit untuk diartikan secara literal. Namun kata “rupa” dalam bahasa Ibrani ialah “demuth”, dalam bahasa Latin “similitudo”, dan dalam terjemahan LXX (Septuaginta) memakai kata “homoiosis”,dari ketiga isitlah itu mengacu pada pengertian “kesamaan tapi lebih bersifat abstrak dan ideal.” Ryrie, menjelaskan “Manusia diciptakan menurut rupa Allah berarti menjadi makhluk hidup … manusia sebagai keturunan dari Allah, maka tentunya juga adalah pribadi yang hidup.” Lebih konkrit lagi secara teknis kata “rupa” menunjukkan aspek kecerdasan, kemauan yang memberinya kemampuan untuk mengambil keputusan.
Gambar dan rupa Allah yang dimaksudkan pada teks Kejadian 1:26, jelas sekali menerangkan keadaan manusia yang secitra dengan Allah. Dimana manusia dalam keadaan sebagai ciptaan yang istimewa mencerminkan kemuliaan Allah. Karena dalam keadaan yang mulia manusia (Adam) mampu berkomunikasi dan memiliki persekutuan yang indah dengan Allah (keadaan manusia pra-dosa).
Gambar dan rupa Allah juga merupakan hakikat dari totalitas manusia (Tubuh, jiwa dan roh). Bertolak dari keberadaan itulah manusia berbeda dengan binatang, karena kelebihan manusia memiliki; 1) norma moral rinci yang tertulis dalam dirinya, yang dikenal sebagai hati nurani. 2) kesadaran akan kematian dan kemungkinan adanya kehidupan setelah kematian. 3) kesadaran akan adanya kodrat yang lebih tinggi. 4) kemungkinan untuk menyembah dan berkomunikasi dengan Allah. 5) kemampuan untuk mengenal dan dorongan untuk mengungkapkan keberan yang mutlak atau yang absolut.
Kompleksitas natur manusia memang sangat lengkap sehingga ketika manusia jatuh kedalam dosa dan bahkan gambar dan rupa Allah pun menjadi rusak. Namun ketika Allah kembali bermurah hati memulihkan hubungan persekutuan melalui salib Kristus. Maka gambar dan rupa Allah dikembalikan dan didapatkan melalui iman kepada Allah dan keteladanan Kristus.

Kepustakaan
Gott, J. R.. Journal Astrophysical; An Unbound Universe. New York: Gordon and Brech, 1985.

Jastrow, Robert. God and the Astronomers. New York: W.W. Norton, 1978.

Calvin, Yohanes. Institutio. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980

Ros,.Hugh. Sebuah Tinjauan Ilmial Kejadian 1. Bandung: Kalam Hidup, 1996.

Ryrie, Charles C. Teologi Dasar 1. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1991.

Minggu, Maret 08, 2009

Ini Sepatu Siapa?

Sepatunya Siapa?

Menyoal Maraknya Pelemparan Sepatu


Sepatu adanya di kaki, ada sepatu olahraga, sepatu resmi,sepatu santai bahkan sepatu sandal. Model dan ragamnya pun bermacam-macam. Ia selalu berada di bawah untuk menjadi alas, sehingga keberadaannya kurang begitu dilirik orang. Semahal apapun sepatu ia tetap saja menjadi alas, tidak soal apakah import atau lokal; lama atau baru, murah atau mahal. Namanya juga sepatu. Berbicara mengenai sepatu, kita sontak teringat kisah klasik tentang seorang pangeran yang sedang mencari cinta lewat sepatu. Bagaimana caranya? Ia menjadikan sepatu sebagai ukuran wanita yang paling pantas baginya. Singkatnya, secara filosofis sepatu adalah ukuran. Ukuran cinta sang pangeran terhadap calon istrinya. Itu dari kisah klasik, tetapi dalam dunia kepemimpinan pun sepatu saat ini sudah menjadi ukuran. Ukuran atau takaran apakah seseorang disukai atau tidak gaya managemen kepemimpinannya.
Berita okezone.com hari ini (7 maret) merilis berita bahwa pak presiden Ahmadinejad, presiden vocal dari Iran, baru saja dilempar sepatu ketika konvoi kendaraannya melewati kerumunan masa. Situs Iran Urumiye dan dikutip Guardian, Jumat (6/3/2009), Ahmadinejad saat itu sedang berada di mobil atap terbuka. Kunjungannya ke kota itu untuk berceramah di sebuah stadiun lokal. Pihak kepolisian sempat melakukan pengejaran terhadap pelaku pelemparan namun gagal menemukannya karena banyaknya orang saat itu.
Sebelumnya juga mantan presiden Bush juga pernah mengalami hal serupa. Hanya bedanya lemparan sepatu dilakukan oleh seorang wartawan secara terang-terangan pada saat Bush sedang konfrensi pers. Respon Bush? Berapa ukuran sepatu tadi yah? Ujarnya tertawa. Bedanya lagi, berita tersebut langsung mendunia, disebarkan secara luas, karena memang banyak orang, yang udah terlanjur tidak menyukai presiden Bush saat itu. Ketidak sukaan ini terkait penyerangan Amerika ke dunia Arab dalam rangka isu terorisme.
Demikianlah lempar sepatu menjadi cara menunjukan ketidak sukaan terhadap pemerintahan, bahkan lebih dari pada itu, lempar sepatu menjadi alat ukur kepemipinan seseorang disukai atau tidak. Pada akhirnya kepemimpinan menjadi sangat relative, menjadi urusan suka tidak suka. Lepas dari persoalan suka atau tidak suka. Marilah meletakkan sepatu kembali ke posisinya, yaitu sebagai alas. Alas untuk melangkahkan kaki lebih mulus. Alas bagi kaki yang mau bekerja bersama-sama. Alas bagi setiap kaki pemimpin agar ia berjalan dengan baik. Alas bagi kaki yang dipimpin supaya bisa bekerja dengan lebih baik. Alas bagi kaki rakyat supaya bisa berjalan dengan lebih nyaman sampai pada tujuan.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, tulisan ini sengaja penulis angkat sebagai refleksi bagi para pemimpin dan seluruh rakyat. Dalam kondisi apapun perjalanan politik yang bisa saja sulit dan berselimutkan musuh (baca, musuh dalam selimut) janganlah jadikan sepatu sebagai alat ukur, sebab ketika sepatu sudah menjadi alat ukur, maka semuanya hanyalah mempertimbangkan factor suka atau tidak suka. Marilah kita tempatkan sepatu pada tempat asalinya, yaitu sebagai alas. Alas bagi setiap kaki yang ada dalam kebersamaan kerja ditengah perbedaan partai, kesatuan visi ditengah perbedaan fungsi dan keindahan cinta ditengah panasnya persaingan. Jadi marilah kita semua bersepatu, sehingga tidak perlu muncul pertanyaan: Ini sepatu siapa?

Sabtu, Maret 07, 2009

Khusus yang Prakerin

Buat yang lagi Prakerin

Tiba juga saatnya kalian mempraktekan apa yang telah dipelajari mulai dari kelas X sampai XI. Rasa-rasanya belum cukup, tapi paling tidak dari titik ini terlihat seberapa siapnya kalian memasuki dunia kerja nantinya. Di jaman kami tantangan sudah ada dan semakin bertambah ketika ada di jaman kalian, so keep on fire. Kalau perlu bangunlah interaksi yang memadai dengan guru-guru disekolah, semua pasti siap membantu, paling tidak saya siap bantu doa…. Jadi tetap pelihara semangatmu sampai selesai masa prakerin. Beberapa point penting yang harus diingat, bila perlu di print dan temple di meja kerja kalian, yaitu:
1. Kalian adalah duta
Ada surat tugas dari sekolah yang kalian bawa serta ke tempat kerja. Arti simbolik dan filosofisnya adalah keunggulan nama sekolah sedang ada di tangan kalian. Setiap kerja dan karya yang kalian lakukan mencerminkan nama baik sekolah, tetapi setiap kemalasan dan kesalahan yang kalian buat juga memcerminkan keburukan sekolah. Jadi jangan malu-maluin…
2. Kalian adalah Tim
Kalian terdiri atas beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas beberapa orang. Peliharalah kesatuan dan kerja sama kelompok. Saling membantulah karena kalian masuknya bersama-sama dan akan keluar bersama-sama juga. Jangan mencela, kalau ada teman yang kurang mampu tolonglah dia. Jadi bekerjasamalah…
3. Kalian adalah historymaker
Setiap tahun SMK 1 PSKD mengutus siswa-siswinya ke tempat praktek dan setiap tahun memiliki cerita sendiri, mulai dari cerita cinlok, dituduh curi hp – uang, gak pernah masuk kerja dan macam-macam cerita menyedihkan. Ada pula cerita-cerita pengalaman manis, lucu, dan membanggakan yang telah ditorehkan dalam sejarah prakerin. Ingatlah bawa kalian juga sedang menulis lembaran sejarah baru untuk angkatan kalian entahkah kelas AK maupun AP. Jadi berlaku baiklah…
4. Kalian adalah Kalian
Cara untuk sukses atas masa depan sudah kami ajarkan semua di pertemuan kelas, canda saat istirahat, khotbah saat ibadah atau PD, bahkan kadang-kadang sms. Apakah kalian akan sukses? Siapa yang tahu? Semuanya kembali ke goresan tangan kalian ketika bekerja. Kalian sendirilah yang akan merancang, menciptakan dan menghadirkan masa depan itu dan bukan kami. Kalian adalah pribadi-pribadi mandiri, kreatif, brilian, walaupun kadang-kadang malas. Jadi persiapkanlah masa depanmu…
Inilah pesan sederhana dan singkat dari saya, btw jangan lupa untuk rajin-rajin buka blog ini karena pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Seni Budaya akan berlanjut walaupun tidak ada pertemuan kelas. Jadi sering-seringlah ngintip blog ini. Salam sukses ya…

Kamis, Maret 05, 2009

Postmodernisme

Tepatnya sejak diabad abad ke-20 hingga sekarang ini gereja selalu bergelut menghadapi tantangan era modern, seperti sekarang ini secara nyata gereja sudah harus berhadapan dengan era baru yaitu postmodern, yang pikiran dan pengaruhnya sama sekali berbeda dengan zaman sebelumnya. Pada prinsipnya, gereja memang tidak boleh mengabaikan perubahan zaman yang sedang terjadi di sekelilingnya. Alkitab mengajarkan bahwa dalam memproklamasikan berita firman, umat Kristen harus memiliki konsep waktu atau zaman (concept of time); lihat antara lain Rm. 13:11; 2Tim. 4:2. Hal ini dimaksudkan agar gereja tetap relevan dalam pengajarannya, dan sebaliknya gereja juga tidak menjadi kompromistis, atau bahkan sinkretis.

Latar Belakang Permasalahan
Dari segi zaman (yaitu "era post-modern," atau zaman setelah modern) tentu saja gereja tidak dapat mengelak, namun yang mesti diwaspadai adalah postmodern-isme, atau prinsip-prinsip ajaran para postmodernis dan pengaruhnya. Cara berpikir postmodern memang belum terlalu popular paling tidak hingga saat ini. Akan tetapi, gema dan gelombang pengaruhnya hari demi hari semakin terasa kuat. Perlahan tapi pasti dunia dibawa masuk ke dalam suatu nuansa zaman yang sama sekali berbeda dengan modern. Banyak pengamat mengatakan bahwa era modern dengan segala pengaruh pemikirannya sedang menuju kematian dan segera digantikan oleh era postmodern. Beberapa di antaranya, yaitu John Cooper mengatakan, "Times are changing. Modernism is dying, though its strength is not completely spent. By now the announcement of a new outlook, something called ‘post-modernism,’ has become a cliché." Hal senada juga diungkapkan oleh Richard Middleton, Brian Walsh, Alister McGrath, Thomas Oden, Walter Anderson, Timothy Phillips, dan Dennis Okholm, bahwa dunia saat ini sedang berada di dalam transisi antara proses kematian modernisme dan lahirnya postmodernisme.
Berdasarkan alasan di atas, penting bagi kita umat Kristen untuk mengenal postmodernisme. Karena itu, dalam tulisan ini penulis menyoroti postmodern dengan berangkat "hanya" melalui dua pandangan utamanya: dekonstruksionisme dan relativisme radikal, serta beberapa pengaruhnya. Karena munculnya postmodern tidak dapat dilepaskan dari era modern, maka dalam tulisan ini akan banyak pula dijumpai perbandingan (kontras) postmodern dengan modern.

Akar Permasalahan
Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang tumbuh-berkembang antara abad 15 hingga 18, dan mencapai puncaknya pada abad 19 dan 20 awal, memiliki cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness, progress dan liberty. Dari segi reason, berarti para modernis bercita-cita menggantungkan segala penelitian atau pengungkapan kebenaran pada kekuatan akal (ratio) manusia. Apabila pada abad pertengahan (era sebelum modern) sangat ditekankan ketaatan terhadap otoritas gerejawi atau hal-hal yang bersifat spiritual dan supranatural, maka pada era modern tumbuh kepercayaan dan kebergantungan mutlak kepada kekuatan rasio manusia yang disokong oleh metode-metode observasi, percobaan, dan penelitian untuk memperoleh kebenaran. Orang-orang modern berkeyakinan bahwa manusia yang berpikir adalah manusia yang senantiasa berusaha menemukan kebenaran yang satu, mutlak, obyektif, dan universal (berlaku bagi semua orang), lewat kemampuan rasio. Di sini manusia menjadikan dirinya sebagai homo-autonomos, artinya manusialah yang menentukan kebenaran, manusia yang menentukan hukum, dan manusia yang menentukan nasib manusia sendiri. Manusia tidak membutuhkan kekuatan di luar sesuatu yang bukan manusia atau bukan hasil karya manusia. "In the modern era we are our own saviors…," demikianlah keyakinan, sekaligus impian, di dalam diri kebanyakan orang modern.
Dari segi nature berarti, suatu usaha para modernis untuk melepaskan diri dari hal-hal supranatural, dan sebaliknya memfokuskan perhatian sepenuhnya hanya pada hal-hal natural. Fokus pada hal-hal natural menyangkut usaha terus-menerus mengungkapkan rahasia alam semesta yang nampak dan dapat ditangkap oleh indera bagi kepentingan umat manusia; serta termasuk di dalamnya, mengajarkan kehidupan yang sangat bersifat sekuler dan materialistik. Tidak ada keinginan dalam diri orang-orang modern untuk menyelidiki hal-hal di luar yang natural atau sekuler.
Kedua aspek di atas, reason dan nature, dipakai oleh para modernis untuk terus-menerus berusaha maju di segala bidang. Di dalam hati kebanyakan orang modern seolah terpatri kalimat semacam ini: "The future rather than the past dominates the imagination. The Golden Ages lies ahead of us not behind us." Kalimat ini bukan omong kosong, sebab buktinya sangat mudah bagi kita sekarang ini untuk menjumpai hasil-hasil kemajuan yang diperjuangkan oleh para modernis. Baik itu dalam bidang teknologi maupun dalam tatanan (pola dan aturan) kehidupan. Pada akhirnya, dari kemajuan di segala bidang tersebut, diharapkan tercapainya suatu tatanan kehidupan masyarakat dunia yang sempurna, yaitu yang bersatu, harmonis, makmur, dan bebas dari sakit-penyakit. Atau dengan kata lain, tercapailah tiga impian lainnya, yaitu: happiness, progress, dan liberty.
Secara garis besar, kelima cita-cita modern di atas ‘diwujudnyatakan’ ke dalam tiga bidang, yaitu: ilmu pengetahuan (science), teknologi (technology), dan pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh (global economic growth). Ketiganya tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan. Ilmu pengetahuan, yang merupakan hasil dari berbagai macam eksperimen dan penelitian terhadap alam semesta, menjadi semacam fondasi yang kokoh bagi kemajuan dalam dua aspek lainnya (teknologi dan pertumbuhan ekonomi) secara universal. Salah seorang bapak ilmu pengetahuan modern, Francis Bacon, mengatakan bahwa "Knowledge is power," sebab melalui ilmu pengetahuan manusia dapat memahami rahasia alam semesta sehingga manusia mempunyai semacam kekuatan untuk meneliti lebih lanjut dan menghasilkan berbagai teknologi maju yang penting bagi seluruh umat manusia.
Teknologi yang merupakan perwujudan nyata ilmu pengetahuan di dalam berbagai peralatan dan mesin yang mutakhir, lebih lagi membekali manusia dalam mengeksplorasi alam semesta. Teknologi seolah-olah memampukan manusia untuk menggapai apapun yang mereka ingini. Dari kemampuan yang tak terbatas tersebut diharapkan terjadilah pertumbuhan ekonomi secara global, yang pada akhirnya akan tercapailah perbaikan standar hidup umat manusia, kemakmuran bersama, dan keamanan. Middleton & Walsh mengatakan,

"By this free and open investigation, we have confidently believed, humanity will be able to acquire the technological power necessary to control nature and bring about the ultimate human goal: increased economic consumption and affluence, with resulting peace, fulfillment and security."

Harus diakui bahwa spirit modern memang telah menghasilkan kemajuan di banyak bidang kehidupan umat manusia, paling tidak untuk jangka waktu tertentu antara abad 19 dan 20 awal. Akan tetapi ketika impian itu seolah-olah semakin mendekati kenyataan, umat manusia dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak lain adalah buah spirit modern sendiri yang ternyata justru menjauhkan manusia dari impian yang selama ini menjadi cita-cita mereka. Peristiwa besar pertama yang menghantam impian modern adalah terjadinya Perang Dunia I (1914-1918), kemudian disusul dengan perang dunia II yang lebih lagi merusak impian mereka. Bukan hanya itu, mata kebanyakan orang semakin terbuka ketika mereka melihat dan menyadari bahwa produk spirit modern bukan seperti apa yang mereka impikan seperti kemajuan, kemakmuran, dan persatuan umat manusia, melainkan polusi yang hebat, pencemaran lingkungann besar-besaran, eksploitasi tenaga kerja, perbudakan, penjajahan (imperialism), pembersihan etnis (tribalism) di beberapa tempat (misalnya, Bosnia, Somalia, Rwanda), kualitas kejahatan yang meningkat, perpecahan suku bangsa, dan perang yang tak kunjung padam di beberapa negara di dunia. Itulah warisan pahit spirit modern yang harus diterima oleh orang-orang zaman ini!

Pada masa sekarang, nyata terlihat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan wujud nyata cita-cita modern, tidak dapat memecahkan semua masalah manusia. Keduanya memang maju dengan sangat pesat, tetapi kemajuan tersebut seolah-olah justru memberi peluang yang semakin besar bagi manusia untuk menghancurkan dirinya sendiri. Karena itu, muncullah orang-orang postmodern yang memberikan reaksi terhadap modernisme secara keras. Mereka, para postmodernis tersebut, berreaksi bukan hanya dengan berangkat dari kekecewaan mendalam terhadap spirit modern, tetapi juga perasaan ditipu dan dikhianati. Segala janji modernisme telah terbukti kosong, dan dunia tempat kita tinggal malahan nampak semakin "hostile and inhospitable to us," kata David Wells dalam bukunya No Place for Truth. Ungkapan kekecewaan yang lain juga tertuang dalam tulisan Timothy Phillips & Dennis Okholm, di mana dikatakan bahwa impian modern tetap akan selamanya sebagai fantasi saja, kecuali orang-orang menganggap Disneyland sebagai dunia nyata! Akibat kekecewaan, perasaan ditipu, dan dikhianati tersebut, orang-orang posmodern berusaha untuk memunculkan suatu ajaran dan spirit yang berbeda, bahkan sama sekali bertentangan, dengan modernisme.

Postmodernisme dan Pengaruhnya Ditinjau dari Kontras dengan Modernisme

Perlu digarisbawahi bahwa para postmodernis menolak modern yang terutama bukan ditujukan terhadap hasil-hasil yang telah dicapai melalui modernisasi, melainkan lebih tertuju pada pembongkaran cara pandang atau asumsi-asumsi dasar di balik segala cita-cita modern, yang dilihatnya sebagai akar permasalahan timbulnya berbagai bencana seperti dikemukakan di atas (imperialisme, kolonialisme, tribalisme, dsb.). Sebagai contoh, karena para modernis percaya hanya ada satu kebenaran mutlak yang obyektif dan rasional, maka hal ini mendorong mereka untuk menolak, sekaligus "menyingkirkan," cara-cara pandang lain tentang kebenaran yang tidak obyektif dan tidak rasional. Dengan kata lain, para modernis (secara tidak langsung, maupun langsung) telah berusaha mengontrol dan mengatur dunia berdasarkan rasio, yang pada akhirnya asumsi mereka tersebut telah memberikan semacam rangsangan bagi timbulnya imperialisme dan kolonialisme—ditambah dengan adanya kemajuan teknologi yang membuat peluang tersebut semakin terbuka lebar.

Kekecewaan terhahap asumsi-asumsi dasar modernisme, berikut dengan akibat-akibat negatifnya, itulah yang mendorong munculnya postmodernisme, yang bukan hanya "menawarkan" suatu cara pandang yang berbeda, tetapi sangat berniat untuk menggeser dan mengganti modernisme. Berikut beberapa prinsip dan asumsi dasar postmodernisme sebagai ganti modernisme.

Kebenaran Obyektif vs. Dekonstruksi

Perhatikanlah dialog singkat berikut ini; orang pertama mengatakan, "Lihat, di sana ada bola dan topi, dan aku menyebutnya bola dan topi sebagaimana yang aku lihat." Orang kedua mengatakan, "Mengapa harus bola dan topi? Kedua benda tersebut bukanlah apa-apa, tetapi keduanya adalah ‘bola dan topi’ setelah kita sepakat menyebutnya demikian." Dalam percakapan ini, orang pertama mewakili modern yang percaya bahwa kebenaran berasal dari hasil pengamatan dan pertimbangan rasio terhadap suatu benda atau hal secara obyektif. Akan tetapi, bagi orang-orang postmodern—yang dalam percakapan di atas diwakili oleh orang kedua—pengungkapan kebenaran seperti yang dilakukan oleh orang pertama adalah suatu hal yang mustahil. Mengapa? Karena bagi postmodernis, "we simply have no access to something called "reality" apart from the way in which we represent that reality in our concepts, language and discourse." Apa yang orang modern sebut sebagai "realita," bagi postmodernis tidak lain adalah konstruksi konsep dan bahasa kita sendiri, sebagai hasil dari pengalaman hidup kita. Salah seorang tokoh postmodern, Richard Rorty, mengatakan bahwa pada dasarnya semua manusia tidak pernah sungguh-sungguh sampai pada apa yang namanya realita, selain daripada apa yang kita sebut sebagai "realita" adalah pemilihan deskripsi kita sendiri di dalam simbol bahasa. Dengan demikian, pengungkapan kebenaran senantiasa diwakili oleh pembentukan (konstruksi) lingustik (bahasa). Cara berpikir postmodernis semacam itu disebut dekonstruksionisme (deconstructionism).

Dekonstruksionisme dipopulerkan yang utama oleh seorang filsuf postmodern dari Perancis bernama Jacques Derrida. Hal utama yang Derrida serang—demikian pula para dekonstruksionis lainnya—adalah klaim modern bahwa pengetahuan merupakan refleksi realita yang akurat, sehingga apa yang orang ketahui diyakini sebagai cerminan sesuatu realita yang sesungguhnya (obyektif). Derrida mencoba untuk menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan sebagai "realita sesuatu yang ada" adalah "bukan apa-apa" atau "tidak ada", dan kalaupun kita dapat menyebutkan sesuatu yang sebenarnya bukan apa-apa atau tidak ada tersebut, hal itu adalah konstruksi bahasa kita sendiri. Setiap orang membentuk realita bagi diri mereka masing-masing di dalam simbol-simbol bahasa. Atau, apa yang Derrida hendak katakan adalah, "what is claimed to be present is really absent and that the given is itself a construction of human discourse." Berangkat dari dekonstruksionisme, dapat disimpulkan bahwa bagi orang-orang postmodern, kebenaran tidak lain adalah hasil pembentukan atau konstruksi, bukan hanya oleh individu tetapi juga merupakan hasil kesepakatan kelompok sosial di dalam wujud bahasa. Jadi bahasa itu sendiri tidak menunjukkan realita secara obyektif. Bahasa digunakan hanya untuk mewakili sesuatu yang hendak kita katakan, tetapi bukan realita itu sendiri (not reality itself).

Salah satu dampak langsung yang dapat dilihat dari dekonstruksionisme adalah, dalam era postmdern apabila kita menuliskan suatu kata atau kata apapun, semuanya harus di dalam tanda kutip, karena kata tersebut bukanlah arti sesungguhnya. Misalnya, untuk menulis kata bola, harus ditulis "bola" dengan dua tanda kutip, karena "bola" hanya mewakili suatu realita yang sesungguhnya kita tidak tahu apa, tetapi karena kita secara pribadi, atau kelompok sosial sepakat menyebut benda bulat itu demikian, yah jadilah benda itu disebut "bola." Tetapi apabila kita bertanya kepada orang postmodern, "Mengapa disebut ‘bola’?" Kurang lebih, ia akan menjawab demikian, "Jangan tanya! Aku (dan kelompok sosialku) sepakat menyebutnya demikian, kalau kamu tidak setuju, silahkan ungkapkan dengan kata lainnya. Jangan memaksa, sebagaimana aku tidak memaksa kamu menyebutnya demikian."

Secara positif, dampak pola pikir dekonstruksionisme memang berbeda dengan modern yang lebih cenderung otoritarian dan totaliter dengan memaksakan, bahkan menindas, pendapat dengan dalih kebenaran yang obyektif hasil pengamatan rasional. Dekonstruksionis tidak akan memaksakan pendapat, sekalipun tidak pula menerima pendapat orang lain. Namun demikian, dekonstruksionisme juga menimbulkan beberapa dampak negatif yang sangat serius, misalnya: hilangnya identitas diri seseorang, tidak adanya relasi yang sejati, tidak ada kepastian moral, dsb. Mengapakah hal-hal tersebut dapat terjadi? Perhatikanlah pemikiran postmodern yang mengakibatkan hal-hal negatif tersebut, dengan berangkat dari pemikiran tentang manusia.

Siapakah manusia? Karena manusia adalah bagian dari hal yang dianggap sebagai realita obyektif, maka ia harus turut didekonstruksi. Tidak seperti orang-orang modern yang sangat yakin dengan pengenalannya tentang manusia, bahkan menganggapnya sebagai homo autonomos, para postmodernis tidak mau memandang manusia secara positif obyektif dan berlebih-lebihan. Mereka lebih melihatnya sebagai bagian dari permainan pembentukan kata oleh kelompok sosial. Tidak ada yang namanya hakekat diri pada manusia. Atau dengan kata lain, kita bukanlah kita sebagaimana adanya, melainkan hasil pembentukan kelompok atau sosial (apa yang diri, kelompok, atau sosial katakan tentang identitas kita, itulah kita). Tidak ada yang namanya "aku yang sesungguhnya" (the real me) atau "hekekat aku" (the essential me) di dalam diri kita. Itu tidak mungkin kita ketahui atau dicapai. Jadi siapakah kita? Kita adalah hasil pembentukan sosial, dan pembentukan tersebut terjadi terus-menerus dan berganti-ganti. Masing-masing individu dapat mengambil macam identitas apapun yang mereka kehendaki. Simaklah apa yang dikatakan oleh Middleton & Walsh tentang jati diri manusia:

"This is a nomadic self, on the road with the carnival….After all, you’re just playing a game of self-construction in the midst of a wide array of such games. This is the carnival. There is another show to put on, there are other worlds to play with, other selves to try on for size."

Karena masyarakt postmodern terdiri dari orang-orang yang identitasnya terus-menerus dibentuk dan berubah, maka akan sulit didapati dalam era postmodern orang-orang yang sungguh-sungguh berkomitmen dalam relasi, atau adanya intimasi. Sebab keduanya membutuhkan paling tidak pengenalan tentang siapa diri kita dan siapa orang yang menjadi lawan relasi kita. Dampak lainnya pula adalah tidak adanya standar moral yang pasti dalam masyarakat postmodern, karena manusianya sebagai pencetus hal tersebut terus-menerus berubah. Itu sebabnya, bagi orang-orang postmodern dalam urusan moral yang terpenting bukanlah isi atau content dari suatu keputusan moral (sebagai hasil pertimbangan terhadap beberapa pilihan tindakan yang lebih bertanggung jawab), melainkan the act of choosing itself. Bukan kebenaran obyektif suatu tindakan moral yang mesti kita pusingkan, melainkan kebebasan kita untuk memilih suatu tindakan moral yang harus lebih dipentingkan. Contohnya, secara ekstrim dapat terjadi seperti berikut: pada waktu kita berhenti dipersimpangan jalan karena lampu merah, saat itu kita berhenti karena diharuskan (misalnya, oleh ajaran agama atau peraturan pemerintah) ataukah karena kita bebas memilih (punya lebih dari satu pilihan)? Bagi orang postmodern, haruslah karena kebebasan. Artinya, kalaupun seseorang memilih untuk tidak berhenti, maka pilihan tersebut sama benarnya dengan orang yang memilih untuk berhenti, yang penting tidak ada paksaan. Benar-benar sebuah dunia yang tak berwujud (de-construction)!

Kebenaran Mutlak dan Universal vs. Relativisme Radikal

Di samping menolak kebenaran obyektif, postmodern juga tidak mempercayai adanya kebenaran mutlak dan universal. Terlepas dari adanya kontradiksi dalam pernyataan postmodernis itu sendiri (secara tidak sadar pernyataan mereka sifatnya mutlak dan diuniversalkan juga), maksud mereka adalah, mereka menolak apabila satu kebenaran hasil pertimbangan rasio terhadap realita yang ada dijadikan sebagai satu-satunya kebenaran yang universal (berlaku bagi semua orang). Postmodernis menilai bahwa ketergantungan pada akal—sebagaimana diajarkan oleh modernisme—telah terbukti gagal dalam mengatasi seluruh kompleksitas problema hidup manusia. Karena itu, untuk mendapatkan kebenaran bagi kebutuhan umat manusia harus dibuka pintu selebar mungkin bagi sebanyak mungkin metode atau cara. Tetapi, berbagai metode tersebut bukan untuk diintegrasikan atau disimpulkan menjadi satu kebenaran, melainkan tetap saja dibiarkan berbeda, sebab pada dasarnya tidak ada kesepakatan universal tentang apa yang benar. Artinya, kita harus membiarkan masing-masing orang atau kelompok sosial untuk menemukan kebenaran dengan caranya sendiri. Postmodernis tidak mencari kebenaran yang mutlak dan universal, melainkan kebenaran yang pluralistik (beraneka ragam) dan relatif secara radikal. John Cooper mengatakan,

"Post-modernism denies Enlightenment maxim that reason and truth are everywhere and always the same. It rejects the claim that science yields the truest picture of reality. Science is one valid way to interpreting the world, but the many spiritual, mythical, and aesthetic representations are equally legitimate. Instead of lamenting the failure of reason, post-modernists celebrates the diversity of ways in which we humans experience reality and the numerous perspective from which we do so."

Dengan relativisme radikal, postmodern mengajarkan kepada kita agar mentoleransi dan menghargai semua pandangan indvidu atau kelompok tentang kebenaran. Klaim tentang kebenaran yang bersifat tunggal, mutlak, dan universal bukan hanya dinilai salah, tetapi juga menyatakan kesombongan dan bersifat sangat berbahaya; "they are a form of intellectual imperialism that can lead to actual oppression of those whose belief differ." Karena itu kita harus dapat menghargai dan menerima keabsahan semua sudut pandang, entah itu tradisional, kontemporer, dikenal banyak orang, maupun asing. Semuanya dianggap memiliki perspektif masing-masing. Masing-masing melihat kebenaran berdasarkan cara pandang mereka sendiri, dan karenanya tidak perlulah kita mencari pandangan siapa lebih benar, atau bahkan yang paling benar. Semuanya dianggap benar dan sah. Sebagai contoh, bagi orang-orang postmodern sama sahnya orang yang percaya bahwa dunia diciptakan Allah, dengan konsep tradisional bahwa dunia berasal dari telur kura-kura raksasa. Demikian pula, tidak usah diharuskan orang yang sakit meminum obat apabila ia yakin dengan ramuan daun-daunan atau menyembah patung dapat menyembuhkannya.

Dari kaca mata positif, pandangan relativisme radikal postmodern cukup menarik bagi masyarakat sekarang ini, sebab konsep tersebut bukan hanya mengakui aneka ragam sudut pandang, tetapi juga memberikan semacam spirit untuk toleransi secara menyeluruh, menghormati, dan menerima kebenaran orang lain sebagaimana adanya. Karena itu tidak heran jikalau dalam kelahiran era postmodern ini, berbagai pandangan tentang kebenaran yang dulu diabaikan, sekarang mulai dibiarkan bersuara, misalnya, kebenaran orang-orang suku pedalaman, seperti suku aborigin.

Namun demikian, sama seperti dekonstruksionisme yang mengandung konsekuensi negatif, relativisme radikal juga mengandung dampak negatif yang tidak dapat disepelekan. Apabila dekonstruksionisme mengaburkan wujud dunia nyata/obyektif dengan permainan kata atau bahasa, maka relativisme radikal melumpuhkan klaim-klaim kebenaran yang mencoba untuk menjadi universal. Itu sebabnya, bidang-bidang kehidupan seperti pendidikan akademik, moral, dan agama, yang sarat dengan pernyataan universal adalah yang terutama terimbas oleh relativisme radikal-nya postmodern. Pendidikan akademik tidak lagi dipandang sebagai wadah yang mengajarkan pengetahuan dengan satu kebenaran mutlak untuk setiap disiplin ilmu, melainkan ia menjadi semacam marketplace yang menawarkan berbagai sistem kebenaran yang dapat dikonsumsi secara bebas oleh setiap pelajar. Tidak ada keharusan bagi seorang pengajar untuk mengajarkan suatu kebenaran, dan sebaliknya tidak ada keharusan bagi seorang pelajar untuk menerima suatu kebenaran yang diajarkan. Sebab pertanyaan bagi seorang pengajar dan pelajar bukan lagi, "Is it true?" tetapi "what use is it?" dan "how much is it worth?" Dampak lainnya bagi pendidikan akademik adalah tidak adanya bentuk atau metode pengajaran yang pasti, sebab postmodernis memang sengaja tidak membatasi pendidikan dengan suatu metode yang mutlak. Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa postmodernis membiarkan pendidikan berjalan secara bebas, tanpa pola atau bentuk yang baku.

Dalam segi moral, relativisme radikal telah menyebabkan moral chaos, sebab semua pertimbangan moral dikembalikan kepada individu atau kelompok. Tidak ada prinsip dan nilai kebenaran moral secara universal dan mutlak. Bahkan dalam suatu ruang lingkup yang sangat sempit, seperti keluarga, keputusan moral harus dapat dikembalikan pada masing-masing individu. Sedangkan dampak relativisme radikal bagi agama adalah bahwa agama tidak lagi dipandang sebagai sebuah pengajaran secara mutlak tentang apa yang benar dan salah, tetapi ia semata-mata dinilai hanya sebagai pilihan atau alternatif pengajaran untuk diikuti atau tidak, disukai atau tidak. Gene Veith mengatakan,

"Today religion is not seen as a set of beliefs abut what is real and what is not. Rahater, religion is seen as apreference, a choice. We believe in what we like. We believe what we want to believe. …Where there are no absolute truths, the intellect gives over to the will. Aesthetic criteria replace rational criteria."

Dengan demikian, bagi orang postmodernis beragama tidak bersangkut paut dengan soal kepercayaan atau keyakinan, melainkan lebih berkait dengan dorongan untuk memilih yang satu dan tidak yang lain; menyukai yang satu dan menolak yang lain, karena alasan dan kepentingan yang sangat bersifat subyektif. Akan tetapi pilihan tersebut sewaktu-waktu dapat berubah, sebab memang tidak ada yang mutlak dan universal!

Postmodernisme dan Kekristenan

Pada bagian ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk melihat beberapa problema yang ditimbulkan oleh postmodernisme bagi Kekristenan. Pembahasan di sini tidak akan sampai pada tahap menetapkan strategi dalam berapologetika terhadap postmodernisme, sebab menurut penulis topik tersebut membutuhkan pembahasan tersendiri. Apa yang penulis akan ungkapkan dalam bagian ini adalah sebatas lontaran permasalahan dan tantangan yang ditimbulkan oleh postmodern, yang dapat menjadi bahan pemikiran lebih lanjut untuk dicermati dan diwaspadai oleh umat Kristen.

Bukan Hal Baru bagi Kekristenan?

Berangkat dari sudut pandang iman Kristen, dapat dikatakan bahwa postmodern bukanlah tantangan baru bagi gereja. Pengkhotbah dalam kitabnya mengatakan, "…tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru!"? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada" (Pkh. 1:9-10). Dosa, ketidakpercayaan, dan pemberontakan terhadap Allah merupakan akar permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh gereja, meskipun wujudnya tidak selalu sama.

Runtuhnya modernisme dan munculnya postmodernisme telah mendapat gambaran yang jelas sebelumnya di dalam Alkitab, yaitu pada peristiwa menara Babel (Kej. 11:1-9). Dapat dilihat bahwa impian dan keyakinan orang-orang modern tentang kemajuan dan kemandirian paralel dengan orang-orang yang membangun menara Babel. Sebagaimana orang-orang di Babel bergantung pada kemampuan dan ketrampilan manusia, akal budi mereka, dan pengetahuan mereka, demikian pula halnya dengan spirit modern. Orang-orang di Babel ingin menyatukan seluruh penghuni dunia saat itu, orang-orang modern memimpikan tercapainya masyarakat yang satu, makmur, dan maju. Orang-orang di Babel mendirikan bangunan dengan batasan langit (Kej. 11:4), demikian pula orang-orang modern beranggapan bahwa tidak ada yang dapat menghalangi kemajuan yang akan dicapai oleh mereka. Akan tetapi, sama juga halnya menara Babel tidak pernah terselesaikan dan orang-orangnya tercerai berai, demikian pula "bangunan" modern terhenti di tengah jalan dan banyak orang mulai meninggalkan spirit modern. Maka muncullah postmodern dengan dekonstruksi dan relativisme radikalnya, yang tidak lain paralel dengan kondisi setelah orang-orang di Babel dicerai-beraikan oleh Allah. Hanya saja, apabila Alkitab tidak menguraikan secara detil kondisi manusia setelah diserakkan oleh Allah, postmodern memberikan gambaran tentang situasi setelah modern dengan sangat jelas. Middleton & Walsh mengatakan sbb:

"The cultural unity of the tower of Babel is replaced by the culture wars of the post-Babel situation. But unlike the sense of tragedy that the biblical story conveys in the post-Babel situation, our postmodern context is populated by deconstructionists and others celebrating the confusion. …The deconstructive therapy, combined with the failure of modernity to deliver on its promises progress, has irretrievably changed our world."

Tantangan bagi Kekristenan

Di satu pihak, munculnya postmodern telah memberikan kesempatan bagi Kekristenan untuk diperhitungkan kembali. Thomas Oden bahkan melihat secara optimistik bahwa di dalam era postmodern, Kekristenan bisa mendapatkan kembali kredibilitasnya. Mengapa demikian? Sebab tidak sama seperti modernisme yang terus-menerus mengikis dan memojokkan sedikit demi sedikit kebenaran iman Kristen, postmodernisme dengan relativisme radikalnya justru mengakui kebenaran yang terdapat di dalam Kekristenan, sebagaimana kebenaran-kebenaran yang lain juga ditoleransi oleh postmodernis. Akan tetapi, di lain pihak, postmodernisme juga menimbulkan tantangan yang tidak mudah bagi Kekristenan, bahkan lebih berbahaya ketimbang modernisme. Tidak seperti modernisme yang menyerang secara terang-terangan terhadap Kekristenan, dan membuat batasan yang jelas antara hitam dan putih (kebenaran dan bukan), postmodern mengambangkan dan melumpuhkan klaim kebenaran iman Kristen, bahkan antara kebenaran dengan yang bukan kebenaran dibuat menjadi kabur. John Cooper mengatakan bahwa postmodernisme, "Instead of attacking, it trivializes. Instead of rejecting Christianity as false, it grants relative truth. The faith is true for Christians but not necessarily for anyone else."

Mari kita melihat secara lebih jelas beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh postmodern bagi Kekristenan—dengan tetap mengacu pada dekonstruksionisme dan relativisme radikal—di dalam tiga bidang utama, yaitu pemberitaan Injil, pemberitaan firman atau pengajaran kebenaran, dan moral-etika.

Tantangan bagi Pemberitaan Injil

Postmodernis akan secara terang-terangan menolak pemberitaan Injil sebab membawa spirit yang tidak jauh berbeda dengan modernisme. Pemberita Injil percaya pada kebenaran obyektif (wahyu Allah bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat) dan kebenaran mutlak-universal (Yesuslah satu-satunya Juruselamat umat manusia), hal mana keduanya sangat ditentang oleh postmodern. Bagi orang-orang postmodern, pernyataan "Yesuslah Juruselamat umat manusia," tidak mungkin dibuktikan obyektifitasnya. Kalimat tersebut hanyalah simbol bahasa (permainan kata) yang kebenarannya diungkapkan dan dipercayai oleh sekolompok umat Kristen, karena itu tidak dapat dimutlakkan, apalagi diuniversalkan. Alister McGrath mengatakan,

"All belief-systems are to be regarded as equally plausible. Something is true if it is true for me. Christianity has become acceptable, because it is believed to be true by some—not because it is true."

Postmodern juga tidak memandang perlu bagi seseorang untuk bertobat dari dosa. Sebab realita dosa sendiri bagi orang-orang postmodern adalah hal yang kabur. Hal itu juga merupakan ungkapan simbolik dari sekelompok orang tertentu saja, yang tidak harus dipastikan kebenarannya. Lagipula kebutuhan manusia yang utama bukan hanya bertobat dari dosa, demikian pandangan postmodern. Untuk apa kita menekankan pertobatan, tetapi pada akhirnya menimbulkan penindasan dan penyingkiran kebutuhan kelompok-kelompok lain?

Tantangan bagi Penyampaian Firman

Penulis melihat paling tidak ada empat tantangan dalam penyampaian Firman atau pengajaran kebenaran yang ditimbulkan baik oleh dekonstruksionsime maupun relativisme radikal. Keempat hal tersebut adalah sbb:

presentasi sebagai ganti esensi
Berdasarkan dekonstruksionisme, orang-orang postmodern tidak mencari esensi, karena memang tidak akan pernah dapat diketahui secara pasti. Karena itu bagi mereka, dalam penyampaian firman atau pengajaran yang penting adalah presentasinya, atau actingnya, atau penyampaian hal-hal yang dipermukaan saja dan bukan substansinya atau yang hakiki.

tafsir alternatif sebagai ganti dogma
Postmodernis Kristen menilai bahwa Kekristenan terlalu menekankan keterikatan pada dogma-dogma hasil perumusan gereja abad-abad awal di Barat. Karena itu tidak heran apabila belakangan ini muncul dobrakan terhadap "keangkuhan" dogma-dogma gereja. Misalnya, munculnya teologi pembebasan yang menilai bahwa Kekristenan telah bersifat terlalu berpusat pada Barat dan tidak praktis. Sedangkan para feminis melihat bahwa sifat paternalistik terlalu dominan dalam teologi Kristen. Demikian pula munculnya teologi hitam (black theology) adalah untuk memberikan alternatif bagi teologi yang dinilai tidak menyentuh kehidupan mereka. Munculnya gerakan-gerakan tersebut pada awal dekade 70-an, bagi Hans Kung—seorang teolog Katholik dari Jerman—memperjelas ciri-ciri postmodernisme yang menekankan pluralitas, polisentris, praksis, fungsional, dan pembebasan.

ortopraksis sebagai ganti ortodoksi
Pengajaran yang bersifat praktis (ortopraksis) pada dasarnya memang senantiasa dituntut dari suatu ajaran, termasuk dalam agama Kristen. Merupakan hal yang wajar apabila seseorang merasa enggan untuk mempelajari sebuah sistem pengajaran (ortodoksi) yang tidak bersentuhan dengan realita sehari-hari. Keduanya memang harus seimbang. Akan tetapi dalam era postmodern, ortopraksis jauh lebih ditekankan ketimbang ortodoksi, bahkan kalau bisa ortodoksi dibuang saja. Dapatkah anda menduga mengapa? Dalam postmodern, lantaran kebenaran ditawarkan seperti dalam sebuah pasar bebas (lihat salah satu dampak relativisme radikal di atas), maka untuk mengkonsumsi suatu kebenaran yang orang (postmodern) tanyakan melulu "apa fungsinya untuk saya?;" "apa untungnya saya memegang suatu ajaran tertentu?"

Sebagai contoh, saat kita mengajarkan bahwa "Yesus adalah Tuhan," tidak perlu dipusingkan tentang keilahian dan kemanusiaan-Nya, diri-Nya sebagai pribadi kedua Allah Tritunggal, mengapa lahir dari anak dara Maria, kebangkitan-Nya, dsb. Yang penting, Yesus yang kita percaya menyembuhkan atau tidak? Memberikan kelegaan atau tidak? Menguatkan perasaan kita atau tidak? Tuntutan ortopraksis secara ekstrim ini menyebabkan terbukannya pluralitas bagi ajaran tentang Kristus secara ekstrim. Karena penekanan sekedar pada fungsi, maka seseorang tidak usah memikirkan apakah "Yesus" yang dipercaya adalah Yesus hasil konseptualisasinya orang Timur Tengah, Afrika, Jerman, Amerika Latin, bahkan Yesusnya kaum feminis! Yang penting, praktis atau tidak? Berfungsi atau tidak? Pertanyaan yang sama juga berlaku bagi doktrin-doktrin gereja lainnya.

produksi makna sebagai ganti obyektifitas penafsiran
Pengaruh dekonstruksionisme yang paling dirasakan bagi Kekristenan adalah dalam bidang penafsiran (ilmu tafsir atau hermeneutika). Sebab penafsiran berhubungan erat dengan penggunaan bahasa, hal mana menjadi penekanan utama dekonstruksionisme. Hans Georg Gadamer, salah seorang tokoh hermenutik postmodern, sedikitnya mengusulkan empat hal bagi penafsiran: (i) dihapuskannya segala bentuk metode pendekatan dalam penafsiran. Kebenaran akan diperoleh apabila batas-batas metodologi dilampaui, dan dengan membiarkan tiap orang menemukan kebenarannya sendiri; (ii) dalam menafsirkan teks seseorang boleh, bahkan harus, membiarkan prasangkanya ikut berperan. Berita sebuah teks semata-mata bukan dari teks, melainkan peleburan antara teks dengan prasangka kita; (iii) tidak pernah ada pemahaman hasil penafsiran yang bersifat obyektif, sebab pemahaman selalu berkaitan dengan keadaan di mana kita berada, kapan, dan dalam kondisi bagaimana; (iv) seorang penafsir harus senantiasa terbuka terhadap "pengalaman baru," dan tidak terikat pada kebenaran yang bersifat statis dan dogmatik. Sebab pada dasarnya prediksi dan prasangka kita bersifat sangat terbatas, karena itu harus membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran lain.

Berangkat dari hermeneutiknya Gadamer, atau para postmodernis lainnya, kita dapat membayangkan bahwa di dalam gereja tidak akan penah didapati kebenaran yang mutlak dan universal. Dogma gereja tidak akan pernah tetap, melainkan terus berubaha berita ajarannya. Hermeneutik postmodern memang mencoba untuk kontekstual, tetapi dengan mengorbankan kebenaran yang berasal dari wahyu Allah. Namun bagi postmodernis tidak ada istilah "mengorbankan," sebab memang tidak ada kebenaran yang sungguh-sungguh benar (obyektif) dan mutlak (bagi mereka!).



Tantangan bagi Ajaran Moral-Etika

Postmodern juga ditandai dengan runtuhnya nilai-nilai moral. Lantaran tidak ada obyektifitas kebenaran tentang apa yang baik dan yang jahat, maka dalam tindakan moral yang mereka tekankan bukan apa yang benar atau salah, melainkan dasar pertimbangannya adalah hal-hal yang sangat praktis dan subyektif. Misalnya, dalam kasus euthanasia (mengakhiri hidup sebelum waktunya), pertimbangan bagi postmodernis adalah bukan lagi nilai kehidupan manusia (hal yang sangat tidak praktis), melainkan soal ongkos, efektifitas pengobatan, senang atau tidaknya seseorang, kuat atau tidaknya orang yang menderita, dsb. Demikian pula dalam kasus aborsi, tidak perlu lagi dipusingkan soal dogma gereja (walaupun orang yang mempercayainyapun tidak salah), namun hal-hal yang praktis. Dengan kata lain, orang yang berpegang teguh pada dogma gereja dalam mendekati kasus euthanasia atau aborsi, adalah termasuk salah satu sudut pandang saja, di antara sekian banyak sudut pandang, dan bukan satu-satunya yang benar, yang harus dipaksakan kepada semua orang untuk menerimanya. Mereka yang berpegang pada dogma gereja sama benarnya dengan mereka yang mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan ekonomis semata. Dengan demikian, apa yang menjadi tantangan postmodern bagi gereja masa sekarang (dan yang akan datang) bukan hanya perilaku yang immoral, melainkan hilangnya kriteria tentang moral, seperti yang dikatakan oleh Gene Veith dalam bukunya Postmodern Times, "What we have today is not only immoral behavior, but a loss of moral criteria. This is true even in the church. We face not only a moral collapse but a collapse of meaning."

Kesimpulan

Ibarat sebuah kapal, modernisme dengan spirit of progress-nya telah membawa kita kepada sebuah pulau impian. Namun ternyata pulau itu penuh kekejaman dan kebohongan. Postmodernisme mencoba untuk mengembalikan kapal ke tengah lautan, namun sesampainya di tengah lautan, kita dibiarkan terombang-ambing tanpa peralatan navigasi dan arah yang jelas. Ibarat sebuah bangunan, modernisme berfondasikan rasio, iptek, dan ekonomi, telah membawa kita pada sebuah bangunan megah dengan tidak ada yang menjadi batasan selain langit sendiri. Tetapi sesampainya kita pada lantai teratas, kita baru sadar bahwa bangunan tersebut turut didirikan dengan jutaan nyawa manusia yang menjadi korbannya. Postmodern mencoba untuk menarik keluar semua manusia dari gedung tersebut, dan membiarkan manusia terserak tanpa arah. Barangkali itulah dua gambaran singkat yang bisa meluksikan masa transisi yang sekarang sedang terjadi, dari modern menuju postmodern.

Postmodern pada dasarnya adalah kontra-modernisme, meskipun bukan anti-modernisasi. Modernisme menekankan pada obyektifitas, postmodernisme menekankan ketiadaan wujud segala sesuatu; modernisme menekankan kebenaran hasil pemikiran rasional, postmodernisme menekankan permainan kata; modernisme menekankan pada universalitas kebenaran, postmodernisme menekankan pluralitas kebenaran; modernisme menekankan pada kepastian, postmodernisme pada ketidakpastian, dst. Keduanya memiliki baik segi positif maupun negatif. Perbedaan dalam segi negatif, apabila modernisme menampakkan pengajaran tentang kebenaran yang berbeda dengan Kekristenan secara jelas, maka postmodernisme mengaburkan dan melumpuhkan perbedaan pandangan serta klaim kebenaran.

Dalam pikiran penulis secara pribadi pernah muncul sebuah pertanyaan, yang barangkali juga ditanyakan oleh pembaca selama mengikuti tulisan ini, yaitu: apakah era dan budaya postmodern benar-benar akan terjadi dalam kehidupan umat manusia? Rasanya mustahil bahwa postmodern akan menggesar modern yang sudah begitu mapan. Namun demikian, kita perlu menyadari bahwa pertanyaan yang mirip juga dipertanyakan oleh orang-orang pada abad pertengahan, ketika era modern baru memunculkan dirinya. Itulah sebabnya, sebagai umat Kristen yang senantiasa mendapatkan serangan dari berbagai pihak, lebih baik kita mewaspadai munculnya era baru ini (postmodern) ketimbang kita ketinggalan dan cuma jadi penonton yang tak dapat berbuat apa-apa bagi Kekristenan.